Koalisi Besar Bukan Jaminan
Kemampuan Presiden Joko Widodo dalam menjaga dan mengendalikan koalisi pemerintahannya menjadi kunci keberhasilan periode kedua pemerintahannya.
Koalisi Jokowi-Amin memiliki 74,26 persen kursi DPR. Selain dapat memperluas dukungan politik, koalisi yang besar juga dapat membuat gerak pemerintah lebih lambat.
JAKARTA, KOMPAS —Kemampuan Presiden Joko Widodo dalam menjaga dan mengendalikan koalisi pemerintahannya menjadi kunci keberhasilan periode kedua pemerintahannya. Koalisi yang menguasai mayoritas kursi parlemen, seperti yang kini terjadi di koalisi Jokowi-Ma’ruf Amin, tidak menjamin pemerintahan akan berjalan lebih lancar dan efektif.
Dari 575 kursi DPR, koalisi Jokowi-Amin yang terdiri dari PDI-P, Partai Golkar, Gerindra, Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menguasai 427 kursi atau 74,26 persen kursi DPR.
Sebanyak 148 kursi DPR lainnya dimiliki Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Amanat Nasional (PAN). Hingga Selasa (22/10/2019) malam, tidak ada kader dari ketiga partai itu yang dipanggil Jokowi ke Istana Kepresidenan, Jakarta. Dengan demikian, ketiga partai itu hampir pasti ada di luar koalisi pemerintahan Jokowi-Amin.
Kekuatan koalisi Jokowi-Amin di parlemen saat ini hampir sama dengan kekuatan koalisi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono pada 2009-2014 yang menguasai 75,5 persen kursi DPR. Namun, pada saat itu dinamika politik tetap terjadi, seperti terlihat dari munculnya hak angket kasus Bank Century pada akhir tahun 2009 yang didukung sejumlah partai anggota koalisi Yudhoyono-Boediono.
Penyeimbang
Dalam rangka penyusunan kabinet yang akan diumumkan dan dilantik Rabu ini, ada 24 orang yang kemarin hadir di Istana Kepresidenan untuk bertemu Jokowi. Sementara Senin lalu ada 11 orang yang menemui Presiden.
Seusai bertemu Presiden Jokowi, mantan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko membenarkan bahwa PAN, Partai Demokrat, dan PKS tidak akan bergabung ke kabinet. Anggota koalisi hanya ditambah Partai Gerindra. ”Pemerintah memerlukan penyeimbang supaya kontrol tetap jalan dan pemerintahan sehat,” ujarnya.
Ketua Umum Kelompok Relawan Jokowi Mania Imannuel Ebenezer mengatakan, saat para sukarelawan bertemu Jokowi, Minggu malam lalu, Jokowi sempat minta dukungan dari para sukarelawan untuk memasukkan Gerindra.
Saat itu, jelas Imannuel, Jokowi juga menceritakan bahwa semua partai berharap dilibatkan di pemerintahan. ”Namun, Presiden tidak mau karena itu tidak baik untuk demokrasi. Makanya Demokrat, PKS, dan PAN di luar,” katanya.
Terkait hal itu, Ketua DPP PAN Yandri Susanto menegaskan, PAN siap mengambil posisi sebagai kekuatan di luar pemerintahan. ”Kami akan mengontrol sebagai bagian dari penyeimbang. Program Pak Jokowi yang bagus kami dukung. Namun, kalau ada yang kurang pas, itu kewajiban kami untuk menyatakan pembanding pendapat,” ucapnya.
Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera khawatir, sikap Gerindra yang merapat ke pemerintahan bisa memunculkan kekecewaan di masyarakat.
Meski sempat kaget dengan Prabowo Subianto yang menjadi menteri, Yandri mengatakan, keputusan Jokowi menarik Gerindra ke dalam koalisi merupakan hak prerogatif presiden.
Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera khawatir, sikap Gerindra yang merapat ke pemerintahan bisa memunculkan kekecewaan di masyarakat. ”Oleh karena itu, kami tetap menjadi oposisi. Kami bertanggung jawab kepada konstituen yang kemarin memilih kami,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR Edhie Baskoro Yudhoyono mengatakan, Demokrat akan tetap kritis ketika kebijakan pemerintah dinilai tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat. ”Saya tidak dalam konteks menentukan posisi. Untuk itu, kami akan mendengar lebih lanjut bagaimana pandangan dari partai,” ucapnya.
Negara kekeluargaan
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsuddin Haris, menilai, perluasan koalisi pendukung pemerintah berpotensi mengancam perkembangan demokrasi karena akan memunculkan kekuasaan yang besar pada negara. Konsep negara kekeluargaan yang ditandai oleh minimnya oposisi berpotensi terjadi. Akibat selanjutnya, penyimpangan berpotensi lebih terjadi karena tidak ada yang mengawasi.
Koordinator Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo menilai, dengan minimnya pengawasan terhadap pemerintah, ancaman korupsi juga akan semakin besar. ”Konsep negara kekeluargaan membuat pengawasan tidak bisa bekerja karena yang dikedepankan adalah stabilitas, bukan penegakan hukum,” jelasnya.
Menurut pengajar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Adi Prayitno, berkaca pada pengalaman pemerintahan Yudhoyono-Boediono, koalisi yang gemuk kerap menjadi bumerang yang menyerang balik efektivitas kerja pemerintahan. Kebijakan dan pengambilan keputusan di pemerintah bisa lebih lambat karena banyak kepentingan politik yang harus diakomodasi.
Pada saat yang sama, partai-partai pendukung pemerintah juga akan cenderung mengambil sikap sesuai kepentingan masing-masing. Dukungan politik terhadap pemerintah akan berjalan cair sesuai isu yang sedang bergulir.
Baca juga : Risiko Kegaduhan dan Lemahnya Kontrol dari Kabinet Jokowi-Amin
”Koalisi gemuk yang diharapkan bisa memperluas dukungan dan mengurangi resistensi terhadap kebijakan pemerintah sering kali malah memunculkan gejolak politik baru di internal koalisi,” ucap Adi.
Kondisi ini, lanjut Adi, akan menjadi tantangan besar pada periode kedua pemerintahan Jokowi. ”Periode ini menjadi pertaruhan kemampuan manajemen Jokowi dalam mengendalikan dan menjaga keseimbangan koalisi,” ujarnya.
Tantangan itu makin nyata karena ada partai pendukung Jokowi yang diduga tidak sepenuhnya puas dengan masuknya Gerindra. Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh seusai pelantikan presiden-wakil presiden, 20 Oktober 2019, sempat mengatakan, jika tidak ada partai lain yang mau menjadi oposisi, Nasdem bersedia di posisi itu.
Presiden PKS Sohibul Iman mengatakan, saat upacara pelantikan presiden-wakil presiden, Surya Paloh sempat mengatakan kepadanya bahwa Nasdem ingin segera bersilaturahmi dengan PKS. ”Saya candai, ini artinya Abang mau nemenin PKS sebagai oposisi? Lalu dia (Surya) bilang, pokoknya kita sama-sama kritis,” tutur Sohibul.
(AGE/IAN/SPW/SHR/NTA/NIA/INK/INA/LAS)