Untuk membalikkan sentimen negatif pasar butuh upaya dan konsistensi yang luar biasa dari pemerintah. Harus segera ada bukti nyata atas komitmen Presiden Joko Widodo.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku pasar terkejut dengan formasi menteri dalam Kabinet Indonesia Maju di bawah kepemimpinan Presiden-Wakil Presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Kondisi ini terefleksi dari anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan dan nilai tukar rupiah pada awal perdagangan, Rabu (23/10/2019).
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka pada level 6.244,41 pada pagi hari ini atau menguat 18,91 poin atau 0,3 persen dari penutupan perdagangan hari sebelumnya di level 6.225,49. Namun, seusai pengumuman susunan kabinet, IHSG berangsur melemah hingga ke level 6.214 pada pukul 11.30.
Di pasar spot, pagi ini nilai tukar rupiah berada di level Rp 14.055 per dollar Amerika Serikat (AS). Sementara berdasarkan kurs nilai tukar Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), rupiah berada di level Rp 14.051 per dollar AS.
Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, menilai gejolak IHSG merefleksikan kekhawatiran pelaku pasar dalam jangka pendek. Respons jangka pendek dianggap bisa menjadi modal bagi pemerintah untuk mematahkan keraguan yang ada.
Pelaku pasar, menurut Enny, memiliki variabel pertimbangan strategis dalam menilai tepat tidaknya sejumlah tokoh mengisi pos-pos kementerian tertentu.
Kekhawatiran yang tergambarkan dari tertahannya IHSG di zona merah pada perdagangan sesi pertama menunjukkan rendahnya tingkat kepercayaan atau keyakinan pelaku pasar pada susunan kabinet pemerintahan.
”Pelaku pasar tidak bisa menyimpulkan kalau susunan kabinet saat ini bukanlah formasi terbaik, tetapi yang perlu ditunjukkan para menteri-menteri terpilih adalah agar mereka bisa membuktikan kalau kekhawatiran masyarakat tidak beralasan,” katanya.
Perubahan nomenklatur
Terkait perubahan nomenklatur sejumlah kementerian, menurut Enny, tidak akan menjadi masalah selama pemerintah mampu memberikan kepastian iklim investasi dan iklim usaha tetap terjaga. Kepastian dibutuhkan karena dunia usaha dapat mengalkulasi risiko terhadap ketidakpastian ekonomi yang masih harus dihadapi dalam beberapa waktu ke depan.
”Butuh upaya dan konsistensi yang luar biasa dari pemerintah agar sentimen negatif pasar hanya menjadi sentimen sesaat. Harus segera ada bukti nyata atas komitmen-komitmen presiden yang dijabarkan saat pelantikan di Gedung DPR kemarin,” ujar Enny.
Butuh upaya dan konsistensi yang luar biasa dari pemerintah agar sentimen negatif pasar hanya menjadi sentimen sesaat.
Dalam pidato pelantikannya, Presiden Joko Widodo berjanji untuk melakukan transformasi ekonomi dengan fokus pada pembangunan industri manufaktur guna melepaskan ketergantungan terhadap sumber daya alam.
Untuk menopang pembangunan industri manufaktur, pemerintah akan fokus pada pembangunan sumber daya manusia, melanjutkan pembangunan infrastruktur, menyederhanakan birokrasi, dan meningkatkan kualitas kerja birokrasi.
Senada dengan Enny, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja sebagai pelaku dunia usaha mengatakan, meski perekonomian Indonesia jauh dari resesi, pemerintah tetap perlu melakukan langkah-langkah pencegahan terhadap risiko ekonomi global.
”Di tengah ketidakpastian dunia, pemerintah perlu menyederhanakan birokrasi dan tarif pajak agar dunia usaha bisa lebih kompetitif, baik secara kinerja maupun dalam melakukan investasi,” ujar Jahja.
Sektor-sektor padat karya, lanjutnya, dapat menjadi bantalan penangkal risiko ekonomi global sehingga pemerintah perlu memberikan perhatian serius terhadap sejumlah sektor, di antaranya logistik, transportasi, pertambangan, perkebunan, dan pertanian.