Pengelola Dituntut Adaptif dan Bersinergi dengan Masyarakat
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Para pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dituntut adaptif dalam mengelola kawasan konservasi. Sinergi dengan masyarakat juga perlu senantiasa dibangun.
Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam (KSDAE) Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyelenggarakan rapat koordinasi teknis di Jakarta, Rabu (23/10/2019). Acara dihadiri sekitar 300 peserta, termasuk pimpinan Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari sejumlah daerah.
Di hadapan para peserta rapat, Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono meminta para pegawai untuk adaptif dalam mengelola kawasan konservasi. Sebagai pengelola yang langsung bersentuhan dengan kenyataan di lapangan, mereka diminta peka terhadap masalah-masalah lingkungan
“Dengan beradaptasi, kita bisa memetakan kondisi kerja di wilayah konservasi yang kita kelola,” kata Bambang.
Menurut Bambang, sikap adaptif yang dimiliki pengelola kawasan konservasi akan berujung pada produktivitas kerja dan inovasi. Hal itu selaras dengan visi pemerintah yakni membangun karakter sumber daya yang berdaya saing.
“Hal itu dibutuhkan, karena saat ini kita dituntut untuk memberikan hasil kerja yang nyata. Temukan masalah di lapangan dan berikan solusinya,” tegasnya.
Direktur Jenderal KSDAE KLHK Wiratno juga mengemukakan hal yang sama. Ke depan, ia akan terus mendorong inovasi-inovasi dari para UPT, baik Taman Nasional, Cagar Alam hingga Balai KSDAE. Tidak hanya itu, inovasi yang dilakukan juga mesti menempatkan masyarakat sebagai subjeknya.
Kendati demikian, sejumlah inovasi berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat selama ini sudah dilakukan. Salah satu yang bisa dijadikan rujukan misalnya yang telah dilakukan oleh Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka mengembangkan sistem zonasi bersama sebelas tumenggung dan membuat sistem pendidikan sekolah rimba.
"Dengan sekolah lapangan, anak-anak di dalam taman nasional bisa bersekolah seperti anak yang lain," kata Wiratno.
Kemitraan konservasi
Wiratno menyadari, Ditjen KSDAE membutuhkan keterlibatan pihak-pihak lain dalam melakukan konservasi lingkungan. Oleh karena itu, dukungan dari masyarakat yang memiliki kesamaan visi dan tujuan tentang konservasi perlu diakomodir. Terlebih, saat ini ada lebih dari 5.000 desa yang berada di sekitar kawasan konservasi.
Itu sebabnya, skema kemitraan konservasi lahir. Skema tersebut memungkinkan masyarakat diberikan akses pengelolaan di sekitar kawasan konservasi untuk mendapatkan manfaat ekonomi. Masyarakat diberikan akses serta pendampingan selama 5 – 10 tahun dan bisa diperpanjang.
“Pola pikir kita harus diubah. Kita harus duduk bersama dengan masyarakat karena mereka juga perlu memenuhi kebutuhan keluarganya. Asal di luar daerah sensitif satwa,” tambah Wiratno.
Hal itu mendasari pentingnya pemberlakuan sistem zonasi di kawasan konservasi. Masyarakat diperbolehkan mengelola wilayah yang berada di zona tradisional, baik darat maupun laut. Contohnya, seperti yang dilakukan oleh Taman Nasional Bonerate, yang mana sekitar 60 persen zona tradisionalnya dimanfaatkan oleh nelayan.
Menurut Wiratno, selain diberikan manfaat, masyarakat juga akan diajak untuk mengatasi sejumlah tantangan yang dihadapi oleh Ditjen KSDAE dalam mengelola kembali kawasan konservasi.
Mereka dibutuhkan untuk terlibat dalam akan membangun sistem agroforestry, mengatasi konflik gajah, melakukan patroli hingga pemadaman kebakaran hutan dan lahan.
Ia berharap agar kasus-kasus perambahan bisa dituntaskan. Selain itu, potensi sumber daya alam di kawasan konservasi juga bisa dikembangkan dari skala laboratoriun menjadi bisnis. “Ada banyak sekali potensi, seperti obat-obatan yang beberapa diantaranya berhasil diteliti sebagai zat anti-kanker,” kata Wiratno.