Susah Rumput Segar, Sapi Limosin Bantul Turun Bobot 50 Persen
Musim kemarau panjang tahun ini sangat merepotkan, termasuk bagi para peternak sapi limosin di Dukuh Wojosari, Kelurahan Wonolelo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
Musim kemarau panjang tahun ini sangat merepotkan, termasuk bagi para peternak sapi limosin di Dukuh Wojosari, Kelurahan Wonolelo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Mereka tak lagi mudah mencari jerami, sehingga harus membeli 50 kilogram seharga Rp 40.000 untuk dua hari makan per satu ekor sapi.
Akibatnya, bobot-bobot sapi pun turun hingga 50 persen. Bobot sapi indukan yang cukup pakan dan biasanya berlimpah pada musim hujan bisa 800 kilogram. Kini, turun 400 kg. Bila saat berlimpah jerami jatah makan sapi 50-100 kg per harinya, kini dikurangi 30-50 kg per hari. Peternak memberi air minum 50 liter per hari untuk mengganjal perut sapi.
“Saat ini mencari pakan sapi sangat sulit. Hampir semua rumput mengering. Kalau ada rumput hijau pun tidak segar. Harga satu ikat jerami 50 kilogram Rp 40.000. Itu hanya dikonsumsi dua hari setelah dicampur dedak padi, garam, ampas tahu, kulit singkong, dan sampah sayur,” kata Tugiman (84), peternak sapi di Padukuhan Wojosari, Rabu (23/10/2019).
Periode Januari-Juli, jerami pakan dijual Rp 25.000 per 50 kg. Pada Agustus–Oktober naik menjadi Rp 40.000 per 50 kg. Itupun harus menunggu 2-4 hari untuk mendapat 50 kg jerami. Selama jerami belum ada, peternak menyediakan limbah sayur dan buah-buahan seadanya.
Tugiman memelihara lima ekor sapi jenis limosin yang berwarna kecoklatan. Dua sapi betina induk dan tiga ekor sapi anakan. Sapi induk tidak dijual, kecuali hanya untuk bunting dan melahirkan.
Meski hanya sebagai sapi indukan, bobot sapi perlu dijaga demi kesehatan dan kestabilan sapi. Jika induk sapi sehat, anaknya pun bakal lahir sehat.
Selain kesulitan pakan, sebagian peternak mengurangi beban dengan menjual indukan sapi dan anakan limosin.
Istri Tugiman, Tukidjah (75), yang siang itu sedang memberi air minum sapi, mengatakan, sekitar 20 keluarga di Wojosari memelihara sapi, khususnya jenis limosin. Masing-masing keluarga memelihara 1-5 ekor sapi induk. Mereka hanya menjual anakan.
Keterbatasan pakan membuat warga enggan memelihara sapi induk lebih dari lima ekor. Peternak di dukuh itu berusia di atas 60 tahun. Anak-anak muda memilih pekerjaan lain.
Jual indukan dan anakan
Selain kesulitan pakan, sebagian peternak mengurangi beban dengan menjual indukan sapi dan anakan limosin. Itu sekaligus cara untuk bertahan hidup memenuhi kebutuhan harian para peternak. Sapi-sapi itu juga wujud investasi peternak.
Notodiharjo (75), peternak tetangga Tugiman, terpaksa menjual tiga sapi indukannya yang sudah lima kali beranak karena kesulitan pakan. Ketiganya dijual Rp 14 juta, Rp 15 juta, dan Rp 17 juta. Perbedaan harga ini ditentukan bobot sapi. Mestinya, ketiga sapi itu masih bisa beranak empat kali lagi.
Ayah delapan anak dan dua puluh cucu itu mengatakan, setiap kesulitan uang, anakan dan bila perlu indukan sapi dijual. Sulit menabung uang dari hasil penjualan sapi-sapi itu, karena langsung dipakai membeli kebutuhan sehari-hari, atau biaya pendidikan anak atau cucu.
“Kalau harga sapi limosin potong harganya sampai Rp 30 juta per ekor. Tapi sangat sulit mendapatkan pakan. Jerami, dedak, rumput gajah, garam, limbah sayur, singkong dan buah-buahan harus dibeli. Kami tidak mampu,”katanya.
Harga jual bibit anakan sapi limosin bervariasi, yakni Rp 10 juta untuk usia satu bulan, Rp 11 juta (dua bulan), Rp 13 juta (tiga bulan), dan Rp 14 juta (empat bulan). Kebanyakan pembeli tertarik membeli bibit sapi usia 1-3 bulan. Jika sapi bali atau jenis sapi timor, bibit anakannya dijual Rp 1 juta hingga Rp 3 juta per ekornya.
Dari sisi produktivitas, satu ekor sapi induk bisa bunting hingga sembilan kali. Setelah itu, sapi cenderung dijual karena sulit bunting lagi. Harga jualnya Rp 15 juta karena faktor usia, daging keras, dan kurus.
Sapi induk tidak dikawinkan secara alamiah, tetapi melalui proses inseminasi buatan oleh dokter hewan. Biaya suntiknya Rp 50.000.
Sapi limosin banyak dipelihara, di antaranya karena harga jualnya yang terbilang tinggi. Harga jual tertinggi mencapai Rp 120 juta per ekornya. Itu tergantung bobot, bentuk, dan kecerahan warna kulitnya.
Sebagian besar peternak di Wonolelo hanya mewarisi tradisi beternak orangtua mereka. Mereka tidak berambisi memelihara sapi dalam jumlah besar. Mereka juga cenderung menjual setelah sapi siap dipotong.
Secara demografis, sebagian besar Dukuh Wojosari dihuni warga berusia 50 tahun ke atas dengan status warga miskin atau kurang mampu. Mereka tinggal di rumah-rumah sederhana berdinding batu-bata. Anak-anak muda di padukuhan itu juga banyak yang bekerja di luar Bantul. Bahkan, hingga luar Pulau Jawa.
Seperti diakui Painten (66), istri Notoharjo, ia sangat terbantu keberadaan Kartu Indonesia Sehat serta bantuan beras dan telur dari pemerintah. Berharap dari peternakan sapi saja hidup terasa berat. Apalagi dengan musim kemarau yang melanda Wojosari dan daerah lain.