Akar Pelindung Hutan di Kabaena
Seiring waktu, hutan dan bentang alam di Pulau Kabaena bersalin rupa menjadi kebun dan sebagian besar digasak pertambangan. Padahal, alam dan hutan adalah bagian tidak terpisahkan dari kehidupan sejak masa leluhur.
Seiring waktu, hutan dan bentang alam di Pulau Kabaena bersalin rupa menjadi kebun dan sebagian besar digasak pertambangan. Padahal, alam dan hutan adalah bagian tidak terpisahkan dari kehidupan sejak masa leluhur. Di Desa Tangkeno, di puncak pulau ini, kearifan menjaga hutan berupaya dilestarikan.
Pohon-pohon besar menaungi kawasan hutan di Pulau Kabaena. Beringin berukuran raksasa, pohon akasia, enau, hingga aneka pohon kecil, berpadu menjadi ekosistem, memenuhi kawasan itu. Akar pohon menjulur melewati tanah, menyeruak keluar, lalu kembali masuk ke dalam tanah. Dahan pohon yang rimbun menutupi cahaya matahari.
Terdengar suara gemericik air yang mengalir keluar dari dalam tanah, lalu tumpah perlahan menuju ke arah bawah. Alirannya tertampung di sebuah tempat yang telah dibuat permanen. Dari situ, pipa besi seukuran kepalan tangan membentang ratusan meter menuju tempat penampungan air.
Kawasan ini adalah pusat mata air masyarakat Desa Tangkeno, Kecamatan Kabaena, Bombana, Sulawesi Tenggara. Lokasinya sekitar 200 meter dari perumahan warga di desa yang terletak di ketinggian sekitar 600 meter di atas permukaan laut. Mata air ini menjadi pemasok utama kebutuhan air desa.
”Sekitar 80 persen air di desa berasal dari mata air ini. Selebihnya dari mata air lain. Makanya kawasan mata air ini tidak boleh diganggu oleh siapa pun,” ucap Ade Sukma Arlianto (38), warga desa yang mengantar, Sabtu (21/9/2019).
Warga setempat menyebutnya olobu opali atau hutan larangan. Jika melanggar, warga percaya akan ada karma yang didapatkan nantinya.
Ari, panggilannya, menuturkan, dalam kawasan ini masyarakat tidak boleh melakukan berbagai aktivitas, baik itu menebang untuk kayu bakar, terlebih mengolah tanah dan berkebun. Warga setempat menyebutnya olobu opali atau hutan larangan jika diartikan secara harfiah. Jika melanggar, warga percaya akan ada karma yang didapatkan nantinya.
Hutan larangan tersebar di sejumlah lokasi di wilayah Desa Tangkeno. Di lokasi mata air, di hutan di atas bukit, hingga di atas gunung. Beberapa berupa hutan kecil dengan beragam pepohonan, sebagian lagi adalah hutan yang cukup luas.
Sejak dulu, warga telah mengenal lokasi-lokasi ini dengan kawasan yang tidak boleh diganggu. Siapa yang berani masuk dan merusak hutan akan mendapatkan hukuman dari leluhur. ”Belum ada yang berani untuk merusak karena takut karma,” tambah Ari.
Abdul Madjid Ege, Kepala Desa Tangkeno, menjelaskan, pembagian hutan di kawasan desa diatur dengan hukum adat sehingga benar-benar terjaga. Untuk sesuatu yang sifatnya kepentingan bersama, akan dibicarakan terlebih dahulu.
Hutan di Tangkeno dan Kabaena secara luas terbagi dalam beberapa kategori. Selain hutan larangan atau olobu opali, juga ada inalahi, rawa, kaendea, seami, hingga tongangkura. Setiap kategori ini memiliki arti dan peruntukan yang berbeda.
Beberapa kawasan yang bisa dikelola juga terbagi dalam beberapa kelompok. Untuk kaendea, misalnya, hanya bisa dikelola oleh kelompok keluarga tertentu. Seami adalah bekas kebun yang pernah diolah, tetapi belum begitu lama. Tongangkura, hampir serupa dengan seami, tetapi lebih lama dan tanaman yang lebih banyak dan besar.
”Secara umum, hutan itu adalah olobu. Tapi, ada yang bisa dikelola dan ada yang tidak boleh. Tergantung dari fungsi dan manfaat hutan itu. Ada tempat yang juga dikeramatkan dan tidak boleh diganggu. Secara adat ada sanksinya, baik denda maupun dicambuk. Tapi, sebenarnya itu adalah cara leluhur kita untuk menjaga sesuatu,” kata Madjid yang juga Ketua Lembaga Adat Moronene Tokotua.
Kawasan hutan di Tangkeno berada di bukit dan barisan pegunungan tinggi sehingga menyerupai akar pelindung bagi kehidupan. Area pegunungan di kawasan ini merupakan mata air beberapa sungai besar di pulau seluas 870.000 hektar.
Dalam cerita orangtua kami sumbernya dari sini. Tampungan airnya ada di dalam tanah.
Di sini menjadi sumber mata air Sungai Lakambula, Wawoua, hingga ke wilayah timur serta Sungai Emeroro, ke utara Lambaku, dan Lanapo. ”Dalam cerita orangtua kami sumbernya dari sini. Tampungan airnya ada di dalam tanah,” kata Madjid.
Dampak langsung
Tangkeno merupakan desa di atas bukit. Untuk mencapai daerah ini, pengunjung harus melintasi laut sekitar lima jam dengan kapal angkutan laut dari kayu dari Pelabuhan Kasipute, Bombana. Jika memakai kapal cepat hanya sekitar dua jam tiba di Pelabuhan Sikeli, ujung utara Kabaena. Butuh satu jam berkendara dengan roda empat untuk mencapai Desa Tangkeno, yang merupakan salah satu desa di Kecamatan Kabaena Tengah, Pulau Kabaena.
Desa Tangkeno merupakan wilayah yang tepat berada di bagian bawah barisan Pegunungan Sangia Witta. Rimbun pohon di kiri dan kanan menyambut saat menuju desa. Hanya, sebagian besar telah merupakan wilayah perkebunan, khususnya jambu mete atau cengkeh. Dua komoditas jangka panjang yang tergolong baru bagi masyarakat.
”Dulu di sini hanya kenal berladang. Tidak kenal tanaman jangka panjang. Baru setelah pemerintah lewat program perkebunan masuk, warga mengenal tanaman-tanaman baru ini,” kata Madjid. Dari program perkebunan itu, warga mulai membuka kebun untuk diolah dan ditanami. Sebagian mengolah lahan yang memang bisa dikelola, sebagian membuka lahan baru.
Duduk di depan rumah dinasnya, yang menghadap langsung ke barisan pegunungan tinggi menjulang, Madjid mengenang kejadian yang pernah terjadi di wilayahnya. Saat itu, sekelompok warga berusaha mengolah lahan milik keluarga yang telah menjadi hutan.
Saat saya masih kecil, itu sungai tempat kami mandi, cari udang. Sekarang sudah kering.
Beberapa tetua mencoba mengingatkan akan dampak jika lahan di perbukitan itu dikelola. Sebab, di bawahnya mengalir sungai kecil tempat warga biasa mengambil udang hingga air bersih. Air sungai tidak pernah kering, bahkan ketika kemarau tiba. Akan tetapi, hal itu tidak dihiraukan. Setelah beberapa lama terbuka, air sungai itu kering kerontang.
”Saat saya masih kecil, itu sungai tempat kami mandi, cari udang. Sekarang sudah kering. Biar bukit itu ditanami cengkeh atau mete, tetapi tidak lagi menyimpan air yang banyak. Makanya, kita itu jangan cuma berpikir untuk hari ini,” kata Madjid.
Pola pikir
Pola pembagian hutan menjadi kawasan terlarang dan bisa dikelola bukan hal baru bagi masyarakat adat di Indonesia. Dari ujung Sumatera, masyarakat Dayak di Kalimantan, hingga di pedalaman Papua, memiliki nilai kearifan untuk menjaga alam dan hutan. Prinsipnya, mengambil seadanya, untuk hidup secukupnya.
Di Sulawesi Tenggara, selain di Kabaena, beberapa daerah lain juga mengenal adanya pembagian kawasan hutan yang boleh dan tidak boleh dikelola. Abdul Manan, pengajar di Fakultas Kehutanan Universitas Halu Oleo, menuturkan, di Kabupaten Wakatobi, Buton, dan Muna juga mengenal pembagian ini, tetapi dengan nama berbeda.
”Ada yang disebut kaendea untuk hutan larangan, juga ada amutika untuk yang bisa kelola. Kalau di Wakatobi, sanksi sosialnya sangat keras, yaitu tidak akan diurus hidup dan matinya. Bagi mereka yang melanggar, tidak mendapat bantuan saat mengadakan pesta, hingga saat berduka,” kata Manan.
Seiring bergulirnya waktu, nilai-nilai ini juga tergerus dengan berbagai hal. Utamanya ketika pertambangan marak pertengahan 2000-an, membuat warga kalap untuk menjual kebun dan lokasi menanam.
Di Kabaena saja, lebih dari setengah wilayah merupakan kawasan yang masuk dalam izin usaha pertambangan puluhan perusahaan. Hutan lindung diturunkan statusnya agar bisa dikelola. Warga juga beramai-ramai menjual kebun atau dengan sistem kontrak.
Itu hal yang paling berbahaya karena menyasar mindset masyarakat. Dan, ketika ini terus berlanjut, semuanya bisa semakin hancur.
Terjadi pergeseran di masyarakat untuk membuka lahan, lalu dijual ke perusahaan. Hal itu mengubah perspektif dan pola pikir masyarakat dari yang hanya bertahan untuk hidup menjadi berjuang untuk mengambil banyak. ”Itu hal yang paling berbahaya karena menyasar mindset masyarakat. Dan, ketika ini terus berlanjut, semuanya bisa semakin hancur,” kata Manan.
Bagi Madjid dan masyarakat Desa Tangkeno, menjaga tanah dan hutan berarti memikirkan masa depan. ”Sekarang kita masih bisa hidup, tetapi nanti anak cucu kita bagaimana? Jangan cuma berpikir hari ini. Kalau cuma begitu, kita manusia apa?” kata Madjid.