Sejak Pemilu 2014 dan Pilkada Gubernur DKI Jakarta 2017, kotak pandora pengetahuan seolah telah terbuka sangat lebar, menyebabkan pengetahuan tak lagi dapat menjadi privilese hegemonik yang berdimensi tunggal. Setiap pengetahuan kemudian berdimensi jamak, multifaset. Sebuah kebenaran selalu mendapatkan antitesis yang sepadan. Namun, sejak itu pula, nyaris tak pernah terjadi sintesis. Tiap antitesis berhimpun dalam paradigmanya sendiri, menebal dan diselimuti tabir yang tak mudah ditembus pemikiran lain.
Jika susun bangun pengetahuan selalu berproses dari tesis-antitesis-sintesis, sekarang hal itu seolah berhenti di antitesis dan kokoh di dalam dua kutub diametrikal. Kristalisasi dua kutub paradigma ini terejawantahkan dalam kata sederhana, ”cebong” dan ”kampret”, serta meneguh dalam sosok Joko Widodo di satu sisi dan Prabowo Subianto di sisi lain saat Pemilu 2019.
Pembelahan tidak hanya terjadi secara horizontal, tetapi juga melibatkan segregasi vertikal. Pemahaman sederhana yang ada di kelas bawah berhadapan dengan logika terbalik-balik di kelas atas. Makna ”baik” yang dipahami kelas bawah bisa menjadi multitafsir pada kelas atas yang selalu curiga.
Data statistik yang menunjukkan, nilai 49 persen untuk elektabilitas Jokowi, yang secara sederhana seharusnya dipahami sebagai nilai yang mengungguli skor Prabowo yang 37 persen, menjadi tak lagi sederhana. Angka itu bisa berkembang dengan interpretasi macam-macam, menimbulkan gelombang kemarahan, kecaman, dan polemik berkepanjangan di lingkaran kelas atas.
Pembentukan pengetahuan dan sikap politik dari mereka yang berpendidikan rendah secara signifikan berbeda dengan kalangan berpendidikan tinggi, menyebabkan polarisasi vertikal. Kelas berpendidikan bawah dan menengah cenderung mendukung pasangan Jokowi-Amin, sedangkan kalangan atas lebih condong memilih Prabowo-Sandi.
Keterbelahan aspirasi politik antara kelas berpendidikan rendah dan kelas berpendidikan tinggi dapat berimplikasi pada model komunikasi pemerintah dengan masyarakat pada pemerintahan mendatang. Bangunan argumentasi dalam komunikasi pembangunan tidak lagi tunggal, tetapi bilingual, yang harus mampu merangkum dua sisi. Atau, harus menerapkan strategi bahasa yang berbeda pada tiap kelas.
Indonesia saat ini berada dalam tarikan diametrikal dua sisi, antara liberalisasi di bidang ekonomi dan konservatisme sosial yang cukup kuat.
Moderat dalam dimensi ekonomi, tetapi konservatif dalam ranah sosial. Demikianlah orientasi nilai yang saat ini menjadi pegangan masyarakat Indonesia. Seolah terpaku di suatu wilayah yang sedang bimbang, masyarakat Indonesia saat ini berada dalam tarikan diametrikal dua sisi, antara liberalisasi di bidang ekonomi dan konservatisme sosial yang cukup kuat. Di antara dua tegangan itu, politik berada di tengah, bermain di antara dua kontinum tersebut.
Konservatisme bidang sosial
Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan, jika diukur dalam skala 0-2, orientasi nilai yang saat ini dipegang oleh masyarakat Indonesia berada di skor rata-rata 1,60. Makin mendekati angka 0 artinya makin konservatif, sebaliknya makin mendekati angka 2 semakin moderat. Konservatisme di bidang sosial menjadi fenomena yang paling kuat terasa dibandingkan dengan bidang ekonomi yang lebih moderat dan bidang politik yang penuh ambiguitas.
Skor orientasi di bidang ekonomi sebesar 1,67 atau lebih tinggi daripada rata-rata menunjukkan bahwa pandangan masyarakat cukup moderat dalam menilai kehidupan ekonomi. Namun, di sisi lain, skor orientasi nilai di bidang sosial berada di indeks 1,52, menunjukkan kuatnya tarikan konservatisme dalam memengaruhi kehidupan sosial.
Adapun skor orientasi nilai di bidang politik berada di indeks 1,61 atau hampir sama dengan total rata-rata tiga bidang (ekonomi, sosial, dan politik). Dengan demikian, dapat dikatakan orientasi nilai di bidang politik berada di antara dua sisi, relatif lebih moderat daripada bidang sosial, tetapi lebih konservatif daripada bidang ekonomi.
Liberalisasi di bidang ekonomi tak mampu menggiring modernisme di bidang politik dan sosial. Sebaliknya, kuatnya konservatisme sosial dan politik sejauh ini belum mampu mendikte arus pandangan liberal dalam ekonomi. Ketiganya tak berjalan seiring, tetapi selalu dalam ketegangan di wilayah-wilayah tertentu. Tarik-menarik ini terpetakan secara geografis.
Penduduk di kelompok wilayah Jawa Tengah dan DIY, Sunda Kecil (Bali, NTB, NTT), dan Papua cenderung memiliki keselarasan dalam orientasi nilai, antara politik, ekonomi, dan sosial. Wilayah-wilayah itu tergolong moderat pada tiga ranah tersebut. Kelompok wilayah Sunda Kecil memiliki skor tertinggi, yaitu 1,73, mencerminkan orientasi nilai paling moderat.
Sebaliknya, Kalimantan, Sumatera, Jawa Barat, Banten, dan Jawa Timur menjadi wilayah yang lebih konservatif dibandingkan wilayah-wilayah lain. Dengan skor 1,56, Kalimantan menempati posisi terbawah atau paling konservatif dalam orientasi nilai memandang dimensi politik, ekonomi, dan sosial.
Skor orientasi nilai ini dihasilkan dari pengolahan atas serangkaian pertanyaan yang disusun sedemikian rupa untuk menangkap sisi-sisi pandangan konservatif dan moderat dalam tiga ranah: politik, ekonomi, dan sosial. Indikator-indikator yang digunakan meliputi lima aspek: persepsi terhadap ancaman, pandangan terhadap hal-hal baru, tingkat kepercayaan kepada otoritas, ukuran moralitas, dan langkah proteksi terhadap apa yang selama ini sudah dimiliki.
Dalam ketegangan tiga dimensi tersebut, pemerintahan baru mengembangkan gagasan-gagasan baru yang dapat menyelaraskannya. Tanpa kemampuan tersebut, langkah-langkah membangun bangsa mungkin akan selalu tersendat oleh ketegangan antarnilai.
Persoalan birokrasi
Pegawai birokrasi pemerintah atau aparatur sipil negara (ASN) menjadi ironi tersendiri bagi pemerintahan Jokowi. ASN yang pada masa Orde Baru dapat dikendalikan hampir sepenuhnya kini menjadi sebuah entitas yang menunjukkan kemewahan berpolitik.
ASN (PNS dan pegawai BUMN) yang biasanya segaris lurus dengan pucuk pimpinan birokrasi (presiden) ternyata memiliki aspirasi yang berbeda. Sebagian besar tidak memilih Jokowi untuk periode kedua pemerintahannya.
ASN, termasuk di dalamnya pegawai negeri yang bergerak di bidang pendidikan, seolah mengambil sikap sebagai oposisi terhadap Presiden Jokowi. Langkah politik ini kemungkinan besar diambil sebagai pernyataan sikap atas sejumlah tekanan yang cukup mengganggu kenyamanan mereka selama ini.
Dalam masa hampir lima tahun kepemimpinannya, Jokowi memang melakukan beberapa kebijakan yang kurang populer bagi kalangan ASN. Sistem transparansi yang dikembangkan untuk mengawasi kinerja dan penganggaran di dalam birokrasi berdampak luas pada meningkatnya beban kerja tiap PNS, selain mempersempit ruang gerak mereka dengan ketatnya pengeluaran anggaran.
Langkah efisiensi dan transparansi yang dilakukan pemerintah dengan menciptakan sistem berbasis teknologi, seperti e-Government, e-Performance Budgeting, e-Office, dan e-Formation, makin mengurung kebebasan dan privilese yang sebelumnya mereka nikmati.
Dengan jumlah total PNS sebanyak 4,3 juta orang, suara mereka lebih besar daripada pemilih di Provinsi Riau yang hanya 3,9 juta sehingga cukup berpengaruh. Terlebih, di kebanyakan wilayah di luar Jawa, posisi PNS sangat penting untuk memengaruhi pendapat masyarakat. (LITBANG KOMPAS)