Berlari Bersama Angin di Chicago
Selepas Kilometer 24, tiba-tiba gejala kram di atas lutut terasa. Tidak ada jalan lain kecuali mengurangi "pace". Namun, rasa kram malah menular ke area kedua selangkangan. Ups! “Run! Your mom waiting and freezing!”
Seperti juga kehidupan, maraton adalah sebuah perjalanan yang harus ditempuh dengan segala kejutan di depannya. Setiap maraton memberikan pengalaman yang berbeda.
Begitu juga dengan Chicago Marathon 2019 yang berlangsung Minggu, 13 Oktober 2019. Berlari di kota berjuluk ”Windy City” itu, kita ibarat berlari bersama angin. Bukan hanya membelai, angin juga mendorong atau menahan yang membuat diri terseok-seok di antara hutan beton yang menjulang.
Ya, Bank of America Chicago Marathon 2019 ini merupakan pengalaman ketiga saya mengikuti World Marathon Majors (WMM), setelah sebelumnya saya mengikuti Tokyo Marathon dan BMW Berlin Marathon.
Tiga maraton WMM lainnya menunggu, yakni TCS New York City Marathon, Virgin Money London, dan Boston Marathon jika ada rezeki dan nasib baik, mungkin saja saya ikuti. Sebagai ”pelatih” alias pelari telat dan tertatih-tatih tentu saja mustahil di usia seperti saya untuk lolos kualikasi Boston atau Boston Qualified (BQ) untuk mengikuti Boston Marathon.
Jika melihat table, waktu yang dibutuhkan untuk lolos BQ seumur saya (55-59 tahun) adalah bisa finis maraton dalam waktu 3 jam 35 menit. Tidak ada yang tidak mungkin, memang. Selain nasib baik, setidaknya ada tiga hal yang bisa meloloskan pelari untuk meraih WMM: mendapat undian dari ballot, undangan, dan tentu saja banyak uang untuk membeli slot maraton tersebut, termasuk Boston Marathon sekalipun. Nothing impossible, impossible is nothing untuk meraih Six Stars dengan menamatkan enam maraton WMM itu.
Chicago Marathon (Chimar) termasuk WMM yang dianggap mudah untuk mendapatkan slotnya. Tahun ini, dari 45.000 peserta yang berdatangan dari 100 lebih negara, tercatat ada 400 pelari Indonesia, dengan 200 orang di antaranya merupakan orang Indonesia yang sedang mengelana ke sejumlah kota di seluruh dunia.
Saat menuju santap siang bersama Konjen RI di Chicago yang berlangsung di Star of Siam, Sabtu (12/10/2019), misalnya, saya berkenalan dengan dua pelari Indonesia. Mereka mengaku sengaja datang dari Berlin, Jerman, untuk berlari di Chicago Marathon.
Meski demikian, Chicago Marathon merupakan event maraton dengan keunikan tersendiri yang rasanya juga harus dicoba oleh para penggemar maraton. Cuaca dengan suhu dingin dan tiupan angin yang tak pernah berhenti di kota yang menyenangkan itu menjadi tantangan tersendiri. Belum lagi hujan yang terkadang bisa turun kapan saja.
”Pokoknya siapkan dua set gears lari,” ujar Adriansyah Chaniago alias Aad. Salah seorang penamat Six Stars WMM dari Indonesia itu menjadi tempat bertanya saya untuk mengenal medan Chicago selain membaca sejumlah referensi atau menonton video.
Cuaca di Chicago bisa tiba-tiba berubah dari yang sunny dengan matahari lembut menjadi tiba-tiba dingin dengan suhu dingin dan angin kencang. Setiap subuh, dengan kondisi tidur tidak nyenyak akibat jet lag, saya mengintip ke luar jendela Hyatt Place di River North, Chicago.
Penyelenggara Chimar secara berkala mengabarkan prediksi cuaca beberapa hari ke depan kepada para peserta maraton yang umumnya sudah tiba di Chicago sejak beberapa hari sebelumnya. Mereka memberi warna prediksi cuaca sesuai dengan ancaman cuaca, mulai dari hijau (rendah), kuning (moderat), merah (tinggi) ,dan hitam (ekstrem).
Hijau adalah kondisi terbaik dan nyaman walau pelari tetap diminta waspada. Ya, kondisi hijau inilah yang diberikan pada saat berlangsungnya Chicago Marathon 2019 yang mengambil start di seputaran Millenium Park, yang antara lain terkenal dengan ikon Bean (Cloud Gate) yang terkenal itu.
Digoyang angin
Dari dua set gears yang saya persiapkan, yakni perlengkapan untuk hujan dan tidak hujan, saya pun memilih perlengkapan lari yang relatif mirip, seperti jersey dan celana saat berlari di Indonesia. Meski demikian, manset pelindung lengan dan sarung tangan juga tetap dipersiapkan untuk mengantisipasi suhu dingin.
Pengalaman lari di acara Advocate Health Care International Chicago sehari sebelumnya, Sabtu (12/10/2019), saya rasakan jari-jari yang membeku dan mulut terasa pelo walau hanya lari gembira 5 kilometer dengan suhu bersahabat 5-9 derajat celsius.
Begitulah, hari Minggu saat lomba berlangsung, suhu Chicago berkisar 4-5 derajat celsius dengan kecepatan angin rata-rata 10 mil per jam. Keluar dari lobi hotel, sekitar pukul 05.30 untuk berjalan ke lokasi start sekitar 2 kilometer, angin dingin langsung menyergap wajah. Tubuh yang dibalut ponco keresek plastik lumayan membantu.
Di lokasi start di Coral K, saya bertemu pelari Indonesia, Adlan Djohan alias Makdel, yang dari wajah hingga ujung kaki sudah terbungkus baju. ”Saya memakai empat lapis pakaian dan celana, enggak kuat dinginnya,” katanya.
Tidak terbayang berlari dengan pakaian berlapis seperti itu. Apalagi selepas kilometer 10, tubuh sudah mulai menghangat walau tidak terasa keluar keringat.
Berbekal latihan yang cukup dengan program maraton dari coach Rudy Dimyana, pelatih lari tim Bandung Explorer (Bandrex), lumayan membuat percaya diri. Berbagai kesibukan, membuat program latihan hanya berlangsung 70-80 persen saja. Namun begitu, tidak mengurangi semangat untuk menyelesaikan misi finis maraton di Chicago.
”Windy City”
Dengan lintasan yang relatif rata, berlari di Chicago sangatlah menyenangkan. Sorak-sorai warga ”kota angin” sejak start hingga finis tak pernah putus. Bukan saja menyediakan makanan dan minuman kecil untuk para pelari, sejumlah hiburan juga mereka hadirkan. Sepertinya niat banget untuk memberikan dukungan.
Sejumlah poster yang kebanyakan bertuliskan tangan ala kadarnya lumayan mengundang senyum di tengah lelah mendera. ”Run! Your mom waiting and freezing!”, ”The worst carnival, ever!”, dan berbagai kalimat lucu lainnya.
”Kamu udah latihan berbulan-bulan. Saatnya membuktikan hasilnya sekarang!”. Jalanan pun selama lomba berlangsung hanya diperuntukkan untuk para pelari. Tidak ada orang yang menggunakan kendaraan bermotor atau mencaci maki kepada para pelari seperti biasa terjadi saat Jakarta Marathon, misalnya.
Namun, karakter cuaca Chicago ternyata memberi ujian tersendiri. Walaupun terasa nyaman berlari di Zona 3, selepas Kilometer 24, tiba-tiba gejala kram di atas lutut terasa. Tidak ada jalan lain kecuali mengurangi pace. Namun, kemungkinan karena mengubah form lari itulah, rasa kram malah menular ke kedua selangkangan. Ups! Daripada kaki mengunci dan gagal finis alias do not finish (DNF), kombinasi power walk dan lari pun menjadi pilihan.
Lintasan lari yang mengelilingi kota Chicago dengan bangunan-bangunan tinggi ibarat hutan beton menjulang ternyata menjadikan angin menerpa kencang. Ruang di antara ruangan menjadi semacam terowongan angin atau wind tunnel. Beberapa kali tubuh terdorong angin dan membuat goyang badan.
Beruntung jika angin bertiup searah kita lari akan terasa sangat membantu. Gedung-gedung tinggi ternyata—seperti halnya di Tokyo Marathon—membuat kacau bacaan sport watch saya. Penunjuk arah dan pace di jam tidak memberikan angka yang akurat sehingga memecah konsentrasi tersendiri.
Tidak ada yang lebih membahagiakan ketika akhirnya kita bisa menyelesaikan finis sebuah maraton. Namun, finis maraton di Chicago ternyata juga memberikan pengalaman bagaimana warga kotanya sangat mengapresiasi para penamat maraton.
”Wow, kamu luar biasa!” atau ”Selamat ya, kamu keren!” adalah ucapan yang biasa disampaikan warga kepada para pelari seusai finis. Tidak mengherankan jika kemudian para pelari pun berkeliling kota, belanja ke mal, makan atau minum di resto atau kafe sambil mengalungkan medali finisher Chicago Marathon mereka. Sebuah upaya untuk menghargai hasil perjuangan!