Pemerintah Hong Kong akhirnya membatalkan rancangan undang-undang ekstradisi yang telah memicu rangkaian unjuk rasa besar sejak Juni 2019. Walakin, penarikan itu diragukan bisa meredakan unjuk rasa.
Oleh
Kris Razianto Mada
·3 menit baca
Setelah berbulan-bulan berunjuk rasa, sebagian tuntutan demonstran dipenuhi. Sayangnya, tidak ada tanda-tanda unjuk rasa akan mereda setelah RUU Ekstradisi resmi dicabut.
HONG KONG, RABU— Pemerintah Hong Kong akhirnya membatalkan rancangan undang-undang ekstradisi yang telah memicu rangkaian unjuk rasa besar sejak Juni 2019. Walakin, penarikan itu diragukan bisa meredakan unjuk rasa.
Menteri Keamanan Hong Kong John Lee mengumumkan penarikan itu kepada parlemen, Rabu (23/10/2019). RUU itu dinilai telah memicu konflik di masyarakat. ”Secara resmi saya mengumumkan penarikan RUU,” katanya.
Pembahasan RUU itu telah memicu unjuk rasa tanpa henti sejak Juni 2019. RUU itu memungkinkan pelanggar hukum di Hong Kong dikirim ke China. Warga Hong Kong khawatir RUU itu akan digunakan pemerintah pusat China menekan demokrasi di Hong Kong lewat penangkapan.
Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam pertama kali mengumumkan pencabutan itu pada 4 September 2019. Kala itu, ia menyatakan, pencabutan adalah salah satu cara membenahi Hong Kong yang terguncang unjuk rasa tanpa henti.
Sikap Pemerintah Hong Kong soal RUU itu berubah- ubah. Awalnya, pemerintah hanya menunda pembahasan. Juli 2019, Lam menyatakan, RUU itu sudah mati. Selanjutnya, Lam mengumumkan RUU akan resmi ditarik.
Sayangnya, penarikan RUU itu diragukan bisa meredakan unjuk rasa. ”Sangat berbeda antara menunda dan menarik. Sudah terlambat. Ada tuntutan lain yang perlu dipenuhi pemerintah, khususnya soal kebrutalan polisi,” kata Connie (27), salah seorang pengunjuk rasa.
Pengunjuk rasa memang menuntut penyelidikan independen atas dugaan kebrutalan polisi selama menangani unjuk rasa. Mereka juga meminta pembatalan seluruh dakwaan terhadap siapa pun yang ditangkap selama unjuk rasa, aparat tidak menyebut pengunjuk rasa sebagai perusuh, serta hak pilih penuh dalam pemilu Hong Kong.
”Demokrasi dan hak asasi manusia hanyalah alasan munafik Barat untuk mencampuri masalah Hong Kong,”
Sejauh ini, hanya pembatalan RUU yang dipenuhi pemerintah. Sementara empat tuntutan lain belum ada tanda akan dipenuhi.
Sikap China
Terpisah, Beijing menuding barat berstandar ganda soal Hong Kong dibandingkan aksi serupa di Eropa dan Amerika Latin. Beijing mengacu pada unjuk rasa di Spanyol, Inggris, dan Chile yang juga berlangsung lama. ”Demokrasi dan hak asasi manusia hanyalah alasan munafik Barat untuk mencampuri masalah Hong Kong,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Hua Chunying.
Ia menunjuk penanganan otoritas lokal atas massa yang terlibat, baik di Catalonia, Spanyol; di Chile; maupun di Inggris. Selain menggunakan kekerasan, otoritas keamanan di negara-negara itu menangkapi para pengunjuk rasa.
”Menyiarkan kemunafikan Barat adalah taktik umum media-media resmi China sejak dulu, khususnya dalam isu keamanan dan hak asasi manusia.
”Kita menyaksikan kekerasan di Hong Kong juga terjadi di tempat lain. Di Catalonia, mereka (pengunjuk rasa) secara terbuka menyatakan akan menjadi Hong Kong kedua dan mereka terinspirasi pada apa yang terjadi (di Hong Kong). Saya pikir orang harus menimbang tindakannya,” kata Menlu China Wang Yi
Namun, pemerhati melihat hal lain. ”Menyiarkan kemunafikan Barat adalah taktik umum media-media resmi China sejak dulu, khususnya dalam isu keamanan dan hak asasi manusia. Dengan cara itu, media resmi (China) secara tidak langsung mengesahkan pendekatan keras di Hong Kong,” kata Maria Repnikova, pengajar komunikasi politik di Georgia State University, Amerika Serikat.
Peneliti isu China di Macquarie University, Adam Ni, mengatakan, Beijing dan media China sangat menentang unjuk rasa. ”Mereka (pengunjuk rasa) digambarkan sebagai penjahat dalam skenario gelap. Beijing memanfaatkan situasi di Catalonia untuk membuktikan bahwa hanya pemerintah pusat yang kuat, penegakan hukum yang kuat, yang dapat menyelamatkan keadaan,” katanya.