Demikianlah, yang lebih penting dari demokrasi bukanlah prosedur terpilihnya pemerintahan, melainkan bagaimana respons pemerintahan terpilih dalam menyehatkan tatanan demokrasi.
Oleh
Yudi Latif
·4 menit baca
Tantangan terberat pemerintahan mendatang adalah memulihkan kepercayaan antarpemangku kepentingan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara: antarelemen dalam negara, antara negara dan masyarakat, serta antarelemen dalam masyarakat.
Langkah awal untuk itu harus sudah terlihat dari susunan kabinet. Memilih figur-figur dengan reputasi terpuji dan tepercaya di mata publik bisa menimbulkan efek berantai dalam memulihkan kepercayaan di berbagai dimensi dan level kehidupan publik. Saat krisis kepercayaan, kualitas integritas seseorang lebih diutamakan ketimbang kecakapan teknis.
Setelah itu, perlu pemahaman yang lebih mendalam bahwa krisis kepercayaan dalam politik kenegaraan kita terjadi sebagai arus balik dari ledakan kebebasan yang tidak dikelola secara positif-produktif.
Gelombang pasang kebebasan dalam kemunculan Orde Reformasi semestinya dibarengi dengan penegakan tertib hukum. St Augustine jauh-jauh hari telah mengingatkan, tertib hukum harus mendahului kebebasan dan keadilan; sebab, apalah artinya hak (rights) kalau hidup terus-terusan dirundung teror.
Kebebasan positif-produktif memerlukan keseimbangan antara kekuatan negara dan kekuatan masyarakat. Daron Acemoglu dan James A Robinson dalam The Narrow Corridor (2019) menggambarkan ruang hidup kebebasan yang sehat itu berada dalam koridor sempit antara negara kuat yang beresonansi dengan masyarakat kuat.
Kita memerlukan negara yang kuat (leviathan); sebab, apabila negara lemah, sedangkan masyarakat kuat, yang akan berkembang adalah anarki. Kita juga memerlukan masyarakat yang kuat; sebab, apabila masyarakat lemah, sedangkan negara kuat, yang akan berkembang adalah tirani. Dengan kata lain, untuk mengembangkan kebebasan positif-produktif, perlu ada pembagian peran, kerja sama, serta kemampuan saling mengontrol antara negara dan masyarakat.
Negara kuat jangan sampai mengarah pada negara dominan (despotic leviathan). Kekuatan negara harus tetap berada dalam ambang batas pengendalian (shackled leviathan). Caranya, pertama harus ada mekanisme checks and balances antarberbagai kekuatan dalam negara.
Dalam kaitan ini, yang harus diwaspadai adalah kemunculan apa yang disebut sebagai ”problem Gilgames”. Pahlawan mitos Gilgames adalah raja Uruk di kawasan Mesopotamia, yang berhasil membangun negerinya secara gilang gemilang. Namun, pembangunan yang megah itu dijalankan di bawah kepemimpinan despotik, yang membawa ketakutan dan penderitaan bagi rakyatnya.
Dalam keputusasaan, rakyat tertindas berdoa kepada ”Tuhan langit”, memohon pertolongan. Doa dikabulkan dengan menciptakan kekuatan tandingan dalam sosok Enkidu, yang diharapkan bisa melakukan checks and balances.
Pada mulanya, skenario berjalan sesuai harapan, di mana Enkidu melakukan penghadangan terhadap tindakan semena-mena Gilgames. Namun, dalam perkembangan kemudian, Gilgames merangkul Enkidu, berkonspirasi bergandengan tangan menjalankan dominasi negara dengan menghabisi lawan politik. Tidak lama kemudian, kebebasan rakyat pun lenyap.
Untuk mencegah problem Gilgames, rakyat tidak bisa hanya mengandalkan mekanisme checks and balances antarkekuatan dalam negara. Masyarakat harus membangun kekuatan sendiri untuk bisa mengontrol kebijakan dan perilaku pemerintahan.
Untuk memperkuat masyarakat, pertama-tama, warga negara harus dibebaskan dari ”sangkar norma”, yakni norma-norma adat atau agama yang mengekang hak asasi dengan efek dehumanisasi.
Kedua, warga yang telah dibebaskan dari ”sangkar norma” itu harus aktif terlibat dalam urusan publik, dengan kemampuan mengartikulasikan aspirasi serta mengorganisasikan aspirasi itu dalam gerakan aksi bersama.
Ketiga, dalam gerakan aksi bersama itu, kekuatan-kekuatan masyarakat tidak teperdaya oleh sentimen perbedaan identitas yang dapat memecah belah, tetapi harus lebih fokus pada isu-isu substantif sebagai biang persoalan yang melemahkan dan merugikan masyarakat secara keseluruhan.
Kekuatan negara yang sehat bisa diraih manakala demokrasi yang dijalankan dapat memperkuat kapasitas negara untuk menegakkan hukum, mengendalikan kekerasan, memperkuat meritokrasi, memberantas korupsi dan klientelisme, memperluas penerimaan identitas nasional, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, menyediakan sarana-prasarana dan pelayanan publik yang lebih baik.
Kekuatan masyarakat yang sehat bisa diraih manakala demokrasi dapat memperkuat kapasitas masyarakat dalam membebaskan warga dari kungkungan nilai feodalisme dan tribalisme, menumbuhkan budaya kewargaan, meluaskan pergaulan lintas-kultural, mengembangkan kerja sama multikultural dalam mengupayakan keadilan dan kesejahteraan umum, serta memperkuat modal sosial lewat perluasan jaringan konektivitas dan inklusivitas gerakan sosial untuk memperjuangkan agenda-agenda publik dan mengontrol jalannya pemerintahan.
Hanya dengan penguatan kapasitas negara dan masyarakat, rasa saling percaya bisa dipulihkan. Dengan pulihnya rasa saling percaya, interaksi sosial dan kerja sama antarpemangku kepentingan dalam kehidupan bangsa akan berkembang. Dengan itu, institusi-institusi negara bisa lebih kredibel, lebih mampu mengatasi konflik dalam masyarakat.
Jika hubungan yang sehat ini bisa dipelihara secara efektif dan berkesinambungan, akan tercipta nilai tambah dalam bentuk tertib sosial, kreativitas dan produktivitas, kesejahteraan dan kebahagiaan hidup bersama.
Demikianlah, yang lebih penting dari demokrasi bukanlah prosedur terpilihnya pemerintahan, melainkan bagaimana respons pemerintahan terpilih dalam menyehatkan tatanan demokrasi. Terlalu mahal harga pemerintahan ini, dalam ongkos finansial, sosial, bahkan nyawa manusia. Saatnya melakukan penebusan!