Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif dinilai mesti merealisasikan target dalam rencana umum energi nasional. Salah satunya adalah porsi energi terbarukan.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif dinilai mesti merealisasikan target dalam rencana umum energi nasional. Salah satunya adalah porsi energi terbarukan setidaknya 23 persen dalam bauran energi nasional pada tahun 2025.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa berpendapat, target itu sejalan dengan amanat Presiden Joko Widodo agar Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merealisasikan energi terbarukan demi mengurangi impor minyak dan gas bumi.
”Salah satu hambatan pengembangan energi terbarukan di Indonesia adalah tarif listrik (yang belum mencapai keekonomian) dan regulasi yang belum memberikan kepastian lantaran mudah sekali berubah. Saya kira itu yang perlu diperhatikan bagi menteri yang baru dalam hal pengembangan energi terbarukan,” ujar Fabby, di Jakarta, Rabu (23/10/2019).
Selain itu, pemerintah juga dituntut mewujudkan rasio elektrifikasi hingga 100 persen. Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, sampai semester I-2019, rasio elektrifikasi sudah mencapai 98,81 persen. Nusa Tenggara Timur adalah provinsi terendah dalam hal capaian rasio elektrifikasi, yaitu 72 persen.
Dalam sambutan acara serah terima jabatan Menteri ESDM, Arifin Tasrif menyinggung hal defisit neraca perdagangan migas yang harus segera diatasi. Ia mengajak seluruh pihak untuk bekerja sama dan saling terbuka dalam menghadapi masalah.
Mengutip data Badan Pusat Statistik, periode Januari-September 2019, neraca perdagangan Indonesia defisit 1,945 miliar dollar AS. Defisit terjadi akibat defisit di neraca migas 6,441 miliar dollar AS yang tidak bisa ditutupi dengan surplus neraca nonmigas 4,496 miliar dollar AS (Kompas, 16/10/2019).
Sebelumnya, terkait investasi hulu migas nasional, pelaku industri hulu migas mengaku bahwa perizinan yang berbelit dan panjang menjadi salah satu kendala berinvestasi di Indonesia. Pemangkasan perizinan dan penyederhanaan birokrasi oleh pemerintah belum cukup. Kalau tak ada perbaikan, Indonesia bisa dianggap tak menarik di mata investor hulu minyak dan gas bumi.
”Pemerintah memang sudah melakukan perbaikan dalam hal pemangkasan perizinan ataupun sistem perizinan satu pintu, tetapi faktanya masih banyak izin yang harus kami urus dengan tidak ada kepastian kapan izin itu selesai,” ucap Direktur Asosiasi Perminyakan Indonesia (IPA) Nanang Abdul Manaf.
Menurut Nanang, apabila tidak ada perbaikan berarti untuk masalah perizinan di sektor hulu migas Indonesia, investor bisa berpaling ke negara lain yang lebih menarik dan memberikan banyak kemudahan. Di satu sisi, Indonesia sangat butuh penambahan produksi minyak di dalam negeri untuk menutup defisit produksi dan konsumsi minyak nasional. Produksi minyak di dalam negeri yang sekitar 800.000 barel per hari belum cukup menutupi kebutuhan nasional yang mencapai 1,5 juta barel per hari.
”Indonesia sudah menjadi negara net importir minyak, bukan lagi net eksportir. Bayangkan, berapa banyak devisa yang harus dibelanjakan untuk kebutuhan impor minyak? Harus diperhitungkan pula dampaknya bagi neraca perdagangan kita,” kata Nanang.