Revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah menjadi tugas yang harus segera dituntaskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah yang baru saja terbentuk.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah menjadi tugas yang harus segera dituntaskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah yang baru saja terbentuk. Ini adalah ujian pertama bagi mereka untuk memastikan demokrasi lokal di Indonesia berjalan dengan konstitusional dan berlegitimasi kuat.
Salah satu persoalan yang harus segera diselesaikan adalah terkait nomenklatur lembaga pengawas pelaksanaan pemilihan di tingkat kabupaten/kota. Pasal 1 Angka (17) UU Pilkada menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah tingkat kabupaten/kota diawasi oleh Panitia Pengawas (Panwas).
Panwas adalah sebuah badan ad hoc yang dibentuk oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) provinsi. Padahal, Bawaslu sebagai sebuah badan tetap memiliki struktur hingga tingkat kabupaten/kota.
”Perbedaan nomenklatur ini dapat mengurangi aspek kepastian hukum penyelenggaraan pilkada,” kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (24/10/2019).
Apabila nomenklatur lembaga pengawas di UU Pilkada tidak direvisi, akan memunculkan ketidakjelasan pada aspek pengawasan penyelenggaraan pilkada. Peserta pilkada dapat memprotes bahwa seharusnya mereka diawasi oleh sebuah Panwas, bukan Bawaslu.
”Akhirnya berdampak pada legitimasi pilkada dan bisa memicu konflik karena ketidakpuasan dari pihak-pihak yang berkepentingan,” kata Titi.
Pilkada 2020 dijadwalkan akan digelar secara serentak pada 23 September 2020 di 270 daerah sekaligus, yakni 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Mengenai anggaran penyelenggaraan Pilkada 2020 juga sampai saat ini masih belum tuntas.
Berdasarkan UU Pilkada, pembiayaan penyelenggaraan pilkada berasal dari APBD. Untuk itu, Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) diperlukan untuk menyalurkan dana daerah kepada lembaga penyelenggara pemilu. Hingga saat ini, masih ada 18 daerah yang belum memiliki NPHD.
”Mungkin harus ada mekanisme penyelesaian yang ditawarkan secara lebih melembaga oleh pemerintah bagi daerah-daerah yang tidak kunjung merealisasikan penganggaran,” kata Titi.
Kalau perlu, kata Titi, untuk jangka panjang, ketentuan pembiayaan pilkada berasal dari APBD perlu direvisi menjadi ditanggung seluruhnya oleh APBN.
Dengan sejumlah persoalan yang mendesak tersebut, Titi menilai, ini adalah ujian pertama bagi Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam menjawab kebutuhan nyata penataan pilkada dan demokrasi lokal.
”Ini adalah konsolidasi demokrasi lokal yang harus dipastikan berjalan secara konstitusional dan punya derajat legitimasi yang kuat,” kata Titi.
Jaga stabilitas
Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam pidatonya saat apel pegawai Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kamis (24/10/2019), mengingatkan jajarannya untuk menjaga stabilitas politik di daerah.
Ini penting karena tanpa stabilitas, target yang telah dipatok oleh Presiden Joko Widodo akan sulit tercapai. Mulai dari mempercepat pembangunan infrastruktur, pengembangan sumber daya manusia, hingga penanggulangan kemiskinan.
”Kita harus bisa menangkap kebijakan di kementerian dan lembaga lain yang berpotensi berdampak pada politik dan keamanan. Kita harus menjaga politik di daerah karena tanpa situasi yang aman, pembangunan tidak akan jalan,” tambahnya.
Instabilitas mungkin saja terjadi mengingat kabinet baru terbentuk. Kabinet baru biasanya butuh waktu untuk bisa stabil. ”Kita jaga dua bulan ini karena biasanya kabinet baru belum stabil, kita berusaha jaga stabilitas,” katanya.
Selain itu, instabilitas mungkin terjadi karena pembahasan sejumlah rancangan undang-undang. Ini seperti yang terjadi akhir September lalu. Terkait hal itu, dia meminta Kemendagri tidak diam. Sebagai pembina kepala daerah, Kemendagri harus terus-menerus mengingatkan kepala daerah.
”Saya merasakan pentingnya peran kepala daerah untuk ikut turun. Kalau semua turun bersama dengan pihak terkait seperti Polri dan TNI, gejolak lebih mudah ditangani,” ujarnya.
Untuk jangka panjang, ketentuan pembiayaan pilkada yang berasal dari APBD perlu direvisi menjadi ditanggung seluruhnya oleh APBN.
Tito juga menyinggung penyelenggaraan Pilkada 2020 yang akan digelar di 270 daerah dalam pidatonya. Dia mengatakan, menjadi salah satu tugas utama Kemendagri untuk memastikan suksesnya agenda demokrasi tersebut.