Doa bagi Bunda Tanah Melayu
Tradisi Mandi Safar di Kabupaten Lingga hidup sejak berabad lampau. Selain diyakini menolak bala dan sarana silaturahmi, tradisi yang dibarengi pulang kampung itu juga doa bagi kembalinya kemakmuran dan kejayaan.
Rabu terakhir bulan Safar dalam hitungan tahun Hijriah adalah waktunya orang Melayu pulang ke akarnya. Saat itulah, kapal-kapal dari kota-kota di Riau, Johor, Pahang, Tumasik, dan Tanjung Pinang ramai berlabuh di Daik, Lingga, Kepulauan Riau. Mereka datang untuk mendoakan Sang Bunda Tanah Melayu yang kini tua dan layu agar kembali bangkit serta jaya lagi.
Tahun ini, Rabu terakhir jatuh pada 23 Oktober. Saatnya warga dari banyak daerah berkumpul, mandi bersama menolak bala, bersilaturahmi, atau introspeksi diri. Pasca-penetapan Mandi Safar sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2018, Pemerintah Kabupaten Lingga mengemas tradisi itu sebagai acara kebudayaan akbar bagi orang Melayu. Warga kota Daik, Lingga, membukakan pintu bagi keluarga dari seberang lautan.
Tahun ini, Mandi Safar dipusatkan di Gedung Lembaga Adat Melayu (LAM) Kabupaten Lingga. Rabu pukul 07.00, ratusan orang berbagai usia memadati jalan menuju lokasi di kaki Gunung Daik itu. Laki-laki mengenakan baju adat Melayu teluk belanga dipadu tanjak (ikat kepala). Para perempuan mengenakan kebaya labuh dan kerudung. Mayoritas dengan warna cerah. Pada barisan paling depan, remaja perempuan berkerudung merah muda membawa sekol (gayung dari tempurung kelapa) di atas nampan berbalut kain hijau. Ia dikawal dua prajurit berbaju hitam.
”Makna tradisi ini mempererat silaturahmi dengan bersama-sama pulang ke tempat asal, Bunda Tanah Melayu di Daik, untuk bersama-sama menolak bala,”
Di lokasi pemandian, sekol diserahkan kepada tokoh adat pengatur prosesi pemandian 11 anak terpilih, enam laki-laki dan lima perempuan. Semuanya di bawah 10 tahun. ”Tidak harus 11 anak, yang penting ganjil sesuai bilangan kesukaan Allah,” kata Ketua LAM Muhammad Ishak. Pemuka agama yang ditunjuk bertugas menyiapkan air yang telah didoakan. Beberapa lembar kertas dan daun bacang (sejenis mangga) bertuliskan wafaq atau doa dicemplungkan ke tempayan.
Diiringi doa para pemuka agama, anak-anak dimandikan satu per satu, disiram oleh sejumlah tokoh adat dan pejabat pemerintahan. Itu menandai dimulainya tradisi Mandi Safar. ”Makna tradisi ini mempererat silaturahmi dengan bersama-sama pulang ke tempat asal, Bunda Tanah Melayu di Daik, untuk bersama-sama menolak bala,” ujar Ishak. Seusai prosesi simbolis itu, warga dilepas melanjutkan Mandi Safar mandiri di sumber air atau pantai terdekat. Biasanya mereka mandi bersama siang atau sore selepas anak-anak pulang sekolah.
Seabad lewat
Semua berawal tahun 1911 ketika Sultan terakhir Riau-Lingga Abdul Rahman Muazzam Syah II dimakzulkan dari takhta Tanah Melayu oleh Belanda. Sebelum mengasingkan diri ke Tumasik (Singapura), ia berlayar dari istananya di Pulau Penyengat (Tanjung Pinang) ke Daik (Lingga) untuk Mandi Safar terakhir.
”Pesannya, di mana pun orang Melayu berada, kita dianjurkan balik ke Daik untuk Mandi Safar bersama setiap tahun,” kata Sekretaris Daerah Kabupaten Lingga Juramadi Esram.
Setelah Sumatera dikuasai Belanda dan Semenanjung Malaka diduduki Inggris, tak ada lagi kekuatan baru yang mampu menyatukan Tanah Melayu. Meski begitu, kerinduan bertemu dan berkumpul sebagai satu keluarga masih terus hidup, bahkan melampaui batas negara yang kini memisahkan mereka.
Namun, kini Daik sudah banyak berubah. Tak lagi megah dan jaya seperti zaman Kesultanan Riau-Lingga. Badan Pusat Statistik mencatat, realisasi Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Lingga pada 2017 hanya Rp 22 miliar. Jumlah itu yang terkecil di Kepulauan Riau.
Padahal, pada masa lalu, daerah itu pusat kesultanan yang menguasai perairan tersibuk di dunia. Sebagai penerus Kesultanan Melaka yang runtuh karena serbuan Portugis pada 1511, Riau-Lingga diberi hak mengawasi sisi selatan Selat Malaka hingga perairan utara sampai ke Natuna di Laut China Selatan (Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepulauan Riau).
”Daik pernah menjadi pusat Kesultanan Riau-Johor-Pahang-Lingga lebih dari seabad sejak Sultan Mahmud Riayat Syah memindahkan pusat pemerintahan dari Hulu Riau ke Pulau Lingga pada 1787,” kata Ishak yang juga Kepala Dinas Kebudayaan Lingga itu. Kekuasaan Riau-Lingga mulai terkikis seiring ditandatanganinya perjanjian antara Inggris dan Belanda di London pada 1824. Semenanjung Malaka dikuasai Inggris dan Sumatera dikuasai Belanda. Riau-Lingga jadi kesultanan tersendiri, terpisah dari Johor.
Berada di bawah kendali Belanda, pemerintahan lebih banyak dijalankan dari Pulau Penyengat oleh Yang Dipertuan Muda (semacam perdana menteri). Namun, pada masa itu, Riau-Lingga justru mengalami puncak kejayaan yang ditandai pembangunan Istana Damnah di Daik pada 1860.
Ketika Sultan terakhir Riau-Lingga Abdul Rahman Muazzam Syah II memerintah, ia tak mau tunduk kepada Belanda. Ia menolak sistem pembagian kekuasaan dengan Yang Dipertuan Muda. Ia juga tak setuju aturan mengibarkan bendera Belanda lebih tinggi daripada bendera Kesultanan.
Tahun 1911, serdadu Belanda mengepung Pulau Penyengat. Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah II diturunkan dari takhta dan menyingkir ke Singapura. Namun, sebelum meninggalkan Riau-Lingga, ia sekali lagi mengunjungi Daik untuk Mandi Safar terakhir di rumah Bunda Tanah Melayu.
Warisan yang masih bisa meningkatkan perekonomian daerah adalah keindahan alam dan budaya.
Warisan
Istana Damnah, sisa kejayaan itu, menyisakan reruntuhan berupa tangga depan dan sedikit bangunan belakang. Cadangan bauksit dan timah andalan zaman kolonial sudah habis ditambang. Warisan yang masih bisa meningkatkan perekonomian daerah adalah keindahan alam dan budaya. Keduanya tidak akan pernah habis dan bisa menjadi daya tarik wisata.
Selain kaya tradisi budaya dan situs sejarah, Lingga punya potensi pariwisata alam lengkap. Gunung, air terjun, air panas, pantai, dan keindahan bawah laut, semuanya ada di kabupaten yang terdiri atas 604 pulau itu. Doa warga Melayu dari seberang lautan yang mengikuti Mandi Safar itu mengobarkan harapan membangkitkan Bunda Tanah Melayu kembali makmur dan jaya lagi.