Hadiah untuk Penjaga Sungai Ute, Kapuas Hulu
Tanggal 24 September lalu, Apai Jangkut datang ke New York, Amerika Serikat, untuk menerima penghargaan bergengsi Equatorial Prize dari PBB. Apai mewakili masyarakat Dayak Iban yang dinilai berhasil menjaga ekosistem.
Tanggal 24 September lalu, Apai Jangkut datang ke New York, Amerika Serikat, untuk menerima penghargaan bergengsi Equatorial Prize dari PBB. Apai mewakili masyarakat Dayak Iban yang dinilai berhasil menjaga ekosistem di Dusun Sungai Ute, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
Penghargaan ini diberikan kepada komunitas yang sukses mengurangi kemiskinan dengan menerapkan pemanfaatan keanekaragaman hayati atau lingkungannya secara berkelanjutan. Upaya lokal tersebut dinilai berkontribusi pada upaya kolektif global untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs).
Jauh sebelum ia menerima Equatorial Prize mewakili sukunya, Apai dikenal luas di kalangan masyarakat adat, termasuk yang ada di mancanegara. Ia dan sukunya menjadi contoh sebagai komunitas masyarakat adat yang mampu menjaga ”surga yang hadir” di Dusun Sungai Ute, tempat tinggal Apai Janggut dan masyarakat adat Dayak Iban. ”Surga yang hadir” itu berupa tata ekosistem kehidupan yang ideal, selaras, harmonis, dan seimbang.
Terlahir sebagai Bandi Anak Regai, Apai sudah mendapatkan semua ”ilmu” untuk menjadi orang Dayak Iban. ”Rumah adat di Sungai Ute itu tidak boleh dikosongkan. Pokoknya harus ada penghuninya,” tutur Apai saat ditemui di Jakarta menjelang penghargaan Equatorial Prize, pada Senin (16/9/2019), di Jakarta. Dusun Sungai Ute sekarang sering disebut Sungai Utik. Dusun itu masuk wilayah Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
Kalau rumah sampai dingin, kita akan kena musibah.
Apai menuturkan, bagi orang Dayak Iban, rumah tidak boleh ditinggal dan menjadi dingin. Apabila rumah kosong berarti tidak ada kegiatan menyalakan api sehingga rumah menjadi dingin. ”Kalau sampai dingin, kita akan kena musibah,” kata Apai.
Batasnya adalah tiga hari. Lebih dari tiga hari rumah ditinggalkan, penghuninya akan dijatuhi sanksi adat, yaitu dengan denda berupa uang, ayam, dan parang. Ayam digunakan untuk menangkal jika ada musibah orang sakit. Darah ayam untuk memberi tanda pada semua warga. Apabila ada musibah orang meninggal dalam kurun waktu itu, dendanya berupa uang bisa mencapai hingga Rp 30 juta.
Bentuk denda uang baru muncul belakangan ketika tempayan tua dan gong tua yang asli dari leluhur semakin menghilang karena banyak yang rusak. Semakin kaya seseorang semakin banyak tempayannya karena bisa membeli dari yang lain. ”Sekarang barang-barang itu sudah langka karena sudah banyak rusak,” kata Apai.
Pada masa sekarang, alasan orang Dayak Iban meninggalkan rumah betang dalam jangka lama karena bekerja ke Malaysia. Menjaga rumah betang tetap ditinggali secara penuh menjadi isu krusial karena di beberapa suku Dayak, rumah betang yang kosong menghilangkan tradisi membangun kesepakatan bersama seluruh warga.
Ketika tradisi hilang, eksistensi masyarakat adat terancam hilang. Keberlangsungan tradisi dan adat istiadat menjadi salah satu syarat pengakuan negara terhadap suatu komunitas masyarakat adat. Apai menjelaskan, ”Kami selalu memutuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan masyarakat adat di rumah betang. Kami semua berkumpul untuk membuat kesepakatan rumah betang.”
Menghentikan konflik
Kakek Apai adalah ketua suku Temenggung Judan yang menguasai tujuh kampung di wilayah Sungai Ute yang disebut Ketemenggungan Sungai Ute. Kata Ute dalam bahasa Mbalo adalah putih. Ketika itu situasi masih kacau karena banyak perang antarsuku. Dayak Iban adalah suku yang pandai berperang, dengan tradisi ngayau (berburu kepala).
Pada mulanya, sang kakek yang dari Lanjak meminta wilayah Sungai Ute dari suku Dayak Tamambaloh, melalui bangsawan (samagat) di Ulak Pao, Maling Malungsa, penguasa Sungai Ute. Suku Dayak Tamambaloh kemudian berpindah ke pesisir Embaloh dan menyerahkan Sungai Ute. Seluruh masyarakat di Kapuas Hulu ada 30 lebih suku.
Pemberian itu ada syaratnya, yaitu harus menjaga jangan ada pembunuhan lagi. Mereka meminta, jaga kampung tetap bagus, selagi kalian di sini, kalian memiliki apa yang ada di hutan ini.
”Pemberian itu ada syaratnya, yaitu harus menjaga jangan ada pembunuhan lagi. Mereka meminta, jaga kampung tetap bagus, selagi kalian di sini, kalian memiliki apa yang ada di hutan ini. Pelihara yang ada di sini, jangan dijual,” kata Apai mengulang pesan Maling.
”Kami ini sudah satu abad, sudah 130 tahun dari Lanjak turun ke Sungai Ute. Dulu selalu berperang antarsuku. Kami yang membuka perdamaian. Dulu orang masih kejam, tidak bisa menjadi kawan,” ujar Apai tegas.
”Kami Iban, kalau sudah mau, dia tidak ada mundur. Filsafatnya yaitu agek idup agek ngelaban, selagi masih hidup masih berjuang,” kata Apai.
Menolak HPH
Falsafah itulah yang mendasari penolakan mereka kepada pengusaha yang mencari izin hak pengusahaan hutan (HPH) dan semua aktivitas pembalakan liar. Selama kurun waktu 1980-an hingga akhir 1990-an, Sungai Ute dihadapkan pada ancaman perusakan hutan karena pembalakan liar dan upaya masuknya HPH.
Apai mengatakan, ”(Izin) HPH itu dibuat di atas kursi (pejabat), tidak mengetuk pintu kami.” Tulisan ”Ini Wilayah Kami” yang dipasang pihak luar dijawab dengan ”Kalau mampu bertanggung jawab atas seluruh dunia, boleh buka. Kalau tidak, jangan”.
Kalimat itu menjadi lazim di kalangan aktivis lingkungan. Menurut Apai, kalau pengusaha bisa mengembalikan semua pohon-pohon dan seisi hutan persis seperti semula, sukunya akan mengizinkan.
Sempat terjadi upaya memecah belah warga. Ada uang dan ada mi instan berdus-dus dikirim. Namun, warga Sungai Ute bergeming. Pengusaha datang dan pergi. ”Biar kami miskin, namun kami punya wilayah adat berupa hutan yang bagus,” ujar Apai.
Semua kekompakan didasarkan pada kesepakatan rumah betang. Mereka membagi wilayah hutan dengan jelas dan ada aturan tegas berupa sanksi adat bagi yang melanggarnya. Di lahan seluas sekitar 10.000 hektar tersebut, sekitar 6.000 hektar menjadi hutan lindung, dan 3.500 hektar untuk berladang. Wilayah yang dilindungi dibagi dalam berbagai fungsi, yaitu sebagai hutan keramat yang di dalamnya ada makam leluhur dan hutan cadangan untuk masa depan.
Berbagai ritual masih mereka lakukan dalam siklus kehidupan mereka. Misalnya, ketika akan berladang, tak boleh memegang barang keramat karena akan turun hujan. Bentuk benda keramat bisa batu atau kayu. Filosofi yang mendasari kehidupan masyarakat adat suku Dayak Iban di Sungai Ute adalah tanah adalah ibu, hutan adalah ayah, dan air adalah darah.
Sampai anak kecil pun sudah tahu mana hutan mana yang boleh dirambah mana yang tidak, apa yang keramat dan sebagainya.
Ketika ancaman investasi bersifat ekstraktif kemungkinan terus hadir, dari dalam masyarakat Sungai Ute, Apai Janggut telah membangun sekolah adat.
”Sampai anak kecil pun sudah tahu mana hutan mana yang boleh dirambah mana yang tidak, apa yang keramat dan sebagainya. Mereka sudah tahu,” ujar Apai, yang sering kali menunjukkan mimik jenaka di tengah keseriusan dan ketegarannya melindungi hutan dan masyarakatnya.
Filosofi masyarakat Dayak Iban juga sederhana, ”Kami tidak mau kurang, kami tidak mau lebih. Kalau milik kami dikurangi, kami akan berkelahi. Kalau kami mau lebih juga (akan) berkelahi. Kami ingin semua damai.”
Dari semua kisah tersebut, perjuangan suku Dayak Iban belum berakhir. Mereka menunggu penetapan Hutan Adat Sungai Ute yang tak kunjung turun.
Bandi Anak Regai
Lahir: Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat
Pendidikan: tradisi suku Dayak Iban
Penghargaan: Equatorial Prize dari UNDP mewakili Masyarakat Suku Dayak Iban