Keterlibatan Publik Mengawasi Lingkungan Bisa Mengantisipasi Radikalisme
Pendapat yang masih meragukan aksi teroris di Indonesia harus dilawan dengan publikasi dan sosialisasi fakta lapangan.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Masyarakat diminta turut terlibat dalam memantau aktivitas orang yang diduga terpapar paham radikal untuk mencegah terjadinya aksi teror di masa mendatang. Keterlibatan publik juga untuk menjawab keraguan sejumlah kalangan atas aksi terorisme di Indonesia.
Mayor Jenderal (Purn) Supiadin Aries Saputra dalam diskusi bertajuk “Menangkal Radikalisme, Menjaga Indonesia”, Jumat (25/10/2019), di Jakarta, menjelaskan, terduga teroris juga hidup di tengah-tengah masyarakat. Oleh sebab itu, pengawasan dari masyarakat sangat penting untuk memperkecil ruang gerak dari terduga teroris.
Anggota Komisi I DPR periode 2014-2019 ini menyoroti pendapat warga pasca-penangkapan teroris atau setelah aksi teror usai. Hampir rata-rata warga, katanya, mengatakan terduga teroris bersifat tertutup dan jarang mengikuti pertemuan warga.
“Informasi itu baru didapat setelah aksi teror, apa gunanya? Korban sudah jatuh,” kata Supiadin.
Jika ada pendatang baru yang gerak-geriknya mencurigakan, lanjutnya, ada baiknya masyarakat melapor kepada ketua rukun tetangga (RT) setempat. Lalu, ketua RT kemudian merespons laporan warga dengan mendatangi rumah pendatang baru tersebut.
“Kedatangan ketua RT paling tidak akan memberikan pesan bahwa mereka (terduga teroris) tidak bebas dan diawasi,” katanya.
Untuk mewujudkan ini, dia melanjutkan, masyarakat harus diberi penjelasan yang memadai terkait radikalisme. Pendapat yang masih meragukan aksi teroris di Indonesia harus dilawan dengan publikasi dan sosialisasi fakta lapangan.
“Jadi dibuka semuanya biar rakyat tahu. Dengan dibuat transparan saja, masih ada yang meragukan, apalagi ditutup-tutupi,” katanya.
Ketika Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto diserang pada 10 Oktober lalu, tidak semua orang bersimpati. Ada yang menyebut peristiwa itu rekayasa. Bahkan, pendapat bernada minor juga datang dari sejumlah istri personel TNI, yang berujung pada pemberhentian personel TNI tersebut dari jabatan.
Dia menambahkan, radikalisme juga bisa diantisipasi dengan terus melanjutkan program kontra-radikalisme dan deradikalisasi. Ini untuk menguatkan ketahanan ideologi nasional.
Dalam diskusi yang diselenggarakan Partai Nasdem ini, turut hadir Anggota Komisi II DPR periode 2014-2019 Muchtar Luthfi A Mutty dan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sekaligus mantan Deputi V Kantor Staf Presiden, Jaleswari Pramodhawardani.
Dani menyatakan, radikalisme telah merangsek ke berbagai institusi dalam 10 tahun terakhir. Jika dirunut lebih jauh, benih radikalisme di kampus, misalnya, sudah terdeteksi menjelang 1980. Saat itu, negara meredam kegiatan politik mahasiswa melalui Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK).
Narasi fakta
Kini, katanya, radikalisme kian merebak dengan hadirnya media sosial. Oleh sebab itu, untuk menangkalnya dibutuhkan kerja sama banyak pihak. Di sisi lain, narasi fakta-fakta terkait terorisme di Indonesia harus terus digencarkan. Dengan begitu, penanganan radikalisme juga menjadi perhatian publik.
"Radikalisme menjadi alarm, bukan hanya perlu disikapi segera, tetapi juga harus disikapi secara bersama. Ini urusan negara, ini urusan bangsa. Memang tidak bisa jalan sendiri-sendiri," katanya.
Luthfi menambahkan, salah satu bentuk kerja sama itu, antara lain, melibatkan pemerintah daerah dalam menangkal radikalisme. Menurutnya, radikalisme tumbuh di wilayah yang warganya kurang sejahtera. Ditambah lagi, ketimpangan antara kaya dan miskin kian membuat orang untuk memikirkan opsi di luar bingkai Pancasila.
"Oleh sebab itu, kepala daerah harus tahu kantong-kantong kemiskinan. Berikan bantuan di wilayah tersebut," katanya.
Selain itu, ia menyarankan agar pemerintah dan rakyat tidak boleh berjarak. "Jangan hanya dialog karena dialog cenderung satu arah. Pemerintah dan rakyat itu harus mengobrol," katanya.