Ketidakjelasan Konstruksi Jender Picu Berbagai Masalah bagi Perempuan
Upaya menyelamatkan perempuan dari berbagai tindak kekerasan dan praktik berbahaya tidak akan memberi hasil optimal selama rekonstruksi jender yang timpang tidak dilakukan.
Upaya menyelamatkan perempuan dari berbagai tindak kekerasan dan praktik berbahaya tidak akan memberi hasil optimal selama rekonstruksi jender yang timpang tidak dilakukan.
JAKARTA, KOMPAS — Kematian ibu melahirkan, tak terpenuhinya akses layanan kontrasepsi, dan berbagai kekerasan berbasis jender masih dihadapi perempuan Indonesia. Meski merupakan persoalan lama, hal itu sulit dituntaskan hingga kini akibat belum jelasnya konstruksi jender dan kuatnya penabuan isu seksualitas.
Wakil Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Budi Wahyuni, di Jakarta, Kamis (24/10/2019), mengatakan ketidakjelasan atau ketimpangan konstruksi jender itu terjadi di masyarakat luas. Pembagian peran antara laki-laki dan perempuan belum setara.
Akibatnya, pembuat kebijakan dan pelaksana program juga tak memiliki pemahaman yang jelas tentang konstruksi jender yang jelas. Situasi itu berdampak pada banyak hal yang merugikan dan mendiskriminasi perempuan, bahkan membahayakan nyawa perempuan.
Perempuan Indonesia saat ini memang makin berdaya. Tak hanya terlibat dalam berbagai kegiatan publik, dalam urusan domestik pun mereka sudah bisa berbagi peran dengan suami mereka. Namun, perempuan tetap tak punya kuasa meski itu menyangkut tubuhnya.
”Perempuan belum terlibat dalam pengambilan putusan walau menyangkut tubuhnya sendiri,” katanya. Akibatnya, untuk menentukan jenis alat kontrasepsi, mengatur jarak antarkehamilan, menentukan jumlah anak, hingga menentukan tempat persalinan masih ditentukan suami atau keluarga besar mereka.
Perempuan belum terlibat dalam pengambilan putusan walau menyangkut tubuhnya sendiri.
Keputusan yang tak dimiliki perempuan itu yang jadi salah satu penyebab kematian ibu melahirkan karena terlambat dibawa ke rumah sakit. Saat ini, 1-2 ibu meninggal setiap jam akibat kehamilan atau proses persalinan. Pemerintah menargetkan menurunkan angka kematian ibu dari 305 per 100.000 kelahiran hidup pada 2015 menjadi 183 per 100.000 kelahiran hidup pada 2024.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Eni Gustina dalam Lokakarya ICPD25 (International Conference on Population and Development) di Jakarta, Senin (21/10/2019), mengatakan, penyebab utama kematian ibu adalah gangguan hipertensi dan perdarahan.
Sekitar sepertiga kematian ibu terjadi akibat kehamilan terlalu muda kurang dari 20 tahun dan terlalu tua lebih dari 35 tahun. Sementara sepertiga kematian ibu lainnya karena melahirkan lebih dari tiga kali.
Pernikahan anak berkontribusi besar dalam meningkatkan kematian ibu. Karena itu, dinaikkannya batasan umur menikah perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun, sama dengan laki-laki, diharapkan bisa menekan kematian ibu. ”Sekitar 48 persen pernikahan dari lebih 2 juta pernikahan setiap tahun dilakukan oleh perempuan yang umurnya kurang dari 20 tahun,” ucapnya.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Kesehatan Perempuan Zumrotin K Susilo menambahkan, batas usia minimal perkawinan di Undang-Undang Perkawinan memang sudah dinaikkan. Namun, implementasinya belum bisa berjalan di masyarakat, butuh sosialisasi masif di masyarakat.
Batas usia minimal perkawinan di Undang-Undang Perkawinan memang sudah dinaikkan. Namun, implementasinya belum bisa berjalan di masyarakat, butuh sosialisasi masif di masyarakat.
”Hal yang mengkhawatirkan adalah, meski ada UU, pelaksanaannya bisa kalah dengan praktik budaya,” katanya.
Tidak bisa biasa
Zumrotin mengatakan, upaya menurunkan kematian ibu juga tidak bisa dilakukan seperti biasa atau business as usual. Dari pengalaman sejak tahun 2000, pemerintah hanya mampu menurunkan angka kematian ibu sebesar 5 per 100.000 kelahiran hidup tiap tahun.
Tanpa upaya ekstra, upaya mencapai target kematian ibu sebesar 131 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun terakhir pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030 dipastikan tidak tercapai. ”Jika upaya yang dilakukan berjalan seperti biasa, dalam 11 tahun yang tersisa, kita hanya akan bisa menurunkan 55 angka kematian ibu,” ujarnya.
Pemerintah juga perlu mengidentifikasi semua faktor penyebab kematian ibu. Bukan hanya soal layanan kesehatan semata, melainkan juga gizi ibu dan remaja putri calon ibu. Penghitungan kematian ibu juga perlu menjangkau semua kasus karena selama ini ibu yang meninggal selama masa nifas di rumah tidak dimasukkan dalam angka kematian ibu.
Baca juga: Upaya Pencegahan Kematian Ibu Dimulai sejak Masa Pranikah
Selain itu, perempuan juga masih sulit mendapatkan informasi kesehatan reproduksi dan seksualitas yang baik dan benar. Dalam program penggunaan alat kontrasepsi, pemerintah lebih sering mendorong agar perempuan menggunakan alat kontrasepsi tertentu tanpa menjelaskan detail risiko yang menyertainya.
Budi menambahkan, pemerintah sebenarnya sudah berusaha menyediakan alat kontrasepsi sedekat mungkin dengan masyarakat. Namun, pendekatan selama ini masih terfokus pada pengendalian penduduk, bukan pemenuhan hak kesehatan reproduktif perempuan.
”Kampanye penggunaan alat kontrasepsi harusnya bertujuan menjadikan perempuan sehat, bukan sekadar menaikkan penggunanya,” kata Budi.
Saat ini, ada 5 juta perempuan yang ingin menggunakan kontraspesi, tetapi tak terlayani atau unmet need. Tingginya unmet need memicu kehamilan tak diinginkan yang meningkatkan risiko kematian ibu, terganggunya tumbuh kembang anak, dan berbagai persoalan lain yang memengaruhi kualitas hidup manusia ke depan.
Studi menunjukkan, jika seluruh kebutuhan kontrasepsi modern terpenuhi alias tidak ada unmet need, kehamilan tak diinginkan dapat diturunkan 70 persen, aborsi tidak aman 74 persen, kematian ibu 25 persen, dan kematian bayi baru lahir hingga 18 persen. Adapun studi pada 2012 membuktikan, penggunaan kontrasepsi modern sebesar 64,2 persen mampu menurunkan kematian ibu hingga 44 persen.
Studi pada 2012 membuktikan, penggunaan kontrasepsi modern sebesar 64,2 persen mampu menurunkan kematian ibu hingga 44 persen.
Di sisi lain, lanjut Budi, informasi kesehatan reproduksi yang disampaikan sering kali tidak mengikutkan isu seksualitas, termasuk di dalamnya perilaku seksual. Ketiadaan isu seksualitas itulah yang membuat perilaku seksual berisiko dan kekerasan seksual terhadap perempuan terus terjadi. ”Pemberian informasi terkait isu seksualitas masih dianggap mengajarkan seks bebas,” ujarnya.
Sementara itu, Sekretaris Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Pribudiarta Nur Sitepu mengatakan, tantangan terbesar untuk menekan kekerasan berbasis jender adalah mengubah cara pandang masyarakat terhadap praktik-praktik budaya yang berbahaya dan memengaruhi kualitas hidup perempuan. Dalam hal ini terutama terkait perkawinan anak, sunat perempuan, dan pendisiplinan yang berbasis kekerasan.
”Perlu upaya serius mengedukasi tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat untuk mengembangkan norma di masyarakat yang melindungi keluarga dari tindak kekerasan,” tuturnya.