Keputusan memasukkan Partai Gerindra dalam koalisi pemerintah membuat kursi yang dimiliki koalisi Jokowi-Amin di DPR semakin banyak.
Oleh
Anita Yossihara
·4 menit baca
Keputusan memasukkan Partai Gerindra dalam koalisi pemerintah membuat kursi yang dimiliki koalisi Jokowi-Amin di DPR semakin banyak. Sejarah mengajarkan, ada banyak kemungkinan yang mesti diantisipasi dalam koalisi yang besar ini.
Semua anggota Kabinet Indonesia Maju duduk bersama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin di tangga Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (23/10/2019) siang. Di antara anggota kabinet itu, telihat Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, yang merupakan rival politik Jokowi di Pemilu Presiden 2014 dan 2019.
Prabowo memang menjadi salah satu anggota Kabinet Indonesia Maju, dengan posisi Menteri Pertahanan. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Edhy Prabowo juga menjadi anggota kabinet, yaitu sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.
Masuknya Prabowo dan Edhy Prabowo di kabinet, yang artinya juga menandai masuknya Partai Gerindra dalam koalisi pemerintah, menimbulkan pro dan kontra, baik di kalangan pendukung Jokowi maupun Prabowo. Tidak sedikit yang menduga hal itu menunjukkan adanya bagi-bagi kekuasaan di pemerintahan.
Namun, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto dalam acara bincang Satu Meja The Forum di Kompas TV, Rabu (23/10/2019), menampik bahwa bergabungnya Partai Gerindra dalam koalisi pemerintahan merupakan upaya untuk bagi-bagi kekuasaan. Presiden Jokowi hanya ingin konsolidasi politik terjadi dengan cepat agar pemerintah bisa segera bekerja, melaksanakan seluruh program pembangunan untuk meletakkan fondasi menuju Indonesia maju pada 2045.
Pengalaman tahun 2014, ketika konsolidasi baru terwujud sekitar 1,5 tahun setelah pemilu, menjadi pertimbangan untuk menggandeng parpol nonpemerintah masuk koalisi, termasuk Partai Gerindra.
Peristiwa tahun 2014 menjadi catatan sejarah bagi kami karena presiden yang dipilih rakyat tidak mendapat dukungan DPR. Jokowi-Jusuf Kalla hanya efektif bekerja selama 3,5 tahun karena konsolidasi politik baru terwujud selama 1,5 tahun setelah pemilu.
Turut hadir sebagai narasumber dalam acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo itu adalah Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya, pemerhati politik Fachry Ali, pemerhati komunikasi politik Effendi Gazali, Juru Bicara Partai Gerindra Dahnil Anzar Simanjuntak, dan mantan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah.
Hasto berpandangan, konsolidasi kekuatan politik merupakan prasyarat untuk menjalankan pemerintahan yang efektif serta melaksanakan pembangunan.
Hal hampir senada disampaikan Yunarto, ia melihat, Jokowi meyakini bahwa politik harmonisasi dengan menghilangkan konflik, terutama antarkekuatan politik, menjadi modal awal untuk menjalankan pemerintahan dengan efektif.
Sejak awal Jokowi memang menegaskan, hal yang paling penting setelah pelantikan adalah bekerja bersama untuk mewujudkan cita-cita memajukan bangsa. ”Yang paling penting kita kerja bersama, kerja bersama-sama membawa negara ini pada sebuah Indonesia maju,” ujarnya sesaat sebelum meninggalkan Istana Kepresidenan Jakarta untuk menuju lokasi pelantikan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Minggu (20/10).
Tidak ada jaminan
Masuknya Partai Gerindra dalam koalisi pemerintah membuat koalisi Jokowi-Amin menguasai 427 dari 575 kursi DPR atau 74,26 persen.
Akan tetapi, penguasaan mayoritas kursi di parlemen itu tidak menjamin pemerintahan akan berjalan efektif. ”Kita bisa melihat fakta empiris Presiden Yudhoyono pada periode kedua pemerintahannya. Gejolak politik terjadi sejak tahun 2010,” kata Yunarto.
Saat periode kedua pemerintahannya pada 2009-2014, Yudhoyono yang saat itu berpasangan dengan Wapres Boediono didukung oleh koalisi parpol yang memiliki 75,5 persen kursi DPR. Namun, pada akhir 2009, pemerintahan Yudhoyono sudah disibukkan oleh kasus angket Bank Century yang ikut diinisiasi sejumlah parpol anggota koalisinya.
Namun, Hasto optimistis, parpol koalisi di parlemen akan solid mendukung kebijakan pemerintah. ”Kekuatan Jokowi itu dialog, merangkul, dan mendengarkan. Para ketua umum parpol koalisi juga memiliki kedewasaan politik untuk tidak mengedepankan konflik, tetapi titik temu dengan bermusyawarah,” tuturnya.
Kekuatan Jokowi itu dialog, merangkul, dan mendengarkan.
Dahnil juga meyakinkan bahwa selama ada di luar pemerintahan, Partai Gerindra yang ada di bawah kepemimpinan Prabowo juga tidak banyak melakukan manuver politik. Dengan demikian, bisa dipastikan saat bergabung dengan pemerintah, Gerindra juga akan loyal. ”Ketika Prabowo masuk pemerintahan dan menjadi menteri yang sesuai dengan harapan beliau, maka beliau akan bekerja dan loyal kepada Presiden,” ucap Dahnil.
Jokowi-Amin tentu mesti memegang komitmen parpol anggota koalisinya untuk mendukung pemerintahan hingga lima tahun ke depan. Namun, pada saat yang sama juga perlu diingat bahwa dalam politik tidak ada kawan dan lawan abadi karena yang abadi hanyalah kepentingan. Oleh karena itu, berbagai kemungkinan tetap mesti diantisipasi sejak dini.