Politik balas budi mengandung risiko. Risiko yang mengancam pemenuhan visi dan misi Presiden Joko Widodo. Risiko lainnya konflik kepentingan yang berujung pada korupsi.
Oleh
Satrio Pangarso Wisanggeni
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo disebut melanjutkan politik balas budi dalam penunjukan para wakil menteri yang akan membantu Kabinet Indonesia Maju. Politik balas budi ini diperkirakan tak akan berhenti di kursi wakil menteri, tetapi juga kursi eksekutif perusahaan milik negara seperti yang terjadi pada periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi.
Dari total 12 wakil menteri (wamen) yang dilantik oleh Presiden Jokowi, di Jakarta, Jumat (25/10/2019), tujuh di antaranya berafiliasi dengan partai politik dan tim sukses yang turut memenangkan Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Ketujuh wamen tersebut adalah Sakti Wahyu Trenggono yang saat Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 menjabat Bendahara Tim Kampanye Nasional Jokowi-Amin. Budi Arie Setiadi adalah ketua salah satu kelompok sukarelawan pendukung Jokowi sejak Pilpres 2014.
Selanjutnya, politisi Partai Persatuan Pembangunan Zainud Tauhid, politisi Partai Golkar Jerry Sambuaga, politisi PDI-P Wempi Wetipo, politisi Partai Solidaritas Indonesia Surya Tjandra, dan politisi Partai Perindo Angela Tanoesoedibjo.
”Politik balas budi semakin kentara,” ujar pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Nyarwi Ahmad saat dihubungi Kompas, Jumat (25/10/2019).
Sebelumnya, politik balas budi terlihat dari figur-figur yang ditunjuk Presiden Jokowi untuk mengisi posisi menteri. Hampir separuh di antaranya berasal dari Koalisi Indonesia Kerja (KIK), koalisi partai politik pendukung Jokowi-Amin di Pilpres 2019. Dari total 38 menteri dan pejabat setingkat menteri yang masuk kabinet, sebanyak 16 orang merupakan kader partai KIK.
Padahal, politik balas budi itu mengandung risiko. Salah satunya aspek kapasitas dinomorduakan. Aspek kapasitas kalah dari jasa yang diberikan saat Pilpres 2019. Akibatnya, bisa berimbas pada kerja kabinet. Keinginan Presiden agar kabinetnya segera menghadirkan karya nyata untuk publik akan sulit tercapai.
”Apabila tidak dikelola dengan baik, kabinet tidak akan memenuhi target-target kinerja yang sudah ditetapkan,” kata Nyarwi.
Potensi risiko itu menjadi kian besar karena dia melihat sejumlah wamen diisi figur-figur yang kapasitasnya tak sesuai dengan tugas pokok dan fungsi kementerian.
Padahal, dengan menteri diisi pejabat politik, idealnya posisi wamen diisi figur yang paham tugas pokok dan fungsi kementerian. Dengan demikian, wamen dapat membantu kerja menteri dalam merealisasikan visi dan misi Presiden.
Ini sebenarnya lucu, lho. Wamen malah diisi orang partai dan tim sukses karena seharusnya figur yang mengisi wamen itu memahami eksekusi di lapangan.
”Ini sebenarnya lucu, lho. Wamen malah diisi orang partai dan tim sukses karena seharusnya figur yang mengisi wamen itu memahami eksekusi di lapangan,” tambahnya.
Risiko lainnya, figur-figur partai politik dan tim sukses yang mengisi BUMN atau jabatan menteri, wamen, dan pejabat setingkat menteri lainnya mengeruk anggaran di BUMN atau kementerian demi memenuhi kepentingan pribadi atau kelompok.
Praktik ini sudah sering terjadi. Sudah banyak, misalnya, elite partai politik ditahan karena korupsi. Aliran dana korupsi itu tak hanya mengalir ke kantong pribadi, tetapi juga ke partai politik.
Meluas ke BUMN
Politik balas budi itu diperkirakan tak akan berhenti di kabinet. Namun, akan terus berlanjut ke kursi eksekutif perusahaan-perusahaan milik negara. Ini salah satunya seperti yang terlihat di periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi.
”Praktik seperti itu sudah lama dan terus berulang,” ujarnya.
Seperti diketahui, pada periode pertama pemerintahan Jokowi, orang-orang dekatnya juga mendapatkan jatah kursi-kursi komisaris BUMN, di antaranya Fadjroel Rachman di PT Adhi Karya, Alexander Lay di Pertamina, serta Refly Harun di Jasa Marga dan kemudian Pelindo.
Nyarwi berpendapat, penunjukan orang-orang tersebut dapat dimaklumi jika memiliki latar belakang pendidikan dan profesionalitas yang terkait dengan kebutuhan jabatan di BUMN tersebut. Namun, yang terjadi sering kali tidak demikian.
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga Kacung Marijan menilai, politik balas budi itu konsekuensi dari sistem pemerintahan di Indonesia. ”Sistem pemerintahan kita unik. Sistem presidensial, tetapi ada koalisi yang sebenarnya hanya dikenal di sistem parlementer,” ujarnya.
Sistem presidensial itu seperti diketahui sering kali menuntut seseorang yang ingin maju di pilpres harus menggalang koalisi partai politik untuk memenuhi ambang batas pencalonan. Jadi, mau tidak mau harus berkoalisi. Koalisi ini berlanjut pasca-pilpres, bahkan koalisi bisa lebih besar karena pemerintah butuh dukungan kuat dari parlemen untuk memuluskan kebijakan pemerintah.
Implikasi dari anomali itu, Presiden harus mengakomodasi figur-figur yang diajukan partai politik untuk mengisi jabatan strategis di pemerintahan dan tak jarang di BUMN.
”Sebenarnya masuknya figur partai atau tim sukses wajar saja. Yang penting adalah pilihan orangnya berbasis kompetensi. Kasus di Kabinet Jokowi saat ini, gabungan, ada yang berbasis kompetensi dan ada juga yang kompromi,” katanya.
Dalam kondisi seperti itu, penting bagi Presiden untuk menjadi dirigen yang baik. ”Sehingga orkestra timnya bekerja dengan terarah dan organisasi yang baik,” kata Kacung.