Memulihkan kondisi lingkungan yang telanjur rusak dan membangun komunikasi sosial antarwarga adalah pekerjaan rumah yang harus dilakukan Presiden Jokowi sebelum memulai pembangunan fisik ibu kota baru di Kaltim.
Oleh
Iwan Santosa
·5 menit baca
Belum lama berselang terjadi kerusuhan antarkelompok warga di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur; seminar tentang nasib masyarakat asli di Kalimantan Timur; dan berbagai laporan media Barat soal kelestarian lingkungan hidup di daerah yang direncanakan menjadi ibu kota baru Republik Indonesia. Peristiwa-peristiwa tersebut terjadi beberapa bulan sesudah Presiden Joko Widodo mengumumkan rencana pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur.
Kompas dalam kurun waktu 2001-2004 pernah secara langsung menyaksikan berbagai kerusakan lingkungan hidup yang sudah lama terjadi dan potensi ketegangan sosial yang tidak pernah ditangani pemerintah di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota di Kaltim.
Daerah lokasi rencana ibu kota baru di sebagian wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dan sebagian wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara di utara Kota Balikpapan mengalami kerusakan lingkungan sejak lama.
Di daerah pesisir Kabupaten Kutai di delta Sungai Mahakam, yang sejatinya memiliki keragaman hayati yang indah seperti rawa-rawa di Everglades, Florida, ataupun Okavango di Afrika, rusak dirambah untuk pembukaan tambak udang. Sepintas lalu terlihat kerimbunan rawa bakau jika kita menjelajahi pesisir Kabupaten Kutai Kartanegara di utara Kota Balikpapan ke arah Muara Jawa hingga Sanga-Sanga.
Namun, jika kita menelusur ke dalam di balik kerimbunan pohon bakau tersebut, muncul kolam-kolam besar. Itulah tambak udang yang dibuka oleh masyarakat yang umumnya pendatang.
Sejatinya, kawasan tersebut adalah habitat bekantan (Nasalis proboscis); orangutan (Pongo pygmaeus); buaya muara (Crocodylus porosus); hingga pesut mahakam (Orcaella brevirostris); berbagai jenis burung, seperti burung enggang (Bucerotidae), rangkong atau hornbill khas Kalimantan; beruang madu (Helarctos malayanus) yang dijadikan maskot Kota Balikpapan, serta beragam fauna dan flora khas Kalimantan.
Demikian pula daerah yang disebut Taman Hutan Raya Bukit Soeharto yang membentang dari utara Kota Balikpapan selepas Kilometer 40 ke arah Loa Janan dekat Kota Samarinda, pun hanya sepintas lalu terlihat pepohonan lebat mengapit jalan raya.
Jika kita turun dari kendaraan dan berjalan menembus kerimbunan pepohonan 50 meter-100 meter, kita mendapati ladang ilalang, hutan-hutan tersebut sudah habis ditebang karena kegiatan penebangan liar. Hanya tersisa pepohonan dekat jalan raya Samarinda-Balikpapan sebagai ”kamuflase” seolah taman hutan raya tersebut masih menjadi daerah konservasi yang terjaga baik.
Kondisi kerusakan lingkungan tersebut semakin parah di awal dekade 2000-an dengan penerapan otonomi daerah. Banyak izin dikeluarkan oleh bupati untuk penebangan kayu skala kecil dengan dalih kesejahteraan bagi masyarakat setempat. Padahal, ”rakyat” yang mendapat konsesi mengalihkan operasional penebangan dan pengolahan kepada pengusaha besar.
Demikian pula izin-izin perkebunan sawit yang dikeluarkan di masa menteri kehutanan pascareformasi yang sempat dimarahi aktor Harrison Ford dalam sebuah program tayangan tentang konservasi alam, ternyata pada mulanya hanya dijadikan modus untuk mendapatkan kayu dari lahan yang akan dijadikan ”perkebunan” sawit di Kalimantan Timur.
Beberapa pengusaha kayu kelas kakap di Kaltim sempat mengajak Kompas ke kantor sebuah kementerian pada awal dekade 2000-an tersebut untuk mengurus jatah tebang tahunan. Berbagai persiapan untuk memudahkan usaha mereka siapkan dan ditunjukkan kepada penulis dalam koper khusus yang dibawa sang pengusaha.
Tidak hanya oknum birokrat dan oknum aparat yang diurus para pengusaha kayu, masyarakat yang mengatasnamakan ormas hingga pekerja media pun mendapat bantuan setiap bulan. Rangkaian kayu gelondongan dari penimbunan (log pond) yang ditarik tug boat dari hulu Sungai Mahakam harus membayar biaya keamanan kepada oknum aparat hingga ormas untuk dapat sampai ke muara Mahakam, diolah di saw mill atau yang langsung diberangkatkan ke daerah tujuan pengiriman kayu bulat (log) tersebut.
Jika tidak membayar upeti, rangkaian kayu tersebut bisa dibajak dan dibelokkan ke area penyimpanan milik ormas tersebut dan ditahan hingga ditebus. Seandainya tidak ditebus si pengusaha, kayu-kayu tersebut akan beralih kepemilikan.
Di daerah pesisir Kutai di dekat Delta Mahakam di kawasan yang dirambah menjadi tambak udang, praktis hutan primer sudah habis. Berbagai sumur angguk minyak yang beroperasi sejak awal 1900-an masih tersebar di sana. Karena industri minyak yang dirintis sejak zaman kolonial, banyak warga pendatang bermukim di kawasan pesisir Kabupaten Kutai.
Sedangkan di kawasan Penajam Paser Utara (PPU) terdapat kawasan hutan industri yang di sejumlah tempat terdapat papan-papan peringatan seolah memasuki zona militer. Dalam satu kesempatan Kompas mendatangi lokasi kecelakaan truk militer yang disebut masyarakat mengangkut kayu di lahan konsesi milik salah satu perusahaan.
Kala itu pihak Kodam mengakui ada kecelakaan, tetapi tidak ada kayu yang diangkut. Berbeda dengan keterangan warga di lokasi yang membantu evakuasi, mereka menyebutkan adanya korban jiwa di antara prajurit yang menumpang truk yang terbalik dan muatan kayunya menimpa penumpang di bak truk.
Wilayah tersebut pun sebagian besar penghuninya adalah warga pendatang. Sebagian besar pendatang dari luar pulau berasal dari Sulawesi Selatan dan Jawa Timur.
Yang menarik, seiring penerapan otonomi daerah, banyak pendatang yang baru satu atau dua tahun bermukim sudah memiliki KTP setempat, mengaku warga asli, dan aktif membuat ormas yang mendapatkan konsesi politik dan ekonomi.
Pada saat sama, warga asli Kalimantan Timur, seperti suku Kutai, Paser, Grogot, Tidung, dan suku-suku Dayak (warga Dayak hidup terdesak di pedalaman Kaltim dan Kaltara), tidak banyak menikmati dampak otonomi daerah awal 2000-an. Walhasil terjadi friksi karena sebagian besar ormas yang mendapatkan konsesi ekonomi dan politik dari tingkat provinsi dan kabupaten serta kota di kawasan Kutai dan Paser didominasi warga pendatang.
Bahkan, ada tokoh ormas tersebut yang memiliki tempat tinggal di kawasan elite Permata Hijau, Jakarta Selatan. Kondisi tersebut memicu bermunculan ormas warga asli yang menyikapi sepak terjang ormas warga pendatang. Akhirnya beberapa kali terjadi bentrokan antarwarga sejak 2005 hingga kini karena perebutan konsesi ekonomi dan politik.
Para pejabat provinsi dan kabupaten di Kaltim pun berulang kali terjerat kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dan aparatur penegak hukum lainnya di Kaltim dan pusat.
Memulihkan kondisi lingkungan yang telanjur rusak akibat buruknya tata kelola pemerintahan provinsi-kabupaten-kota serta membangun komunikasi sosial antarwarga adalah pekerjaan rumah yang harus segera dilakukan Presiden Joko Widodo sebelum memulai pembangunan fisik ibu kota baru di Kalimantan Timur yang sebetulnya dapat mengacu pada Kota Balikpapan yang modern dan heterogen.