Olahraga lari memiliki tujuan jelas yaitu mencapai finish dengan kuat, bahagia, dan sehat. Untuk mencapai itu, pelari perlu mempersiapkan diri sebaik mungkin, dan tidak memaksakan diri berlari saat tubuh tidak bugar.
Oleh
Denty Piawai Nastitie
·4 menit baca
Mengikuti lomba lari, apapun jaraknya, tentu memerlukan tekad tinggi untuk mencapai garis finish. Namun, tekad kuat saja tidak cukup. Ada kalanya, pelari harus mendengarkan tanda-tanda tubuh kapan harus "gaspol", mengurangi kecepatan, istirahat, atau bahkan berhenti total. Memang kadang sulit, tetapi bukan tak mungkin pelari mampu mengendalikan ego lari agar finish strong, happy, and healthy.
Pelari sekaligus pendiri komunitas Miles to Share, Muhammad Kamil, mengatakan, mengatur ego lari harus muncul sejak jauh-jauh hari dengan bijak memilih lomba. “Mengikuti race lari itu tidak bisa dilakukan dengan sembarangan, persiapan harus ada. Saya suka heran dengan medals hunters, yaitu mereka yang ikut semua race lari. Kadang-kadang bahkan lupa kalau besok ada race. Kemudian mereka berlari tanpa latihan dan persiapan cukup,” ujarnya, Jumat (25/10/2019).
Pria yang berprofesi sebagai dokter ini mengatakan, dengan bijak memilih ajang lari, harapannya pelari juga dapat bijak untuk menetapkan target lari yang hendak dicapai dan bijak melakukan persiapan. “Jangan sampai, baru pertama ikut maraton tetapi sudah nekat ikut maraton bulan depan. Butuh persiapan minimal tiga bulan untuk ikut long run,” ujar Kamil.
Setelah menentukan ajang yang hendak diikuti, sebaiknya pelari bisa melakukan persiapan yang cukup dengan berlatih rutin, makan-makanan sehat, dan istirahat yang cukup. Bergabung dengan komunitas atau berlatih secara berkelompok dengan bimbingan pelatih profesional juga bisa dilakukan untuk menambah motivasi.
Namun, Kamil mengingatkan, agar pelari tidak mudah terpengaruh dengan pencapaian orang lain, entah itu pencapaian terhadap banyaknya lomba, atau kecepatan lari. “Cepatnya orang lari itu kan berbeda-beda. Kadang-kadang kita lupa, terbawa mengikuti euforia. Namun, tidak melihat kemampuan dan kondisi diri sendiri,” ujarnya.
Mengendalikan ego juga harus ada menjelang dan selama mengikuti perlombaan. Tanda-tanda fisik tidak fit sebenarnya sudah bisa terasa mendekati perlombaan, seperti demam, diare, atau badan terasa terlalu lelah. Namun, kadang-kadang tanda-tanda itu diabaikan demi mencapai perlombaan.
Dalam lomba lari juga kerap ditemui sejumlah pelari yang sengaja melewati pos hidrasi demi mencapai catatan waktu yang diinginkan. Padahal, minum menjelang, selama, dan setelah perlombaan itu penting. “Itu salah satu tindakan yang egois banget. Padahal, dehidrasi bisa menyebabkan kematian,” kata Kamil.
Kamil merupakan penyintas kanker. Dengan fisik yang kurang sempurna, ia mampu menyelesaikan maraton di Kagoshima, Jepang, pada musim semi 2017. Sakit dan perjalanannya menyelesaikan maraton mengajarkan Kamil untuk mampu mengendalikan ego dan berlari sesuai kondisi fisik.
Kalau kita merasa kurang sehat, ya jangan maksa lari
Menurut Kamil, kegemaran untuk ikut lomba lari, entah itu 5K, 10K, half marathon, atau bahkan maraton, bisa menular kepada orang lain. “Bagi seorang perlari, tidak ada yang lebih berharga selain bisa mencapai finish sesuai target waktu yang diinginkan,” ujarnya.
Namun, menurut Kamil, dalam kondisi-kondisi tertentu ada kalanya pelari tidak bisa mencapai target, atau bahkan harus berhenti di tengah jalan. “Harus diingat kalau kita mempunyai nilai hidup yang jauh lebih besar dari sekadar menyelesaikan race. Kalau memang tidak bisa lanjut, ya sudah, relakan saja,” katanya.
Tanda tubuh
Dokter Andi Kurniawan, Direktur Eminence Sports Medicine and Human Performance Centre mengatakan, ada tanda-tanda atau gejala yang dikeluarkan tubuh apabila diabaikan bisa berdampak fatal. Tanda-tanda itu, misalnya, muncul rasa nyeri selama perlombaan atau denyut jantung terlalu tinggi melewati batas normal. Tanda-tanda lain, misalnya, otot keram atau sakit pada persendian yang bisa menyebabkan cedera. Tanda-tanda itu bisa juga muncul menjelang lomba, seperti diare, demam, atau rasa lelah berlebihan.
Kondisi tubuh kurang prima itu bisa disebabkan karena menjelang perlombaan para pelari menjalani latihan yang telalu berat, kurang istirahat, dan salah mengonsumsi makanan. Perjalanan jauh antarkota untuk mengikuti lomba juga bisa membuat tubuh kekelahan. “Kalau kita merasa kurang sehat, ya jangan maksa lari,” ujar Andi.
Apabila pelari merasakan tanda-tanda tersebut saat perlombaan, hal pertama yang harus dilakukan adalah merenspons tanda. Beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk merespons gejala fisik kurang sehat seperti mengurangi kecepatan berlari, mengganti gerakan lari dengan jalan cepat atau jalan pelan, berhenti sesaat untuk melakukan perenggangan, atau meminta bantuan dari tenaga medis.
Andi meminta para pelari menyadari bahwa mengikuti ajang lari maraton tidak serta merta membuat semua peserta menjadi atlet. Pelari harus menyadari bahwa ada perbedaan signifikan antara atlet dan peserta lari rekreasional. Kalau atlet, mereka memang berlatih keras untuk perlombaan. Tetapi pada siang hari mereka istrirahat. Sementara pelari rekreasional harus berlatih, berkeja, dan melakukan aktivitas lainnya sehingga hasil yang dicapai juga berbeda.
Hal lain yang harus dipahami adalah hobi lari ini punya manfaat baik yaitu untuk sehat dan bahagia. Lari juga berfungsi membuat badan sehat, bugar, otot kuat, dan menjaga berat badan ideal. “Jangan sampai karena terlalu ambisi dan terpengaruh orang lain, kita malah tidak mendapatkan manfaat lari itu. Selama lari, kita harus mendengar tanda-tanda badan kita. Berlari boleh, tetapi harus sesuai dengan kondisi tubuh,” tegas Andi.