Perkembangan teknologi turut mendisrupsi sektor properti. Selera konsumen berubah dan model bisnis baru muncul. Pelaku industri properti mesti tangkas menghadapi perubahan.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perkembangan teknologi turut mendisrupsi sektor properti. Selera konsumen berubah dan model bisnis baru muncul. Pelaku industri properti mesti tangkas menghadapi perubahan.
Industri digital berkembang pesat di Indonesia lima tahun terakhir. Perkembangan ekonomi digital, cepat atau lambat, memengaruhi bisnis properti di Tanah Air.
Konsultan properti internasional Savills merilis, konsumen makin terkoneksi dengan internet. Sektor properti tidak bisa menghindari dampak disrupsi yang tengah terjadi. Kini muncul model bisnis baru yang dilandasi konsep berbagi (sharing economy) dan menggerus usaha properti konvensional.
Director, Head of Research, & Consultancy Savills Indonesia, Anton Sitorus, di Jakarta, Jumat (25/10/2019), menyatakan, konsep ekonomi berbagi tumbuh karena pandangan konsumen atas konsep kepemilikan rumah bergeser. Saat ini makin banyak orang yang merasa tidak terlalu perlu memiliki suatu aset jika mereka bisa memanfaatkan skema sewa atau pinjam, baik secara perorangan maupun kolektif.
Selain itu, juga muncul kecenderungan generasi milenial menginginkan properti di lokasi strategis. Namun, harga properti di lokasi strategis mahal sehingga skema sewa jadi pilihan.
Tren itu membuka peluang bagi investor untuk memasarkan unit-unit yang kosong melalui kerja sama dengan usaha rintisan pengelola aset properti yang menerapkan teknologi pemasaran digital dan manajemen aset.
Bagi pengembang, tren itu menuntut properti bernilai tambah. Fungsi apartemen, misalnya, tak cukup sekadar tempat tinggal, tetapi juga menjadi sarana bersosialisasi dan membangun jejaring.
Perusahaan rintisan juga membidik ruang kerja bersama yang dilengkapi fasilitas olahraga, pelatihan, dan jejaring komunitas. ”Berbagai aspek ekonomi digital perlu dipahami oleh pemangku kepentingan properti agar bisa bersaing dan bertahan dalam kompetisi bisnis,” kata Anton.
Ekonomi berbagi
Menurut Senior Director Retail Services Savills Indonesia, Rosaline Lie, perusahaan berkonsep ekonomi berbagi di sektor properti mencakup empat kategori, yakni ruang bersama, keuangan, pemasaran, dan penyewaan. Beberapa yang sudah tumbuh antara lain ruang kerja bersama (co-working), ruang hidup bersama (co-living), dan ruang penyimpanan bersama (co-warehousing) yang diminati usaha perdagangan secara elektronik (e-dagang).
Dampak perkembangan itu membuka peluang bagi pemilik perorangan untuk menawarkan asetnya ke pasar melalui perusahaan rintisan yang lebih mudah dan praktis. ”Tren ini harus diperhatikan oleh pengembang dan investor properti tradisional agar mampu bersaing di tengah derasnya arus ekonomi digital,” katanya.
Berdasarkan riset Google, Temasek, dan Bain & Company, potensi pasar ekonomi digital Indonesia yang mencakup sektor e-dagang, media daring, travel, dan transportasi meningkat lima kali lipat, yakni dari 8 miliar dollar AS di tahun 2015 menjadi 40 miliar dollar AS di tahun 2019. Pada tahun 2025, nilainya diperkirakan meningkat menjadi 130 miliar dollar AS atau Rp 1.900 triliun.
Menurut Managing Director Savills Indonesia Craig Williams, pengembang perlu lebih jeli membaca permintaan pasar sekaligus kreatif dalam perencanaan dan strategi penjualan produk. Caranya antara lain dengan mengembangkan konsep ”beyond property”, yaitu produk yang mengadopsi teknologi pintar, produk dengan efisiensi tinggi, serta memberikan kenyamanan.
Konsultan properti Coldwell Banker Commercial Indonesia merilis, pertumbuhan harga apartemen sepanjang Januari-September 2019 mencapai 1,4 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sementara itu, permintaannya turun 38,2 persen.
Penjualan didominasi apartemen kelas menengah dan menengah atas dengan harga rata-rata di bawah Rp 2 miliar per unit. Harga tinggi membuat pasar makin terbatas.