Keresahan dan Harapan KPK pada Agenda Pemberantasan Korupsi
Sejumlah pimpinan KPK resah dengan agenda pemberantasan korupsi ke depan. Kepada wartawan yang biasa meliput di KPK, mereka menceritakan keresahan itu dan harapan kepada Presiden Jokowi, DPR, dan pimpinan KPK 2019-2023.
Oleh
PATRICIA SHARON
·5 menit baca
Agenda pemberantasan korupsi menghadapi ujian berat saat pemerintah dan DPR merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kini, setelah regulasi itu tuntas diundangkan, Presiden Joko Widodo diharapkan melihat kembali regulasi itu mengingat agenda pemberantasan korupsi yang merupakan salah satu amanah reformasi masih jauh dari kata tuntas.
Saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bertemu dengan wartawan-wartawan yang biasa meliput di KPK, Jumat (25/10/2019) dan Sabtu (26/10/2019), sejumlah pimpinan KPK yang hadir ”curhat” pada wartawan.
Salah satunya terkait lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Lahirnya UU itu dinilai KPK dan banyak kalangan bakal melemahkan KPK. Kajian KPK bahkan menemukan setidaknya 26 poin dalam UU Nomor 19/2019 yang berisiko melemahkan kinerja lembaga tersebut.
Pasal 3, misalnya, disebutkan KPK dalam melaksanakan tugas dan wewenang bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Namun, KPK diposisikan sebagai lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif.
Pelemahan independensi juga tecermin dari pegawai KPK yang akan dijadikan aparatur sipil negara. Artinya, akan ada risiko independensi terhadap pengangkatan, pergeseran, dan mutasi pegawai. Para pegawai KPK rentan dikontrol dan tidak independen dalam menjalankan tugas.
Hal lain, lahirnya Dewan Pengawas KPK. Dewan ini berpotensi lebih berkuasa dari pimpinan KPK karena kewenangannya masuk dalam teknis penanganan perkara, yaitu berwenang memberikan atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan kepada pimpinan KPK.
Kemudian adanya aturan yang membolehkan KPK menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun. Aturan yang membuat penyidikan dan penuntutan rentan ”diperdagangkan” untuk melepas para koruptor.
Perppu suram
Menyikapi hal itu, Presiden Jokowi sempat mempertimbangkan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Namun, hingga batas waktu UU harus diundangkan, perppu tak kunjung keluar. Begitu pula hingga kini, ihwal perppu semakin suram.
Mahfud MD yang termasuk salah satu figur yang keberatan dengan revisi UU KPK, seusai dilantik menjadi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, menyatakan belum ada arahan dari Presiden terkait UU KPK. Sementara berharap pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sepertinya sulit karena kementerian kembali dipimpin Yasonna Laoly.
Yasonna, seperti diketahui, ditunjuk Presiden sebagai menteri yang mewakili pemerintah dalam membahas revisi UU KPK dengan DPR di penghujung periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi.
Adapun langkah uji materi UU 19/2019 ke Mahkamah Konstitusi juga berat. Tak sedikit pandangan muncul materi di UU itu tak melanggar konstitusi.
Strategi Presiden
Dengan kondisi-kondisi tersebut, pimpinan KPK yang tahu betul kondisi korupsi masih marak di Tanah Air, apalagi pemerintah tak terlihat serius membangun sistem pencegahan korupsi, dibuat resah.
”Saya terus terang enggak tahu persis strategi Presiden itu apa. Tapi, pasti semua orang itu enggak senang dengan korupsi, itu harus kita yakini,” tutur Ketua KPK Agus Rahardjo.
Oleh karena itu, sekalipun sepertinya suram, dia masih berharap Presiden bersedia melihat kembali UU KPK. Jika memang perppu sulit dikeluarkan Presiden, revisi UU KPK diharapkan menjadi jalan keluar agar agenda pemberantasan korupsi tetap berlanjut.
”Saya berharap, baik kolega kita di DPR maupun pemerintahan dalam hal ini Presiden Jokowi memikirkan lagi UU Nomor 19 Tahun 2019 supaya menemukan jalan keluar bagaimana berjuang untuk memberantas korupsi,” katanya.
Pimpinan KPK terpilih
Tak hanya menumpukan harapan pada Presiden, harapan juga disampaikan kepada para pimpinan KPK terpilih. Dihadapkan pada keraguan publik terhadap para pimpinan KPK yang terpilih, mereka harus membalikkan keraguan publik tersebut dengan tetap berani memberantas korupsi.
Keraguan itu salah satunya muncul karena Ketua KPK terpilih Inspektur Jenderal Firli Bahuri memiliki rekam jejak yang kurang baik.
Firli diduga pernah melanggar etik karena bertemu dengan pihak yang berperkara dengan KPK. Ia juga pernah bertemu dengan salah satu ketua umum partai politik. Selain itu, Firli diduga juga menerima pembayaran hotel dan 600 lembar tiket konser boyband Eropa terkait dengan posisinya sebagai Deputi Penindakan KPK.
KPK dalam perjalanannya sejak didirikan tahun 2002 berhasil menunjukkan bahwa lembaga antirasuah itu mampu menyeret pejabat-pejabat koruptor tersentuh hukum. KPK membalikkan realitas bahwa mereka yang merampok uang rakyat itu tidak tersentuh oleh hukum. Realitas yang membuat KPK dipercaya publik.
Pimpinan KPK terpilih diharapkan meneruskan kerja KPK dan kepercayaan publik pada KPK tersebut di tengah banyaknya hambatan yang ada dalam UU 19/2019. Bukan sebaliknya, justru membawa KPK seperti lembaga penegak hukum lain yang tidak terlalu menonjol dalam memberantas korupsi.
Kontrol publik
Untuk memastikan KPK tetap pada relnya, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif meminta publik, termasuk di dalamnya masyarakat sipil dan media massa, intens mengawasi KPK. ”Kalau salah jangan ragu dikritik,” katanya.
Hal serupa disampaikan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata yang kembali terpilih menjadi pimpinan KPK periode selanjutnya.
”Skeptis itu perlu agar kami terus bekerja dengan lebih baik. Tapi, kalau memang sudah baik, ya, didukung,” ujar Alexander.
Selain Agus, Syarif, dan Alexander, dua komisioner lain, Basaria Pandjaitan dan Saut Situmorang, juga akan mengakhiri masa jabatannya pada 21 Desember 2019. Periode selanjutnya, 2019-2023, Firli Bahuri akan memimpin KPK bersama Alexander, Nawawi Pomolango, Lili Pintauli Siregar, dan Nurul Ghufron.
Akhirnya, di tengah korupsi yang masih merajalela, agenda pemberantasan korupsi harus tetap jadi prioritas. Regulasi pemberantasan korupsi menjadi penting untuk menopang hal itu, selain kerja KPK dalam menindak dan membangun sistem pencegahan korupsi. Begitu pula komitmen pemerintah untuk serius menggarap sistem pencegahan.
Dalam perjalanan pemberantasan korupsi ke depan yang kian terjal, publik pun diharapkan tidak diam saja. Ke depan, publik bisa jadi menjadi kunci utama agar agenda pemberantasan korupsi tidak kemudian hilang dari bumi ini.
Publik setidaknya bisa memulai dengan mengimplementasikan pesan dari Agus Rahardjo ini. ”Di mana pun berada dan apa pun kerjaan kita, sikap antikorupsi harus tetap dijaga,” tuturnya.