Mereka yang Menderita Terjebak Kepadatan Jabodetabek
JUTPI 2 merekomendasikan perluasan jaringan transportasi yang ada. Jaringan transportasi massal dari Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi harus diperluas.
Warga Bogor, Tangerang, dan Bekasi harus merasakan penderitaan akibat terlalu padatnya jaringan transportasi. Rasio antara kebutuhan penumpang dan ketersediaan angkutan umum tidak sesuai. Jaringan transportasi yang ada saat ini pun akan terus sesak mengingat setiap tahun penduduk kota tersebut terus bertambah.
Citra (26), warga Depok, Jawa Barat, setiap hari harus berdesak-desakan di kereta commuter line (CL) untuk mencapai tempat kerjanya di Jakarta. Citra bekerja di sebuah kantor swasta di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Padahal, sebagai karyawan swasta, jam kerjanya cukup fleksibel dan tidak bersamaan dengan jam kantor. Ia berangkat ke kantor pukul 09.00. Namun, di kereta CL lintas Bogor-Depok-Jakarta, ia tetap harus berdesak-desakan dengan penumpang lain.
”Naik KRL CL sekarang kayaknya mau jam berapa aja tetap desak-desakan, deh. Kalau di Transjakarta tidak terlalu desak-desakan, tetapi jalurnya tidak steril sehingga tidak bisa diandalkan dari sisi ketepatan waktu,” ujar Citra.
Karena tinggal di Depok, opsi yang paling bisa diandalkan untuk mencapai tempat kerjanya adalah dengan KRL CL disambung Transjakarta atau ojek daring. Dari stasiun Depok, ia akan turun di Stasiun Cawang. Setelah itu, ia bisa menyambung menggunakan Transjakarta. Namun, karena jalur yang ia lewati belum steril dan terganggu pembangunan LRT Jabodebek, ia memilih menggunakan ojek daring. Dengan opsi itu, ia membutuhkan waktu sekitar 2 jam untuk tiba di tempat kerjanya.
Dari sisi biaya, Citra mengeluarkan uang rata-rata Rp 40.000-Rp 70.000 per hari untuk biaya transportasi. Biaya itu untuk ojek daring Rp 10.000 dari Mampang, Depok, ke Stasiun Depok; Rp 3.500 untuk KRL commuter line, dan Rp 15.000-Rp 20.000 untuk biaya ojek daring dari Stasiun Duren Kalibata ke kantor. Biaya ini cukup besar, apalagi jika tidak ada promo layanan ojek daring. Ia bisa mengeluarkan paling banyak Rp 70.000 dalam sehari karena harus dua kali memesan ojek daring.
”Walaupun sudah ada integrasi, kenyataannya secara psikis saya sudah harus desak-desakan dan berdiri dari Depok. Saat harus naik Transjakarta yang jalurnya tidak steril, itu sangat melelahkan,” kata Citra.
Ika (27), warga Bekasi, juga memilih KRL CL untuk berangkat dari rumahnya di Bekasi ke Jakarta Pusat. Setiap hari, ia berangkat dari Stasiun Bekasi ke Stasiun Gondangdia dan sebaliknya. Ia selalu mengantisipasi dengan berangkat lebih awal karena terkadang kereta CL mengalami gangguan. Entah itu gangguan persinyalan, keterlambatan kereta, dan sebagainya. Jika harus tiba di kantor sekitar pukul 09.00, ia akan sampai di Stasiun Bekasi sekitar pukul 07.00. Perjalanan dari rumahnya hingga ke kantor membutuhkan waktu 2 jam hingga 3 jam.
”Kalau di jam-jam kerja pagi atau sore, jangan ditanya lagi, penuh banget. Bahkan, sampai susah napas karena dipaksa terus sampai penumpang jadi sarden di dalam kereta,” kata Ika.
Bagi Ika, opsi perjalanan dari Bekasi ke Jakarta Pusat yang paling bisa diandalkan adalah kereta CL. Meskipun ada opsi transjakarta, ia lebih memilih KRL CL karena lebih bisa diandalkan. Jika ada gangguan kereta, misalnya, ia bisa turun di stasiun tertentu kemudian melanjutkan dengan ojek daring. Namun, jika naik Transjakarta, terkadang harus terjebak macet di jalan raya. Saat ada gangguan pun, opsi transportasi yang tersedia lebih minim karena jalur bus melintasi jalan tol.
Untuk biaya transportasi yang ia keluarkan dalam sehari Rp 33.000-Rp 40.000 per hari. Dari rumahnya di Kota Bekasi, ia akan naik ojek daring hingga Stasiun Bekasi Rp 24.000 untuk perjalanan pergi-pulang. Dari Stasiun Bekasi-Stasiun Gondangdia Rp 6.000 pergi pulang. Untuk perjalanan dari kantornya di kawasan Gondangdia ke stasiun Gondangdia, ia terkadang memilih Transjakarta atau berjalan kaki untuk menghemat biaya.
Baca juga: Jakarta Termacet Ke-7 di Dunia
Terlalu padat
Perjuangan para komuter ini sesuai dengan hasil kajian dari Tim Studi Proyek Integrasi Kebijakan Transportasi Perkotaan Jabodetabek Tahap 2 (JUTPI 2). JUTPI 2 merilis data, pada 2018, kepadatan penumpang angkutan di tiga koridor. Pada koridor Bogor-Jakarta ada kebutuhan 680.000 penumpang per hari, baik yang bertujuan ke Jakarta maupun ke Bogor. Adapun kapasitas angkutan jalan dan rel hanya 370.000 penumpang per hari per dua jalur. Rasio volume per kapasitas (V/C) di koridor ini adalah 1,84. Nilai V/C di atas 1 artinya melebihi kapasitas. Untuk koridor Tangerang-Jakarta, nilai V/C 2,08 dan Bekasi-Jakarta 3,28.
”Kesimpulannya, jaringan transportasi massal yang ada saat ini tidak bisa mengimbangi kebutuhan warga,” kata Pemimpin Proyek Tim Studi Proyek Integrasi Kebijakan Transportasi Perkotaan Jabodetabek Tahap 2 (JUTPI 2) Junkichi Kano, Kamis (24/10/2019).
Kesimpulannya, jaringan transportasi massal yang ada saat ini tidak bisa mengimbangi kebutuhan warga.
Apalagi, pada 2035, jumlah penduduk Jabodetabek diproyeksikan akan menjadi 45,3 juta jiwa. Jumlah penduduk ini meningkat 26,9 persen dibandingkan jumlah penduduk tahun 2017 yang mencapai 33,1 juta jiwa. Oleh karena itu, JUTPI 2 merekomendasikan perluasan jaringan transportasi yang ada. Jaringan transportasi massal dari Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi harus diperluas. Perluasan itu idealnya adalah dengan moda transportasi berbasis rel, seperti moda raya terpadu (MRT) dan kereta ringan (LRT).
Selain harus berdesak-desakan karena transportasi massal padat, masyarakat juga harus menanggung biaya ekonomi akibat kemacetan lalu lintas. JUTPI 2 merilis kerugian akibat kemacetan lalu lintas di Jabodetabek mencapai Rp 100 triliun per tahun. Rinciannya, kerugian akibat biaya operasi kendaraan bermotor Rp 40 triliun dan Rp 60 triliun untuk kerugian waktu perjalanan. Biaya ini dapat digunakan untuk membangun MRT fase 1 dan 2 hingga dua kali. Sebab, sebagai perbandingan, biaya pembangunan MRT fase 1 sebesar Rp 16 triliun dan fase 2 Rp 22,5 triliun.
”Setiap orang di Jabodetabek mengalami kerugian Rp 3 juta per tahun akibat kemacetan lalu lintas ini,” kata Kano.
Setiap orang di Jabodetabek mengalami kerugian Rp 3 juta per tahun akibat kemacetan lalu lintas ini.
Parahnya, Rencana Induk Transportasi Jabodetabek yang ada saat ini belum bisa mengantisipasi lonjakan permintaan penumpang. JUTPI 2 menganalisis, jika RITJ diterapkan, pada 2035 jumlah penumpang di Bekasi, misalnya, mencapai 1.140.000 per hari. Adapun kapasitas transportasi massal hanya bisa mengangkut 770.000 orang per hari. Akibatnya, rasio antara volume penumpang dan ketersediaan angkutan umum (V/C) masih berada di angka 1,47. Angka di atas 1 ini berarti melebihi kapasitas.
Baca juga: TomTom Index sebagai Pelecut
Sementara jika RITJ diterapkan, pada 2035, V/C di Bogor masih 1,75 dan di Tangerang 1,36. Artinya, rencana induk yang ada ini belum bisa mengakomodasi potensi permintaan penumpang angkutan umum di masa depan.
Oleh karena itu, JUTPI 2 merekomendasikan agar lebih banyak koridor transportasi massal dibangun. Selain itu, jaringan transportasi massal yang sudah ada sebaiknya ditingkatkan dari bus rapid transit ke MRT, kemudian LRT ke MRT.
”Memang, untuk membangun seluruh jaringan itu, membutuhkan biaya yang sangat besar. Makanya, kami juga memiliki daftar prioritas mana yang harus dibangun lebih dulu. Mungkin data itu bisa menjadi acuan dari pemerintah Indonesia ke depan saat mengambil kebijakan,” tutur Kano.
Saat dikonfirmasi, Asisten Deputi Sistem Multimoda Transportasi Kementerian Koordinator Perekonomian Tulus Hutagalung mengatakan, data dari JUTPI 2 ini menurut rencana digunakan untuk revisi Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ). Sebab, RITJ yang ada sekarang sudah tidak bisa menampung kebutuhan penumpang di Jabodetabek. Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) akan menjadi panglima dalam eksekusi di lapangan rekomendasi teknis yang diberikan oleh JUTPI 2. Selain itu, masing-masing pemerintah provinsi dan pemerintah daerah juga diminta mempertimbangkan data tersebut saat membuat kebijakan transportasi.
”Ini sama saja memberikan masukan untuk BPTJ supaya mereka mulai memiliki kemampuan perencanaan untuk mengimplementasikan data-data tersebut,” kata Tulus.
Baca juga: Robot Sophia Komentari Kemacetan Jakarta