Otoritas Bersikap Konservatif terhadap Proyeksi 2020
Sejak awal Januari hingga 26 Oktober 2019, IHSG hanya mengalami peningkatan tipis sebesar 0,93 persen. Meski indeks hanya tumbuh tipis, nilai kapitalisasi pasar dalam setahun terakhir tumbuh 10,16 persen.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
LOMBOK BARAT, KOMPAS — Proyeksi berlanjutnya perlambatan ekonomi dunia pada 2020 membuat otoritas memasang target konservatif terhadap kinerja pasar modal tahun depan. Meski begitu, infrastruktur pasar modal tetap diperkuat untuk meningkatkan likuiditas dan kapitalisasi.
Hal tersebut disampaikan Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Inarno Djajadi dalam acara pertemuan otoritas pasar modal dengan media di Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Jumat (25/10/2019) malam. Ia memperkirakan rata-rata transaksi harian di pasar modal pada 2020 tidak akan jauh berbeda dari 2019.
Data BEI menunjukkan rata-rata nilai transaksi harian Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sejak Januari hingga Oktober 2019 mencapai Rp 9,36 triliun per hari. Jumlah ini tercatat meningkat signifikan dibandingkan dengan 2018 yang mencapai Rp 8,50 triliun per hari.
”Tahun depan gejolak pasar global masih akan terjadi sehingga dampaknya akan turut menyeret pasar domestik. Kami pasang target konservatif, tetapi tidak mau pesimistis,” ujar Inarno.
Adapun sejak awal Januari hingga 26 Oktober 2019, IHSG hanya mengalami peningkatan tipis sebesar 0,93 persen. Meski indeks hanya tumbuh tipis, nilai kapitalisasi pasar dalam setahun terakhir tumbuh 10,16 persen. Tercatat pada 18 Oktober 2019 kapitalisasi pasar modal mencapai Rp 7.119,48 triliun, tumbuh Rp 382,05 triliun dari posisi Oktober 2018 sebesar Rp 6.737,43 triliun.
Selaku regulator pasar modal, lanjut Inarno, BEI akan lebih fokus mengembangkan variasi layanan dan produk untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas perusahaan tercatat serta peran dan kapasitas anggota bursa di tahun 2020.
”BEI akan terus meningkatkan kinerja dalam memberikan layanan melalui penciptaan inovasi-inovasi baru sehingga mampu mewujudkan infrastruktur kebursaan yang andal dan memfasilitasi pengembangan pasar modal,” ujarnya.
Fokus BEI tersebut akan didukung pengembangan sistem penawaran umum berbasis elektronik (e-IPO), dukungan pengembangan securities Lending and borrowing (SLB) KPEI, serta pengembangan klasifikasi industri baru berdasarkan produk perusahaan tercatat.
Di tempat yang sama, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Hoesen mengatakan, otoritas tak akan memasang target tinggi pasar modal pada 2020. Hal ini sejalan dengan kondisi ekonomi dunia yang diprediksi bakal melambat tahun depan.
”Target konservatif tersebut dilakukan bukan karena pesimistis terhadap ekonomi domestik. Namun, kenyataannya mau tidak mau pelemahan ekonomi dunia pasti akan berpengaruh pada perekonomian domestik,” ujarnya.
Investor ritel
Meski bersikap konservatif, Hoesen tetap optimistis dengan pertumbuhan kinerja pasar modal tahun depan. Pasalnya, pertumbuhan investor di sektor ritel yang terus bertambah bisa ikut mendorong pertumbuhan likuiditas.
Berdasarkan data PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), jumlah investor pasar modal per 23 Oktober 2019 mencapai 2.285.663 atau tumbuh 41,15 persen dari 2018. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.055.864 merupakan investor ekuitas, 1.594.766 merupakan investor reksadana, dan 302.321 merupakan investor surat berharga negara.
Investor saham tersebut meningkat hampir dua kali lipat atau sebesar 194 persen sejak 2014. Dalam periode yang sama, investor reksadana tercatat meningkat tiga kali lipat atau 345 persen. Sebanyak 72,2 persen investor tersebut berasal dari Jawa, sisanya sebanyak 15,01 persen dari Sumatera, 4,9 persen dari Kalimantan, dan 3,53 persen dari Sulawesi.
”Tahun depan kurang lebih tidak akan jauh berbeda dengan kondisi hari ini. Namun, kami optimistis terhadap investor retail,” kata Hoesen.
Pemerataan
Direktur Utama KSEI Uriep Budhi Prasetyo berharap investor pasar modal di masa depan tidak hanya berpusat di Jawa. Salah satu upaya untuk melahirkan investor pasar modal dari daerah di luar Pulau Jawa adalah dengan melakukan sosialisasi ke daerah.
”Sosialisasi sudah banyak. Kita tidak mau ke inklusi, tetapi ke literasi. Kita inginkan mudah-mudahan komposisi investor dari Jawa 75 persen bisa menurun ke angka 60-65 persen,” ujarnya.
Dia pun mengharapkan upaya pemerintah untuk melahirkan pusat pertumbuhan baru di daerah, termasuk melakukan pemindahan ibu kota ke Kalimantan, dapat meningkatkan pemerataan dan mendorong kesejahteraan.
”Kalau ada pemerintahan pindah ke Kalimantan, ada titik ekonomi baru dan orang kaya baru. Jadi, kondisinya lebih merata,” kata Uriep.