Perjuangan Panjang Menuju Aerotropolis
Konsep aerotropolis atau pengembangan kota berbasis bandara pun menjadi arah baru pembangunan kota berpenduduk sekitar 2,1 juta jiwa yang dipimpin Wali Kota Arief R Wismansyah tersebut.
Sekar Gayatri (35) tiba di Terminal I Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Kota Tangerang, Banten, Selasa (22/10/2019) sore. Menenteng koper kecil, ia bergegas menuju shelter kereta layang.
Dengan kereta layang, ia menuju stasiun kereta bandara. ”Saya mau ke Thamrin karena besok pagi harus ikut seminar di Jakarta Pusat,” kata Sekar yang datang dari Semarang, Jawa Tengah.
Dalam setahun terakhir, setiap bertugas ke Jakarta, Sekar menggunakan kereta bandara menuju Stasiun Sudirman Baru. Selanjutnya, ia menggunakan taksi menuju hotel tempatnya menginap. ”Lebih hemat, cepat, dan tidak terjebak macet,” ujar Sekar.
Tiket kereta bandara hingga Sudirman Baru Rp 70.000 per orang. Waktu tempuh sekitar 46 menit dengan dua kali berhenti, yaitu di Stasiun Batu Ceper, Kota Tangerang, dan Stasiun Duri, Jakarta Barat. Jika naik taksi dari bandara, biayanya mencapai lebih dari dua kali lipat dan waktu tempuhnya dua kali lebih lama.
Ketersediaan moda transportasi publik yang nyaman menghubungkan kota itu dengan bandara dan Jakarta, yang berarti memperluas akses bagi Tangerang.
Kereta layang antarterminal di bandara dan kereta bandara melengkapi fasilitas bus serta kereta komuter yang menghubungkan bandara dengan pusat kota terdekat, termasuk Kota Tangerang. Ketersediaan moda transportasi publik yang nyaman menghubungkan kota itu dengan bandara dan Jakarta, yang berarti memperluas akses bagi Tangerang.
Keberadaan bandara internasional menjadi potensi besar bagi Kota Tangerang. Konsep aerotropolis atau pengembangan kota berbasis bandara pun menjadi arah baru pembangunan kota berpenduduk sekitar 2,1 juta jiwa yang dipimpin Wali Kota Arief R Wismansyah tersebut.
Praktisi perencana kota dari Institut Teknologi Bandung, Dhani Muttaqin, mengatakan, Kota Tangerang dan bandara internasional layak disebut aerocity dan aerotropolis. ”Kota Tangerang dalam proses menuju ke sana. Hal ini dimungkinkan karena Bandara Soekarno-Hatta dengan 100 juta penumpang per tahun termasuk yang tersibuk di Asia Tenggara dan Asia,” kata Dhani, Jumat (25/10).
Sebagai aerotropolis, Kota Tangerang akan mendukung aktivitas di Bandara Soekarno-Hatta dengan penyediaan dan penguatan sektor industri, bisnis dan komersial, permukiman, serta aksesibilitas yang baik antara simpul aktivitas di Kota Tangerang dan bandara. Sebagian di antaranya mulai dibangun. Mendekati ujung tol dari arah Jakarta menuju bandara, misalnya, ada kawasan bisnis baru dengan beberapa hotel, tempat makan, perkantoran, hingga pergudangan yang terkonsentrasi di sisi kanan jalan.
Tangerang tak dipersiapkan menjadi kota untuk tempat tinggal atau industri sejak awal.
Berproses
Aerotropolis menjadi target jati diri baru Kota Tangerang. Namun, perlu energi besar dan sederet program jangka pendek serta jangka panjang untuk mewujudkannya.
Penyebabnya, Tangerang tak dipersiapkan menjadi kota untuk tempat tinggal atau industri sejak awal. Pada era kolonial Belanda, misalnya, Tangerang menjadi kota ”buangan”. Kota ini dijadikan pusat pembangunan penjara. Saat ini ada lima lembaga pemasyarakatan di kota itu.
Predikat ”buangan” makin lekat ketika pada 1951 diresmikan Rumah Sakit Kusta Sitanala di Kota Tangerang. ”Sejak kecil, setiap kali bandel, orangtua saya langsung mengancam mau dibuang ke Tangerang,” kenang Wali Kota Tangerang periode 1998-2003, Mochammad Thamrin (Kompas, 26 Februari 2019).
Dalam wawancara akhir September lalu, Kepala Bappeda Kota Tangerang saat itu, Said Endrawiyanto (kini Kepala Badan Pendapatan Daerah Kota Tangerang), mengatakan, setelah 26 tahun menjadi kota, kedekatan dengan Jakarta, bandara, dan akses tol memicu pertumbuhan industri skala besar di Kota Tangerang. Kota ini dijuluki ”Kota 1.000 Industri”.
Said menjelaskan, dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) tahun 2013 hingga 2023, Kota Tangerang memfokuskan diri sebagai kota industri. Namun, pembenahan Bandara Soekarno-Hatta oleh pemerintah pusat, rencana pengembangan kawasan strategis oleh pusat ataupun Provinsi Banten, disambut Pemerintah Kota Tangerang dengan menyesuaikan RTRW.
Pertama, kota ini tetap pusat industri. Selanjutnya, ditata agar nyaman sebagai tempat tinggal ataupun kota jasa dan perdagangan dengan memanfaatkan Bandara Soekarno-Hatta sebagai sumbu pertumbuhan dan pembangunan.
Yang memperkuat Kota Tangerang sebagai aerotropolis, kata Said, adalah zona ruang yang mendukung dalam radius 30-60 kilometer dari bandara. Hal lain adalah akses transportasi tak hanya satu. Selain angkutan massal, ada Jalan Tol Sedyatmo, jalan nasional, juga Tol Kunciran-bandara yang kini dalam proses pembangunan.
Pemkot Tangerang juga membangun permukiman warga melalui program Kampung Kita dan Kampung Inovasi. Saat ini, ada Kampung Tehyan, yang merujuk pada alat musik khas Tionghoa, di Neglasari, Kampung Tempe (Kelurahan Koang Jaya, Kecamatan Karawaci); Kampung Anak dan Kampung Batik di Larangan; Kampung Hidroponik (Cimone, Karawaci); Kampung Markisa dan Kampung ASEAN (Karawaci); Kampung Bekelir (Pasirkali, Kecamatan Tangerang); dan lainnya.
Baca juga : Dari Kota ”Buangan” Menuju Kota Aerotropolis
Dhani, yang juga Ketua Ikatan Ahli Perencanaan DKI Jakarta, mengatakan, demi menjadi kota aerotropolis, Pemkot Tangerang perlu terus berkolaborasi dengan pengelola bandara, pemerintah pusat, dan provinsi dalam merencanakan serta membangun infrastruktur pendukung.
Dhani mengingatkan, aerotropolis sejati memedulikan ketersediaan ruang terbuka hijau dalam pengembangan kota. Ruang terbuka hijau berfungsi sebagai resapan air, mengontrol udara agar tak terlalu panas, dan membuat kota layak huni. Pekerjaan rumah besar bagi Kota Tangerang demi mencapai tujuannya.