”Dokter Padmo telaten sekali, bagaikan tentara yang dengan sabar merebut pertahanan musuh jengkal demi jengkal. Saya ragu apakah ahli Barat bisa melakukan hal yang sama,” ujar ketua tim, Prof Dr Iskandar Wahidiyat.
Oleh
JOHNNY TG
·6 menit baca
Sekitar 32 tahun yang lalu, tepatnya hari Minggu, 30 Agustus 1987, bayi kembar siam dempet kepala (kraniopagus) di bagian ubun-ubun, Pristian Yuliana dan Pristian Yuliani, tiba di Jakarta. Bayi kembar asal Tanjung Pinang itu langsung dibawa ke RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) setibanya di Jakarta. Mereka berangkat dengan pesawat Fokker 27 Sempati jurusan Riau-Jakarta sekitar pukul 10.45 WIB dari Bandara Kijang, Tanjung Pinang.
Bayi kembar siam ini lahir dari pasangan Tularji (26) dan Hartini (22), 31 Juli 1987, di RS Umum Tanjung Pinang melalui operasi caesar. Tularji, yang bekerja sebagai buruh, pingsan begitu mengetahui kondisi bayinya terlahir dempet. Sementara istrinya sendiri baru diberi tahu 15 hari kemudian. Kondisi bayi ini membuat banyak orang bersimpati dan memberikan bantuan, seperti Sempati Air Lines, Bupati Kepulauan Riau Murwanto, pihak RS Umum Tanjung Pinang, dan pendengar RRI Tanjung Pinang (Kompas, Sabtu, 29/8/1987, hlm 12). Bahkan, seorang penumpang pesawat Sempati, Nyonya H Lis (57), pedagang dari Payakumbuh, memberikan uang Rp 5.000 kepada Hartini.
Saridin, anestesis RSU Tanjung Pinang, ikut mendampingi di pesawat sambil sesekali mengatur arah angin AC pesawat di bagian atas jok tempat boks bayi. Ambulans yang membawa bayi kembar siam itu tiba di RSCM sekitar pukul 15.00. Kedatangannya disambut oleh Direktur RSCM dr Hidayat, wakilnya dr Samino, dan beberapa anggota Tim Penanganan Bayi Kembar Siam RSCM (Kompas, Senin, 31/8/1987, hlm 1).
Di sebuah ruangan khusus di lantai dua Bagian Anak RSCM, kedua bayi kembar siam ditempatkan. Observasi awal dilakukan mulai dari rontgen, mengambil contoh darah, hingga CT-scanner. Sebuah bantalan bulat berlubang untuk alas saat dioperasi sudah disiapkan. Berat kedua bayi kembar siam itu 6,8 kilogram. Menurut seorang dokter ahli kandungan/kebidanan FKUI/RSCM, kembar siam ini pasti kembar identik, yaitu berasal dari satu sel telur. Hanya saja proses pembelahannya pada tahap embrional tidak sempurna sehingga terjadi perlekatan.
Kembar identik ditandai dengan kesamaan sidik jari kaki dan tangan pada kedua individu. Hanya saja, sidik anggota tubuh bagian kanan dari individu pertama sama persis dengan sidik anggota tubuh bagian kiri individu yang lain (Kompas, Selasa, 1/9/1987, hlm 8).
Persiapan pun terus dijalankan hingga diputuskan operasi kasus kembar siam kraniopagus pertama di Indonesia akan dilakukan pada Rabu, 21 Oktober 1987. Menurut Koordinator Tim Penanganan Operasi Bayi Kembar Siam di RSCM, dr HMS Markum, operasi akan dilakukan di ruang bedah sentral RSCM. Tim penanganan bayi kembar siam diketuai Prof Dr Iskandar Wahidiyat dari Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM dan wakilnya, dr Padmosantjojo, ahli bedah saraf FKUI/RSCM.
Hari Rabu (21/10/1987) pukul 06.15, bayi dibawa ke ruang operasi dan dilanjutkan dengan kegiatan pra-operasi untuk memantau tekanan darah dan pernapasan. Pukul 09.15, pisau bedah dr Padmosantjojo, ahli bedah saraf, dan dr Bisono, ahli bedah plastik senior, memulai pembukaan kulit kepala sebagai bagian dari separasi (pemisahan bayi). Tahap selanjutnya, pemotongan tulang tengkorak, dilanjutkan pemisahan duramater (selaput otak keras) yang merupakan tahap paling menyulitkan. Kesukaran muncul karena pembuluh darah menyimpang, saling berdempet, sehingga ada kebocoran. ”Namun, hal ini bisa diatasi tanpa merugikan salah satu dari kedua bayi,” kata ahli bedah saraf itu (Kompas, Kamis, 22/10/1987, hlm 1).
Tepat pukul 16.43, kedua bayi perempuan itu berhasil dipisahkan, kata dr Daryo Soemitro yang diumumkannya lewat radio handy talkie. Tepuk tangan dan pekikan gembira terdengar di luar kamar operasi. Namun, sebenarnya ada lapisan tipis kulit bagian bawah yang masih tersisa dan dibutuhkan sekitar tiga menit untuk menyayatnya hingga putus. Jadi, resminya baru pukul 16.47 kepala Yuliana-Yuliani benar-benar terpisah, jelas dr Daryo.
Setelah bayi berhasil dipisahkan, kepala bayi ditutup dengan tulang palsu dari akrilik yang lalu ditutup dengan kulit. Kulit kepala Yuliani menutup tulang buatan di kepala Yuliana, sedangkan kulit kepala Yuliana diambil untuk Yuliani. Untuk pengganti kulit kepala yang diambil untuk saudaranya itu, dipakai kulit paha masing-masing bayi. Keseluruhan operasi selesai pada pukul 20.15.
Prof Padmo yang Rendah Hati
Membicarakan proses operasi di atas tidak bisa dilepaskan dari peran dr Padmo. Dalam banyak hal, ia menjelaskan sesuatu yang serius itu bisa dengan cara joke, bergurau. Dengan cara ini, orang menjadi tertarik untuk mendengar dan mengetahui suatu hal. Mengajar ilmu kedokteran dengan cara memperkenalkan ilmu filsafat, etika kedokteran, sehingga dapat mengetahui hal-hal mendasar untuk bertindak. Seperti saat Prof Padmo menceritakan soal operasi si kembar siam Pristian Yuliana dan Pristian Yuliani. Ia mempelajari dengan bertitik tolak pada pertanyaan ”Why” (kenapa). Karena itu, berbagai informasi digali dari awal terbentuknya embrio sampai dengan proses perkembangannya.
Dari ceritanya dan berdasarkan temuannya, proses dempetnya kulit kepala terjadi belakangan setelah proses-proses yang lain lengkap, seperti terbentuknya organ-organ tubuh. Artinya, semuanya terjadi secara normal dan lengkap. Karena itu, persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana memisahkan kepala mereka, bukan pada organ-organ lain.
Hasil CT-scanner juga menunjukkan kondisi pembuluh darah mereka normal. Dengan keyakinan informasi yang dikumpulkan, Prof Padmo yakin 99 persen akan berhasil operasinya dan 1 persen disisakan untuk keputusan Tuhan. Banyak orang meragukan keberhasilan operasi karena tingkat kesulitan yang amat tinggi. Namun, mereka tidak tahu kalau dr Padmo sudah memiliki data dasar bahwa kedua bayi ini dalam keadaan ”sehat”, jadi tinggal faktor memisahkan kepala bayi kembar siam.
Dengan kata lain, dr Padmo ingin mengatakan bahwa pekerjaan seorang dokter layaknya seperti detektif. Mengumpulkan berbagai informasi dulu sebelum bertindak. Seperti saat sebelum melakukan operasi, dr Padmo dan timnya sudah mengadakan semacam geladi resik/simulasi operasi agar nantinya bisa lancar. Berkali-kali para ahli bedah saraf melakukan latihan sendiri di kantor mereka dengan bantuan sebuah boneka peraga yang ditempel oleh dr Padmosantjojo sendiri. Terakhir, mereka melakukan geladi resik bersama dengan semua anggota tim di kamar operasi pada 17 Oktober 1987.
Mungkin orang yang paling lega dan bangga akan keberhasilan operasi ini adalah dr Padmo, Kepala Bagian Bedah Saraf FKUI/RSCM. Di ruang operasi, ia sempat berbisik kepada rekannya, dr Daryo, yang sedang sibuk menempel tulang sintetik pada ubun-ubun bayi Yuliana. ”Dik, dik, ternyata saya bisa mengoperasi dengan mata telanjang, ya.” Padahal, tim sudah menyiapkan peralatan bedah mikro dengan mikroskop untuk memisahkan milimeter demi milimeter selaput otak kedua bayi yang saling menempel.
Kesabaran ini juga membuat kagum ketua tim, Prof Dr Iskandar Wahidiyat. ”Dokter Padmo telaten sekali, bagaikan tentara yang dengan sabar merebut pertahanan musuh jengkal demi jengkal. Saya ragu apakah ahli Barat bisa melakukan hal yang sama,” ujarnya (Kompas, Minggu, 25/10/1987, hlm 1). Atas prestasi yang luar biasa tersebut, dokter kelahiran Kediri, 26 Februari 1938, itu mendapat gelar profesor pada 10 Juni 1989.
Sumber: Kompas, Sabtu, 29 Agustus 1987, halaman 12; Kompas, Selasa, 1 September 1987, halaman 8; Kompas, Kamis, 22 Oktober 1987, halaman 1; Kompas, Jumat, 23 Oktober 1987, halaman 1; Kompas, Selasa, 3 November 1987, halaman 3; Kompas, Jumat, 4 Desember 1987, halaman 1; Kompas, Selasa, 8 Maret 1988, halaman 1; dan Kompas, Senin, 12 Juni 1989, halaman 12.