Bising! Iya, ramai benar celotehan di media sosial, berita-berita juga gosip di layar kaca hingga di gadget dalam genggaman kita, tentang kabinet baru bentukan presiden terpilih. Tanggapannya beragam.
Oleh
Neli Triana
·4 menit baca
Bising! Iya, ramai benar celotehan di media sosial, berita-berita juga gosip di layar kaca hingga di gadget dalam genggaman kita, tentang kabinet baru bentukan presiden terpilih. Tanggapannya beragam. Ada yang puas dan mendukung penuh, ada yang super kecewa. Pun ada yang mencoba menerima mereka dengan harapan selalu ada niat baik yang akan berbuah baik. Sebagian lagi bilang, ”Yah, politik memang begitu. Jangan baper, deh.” Rakyat pada akhirnya hanya bisa menitipkan pesan agar negara ini diurus dengan baik dan benar.
Dalam cakupan ruang yang lebih kecil, kebisingan pro-kontra atas isu-isu tertentu terjadi pula setiap hari setiap saat. Warganet, misalnya, ikut ribut saat trotoar di Ibu Kota ditegaskan akan menjadi tempat berbagi antara pejalan kaki dan pedagang kaki lima alias PKL.
Pengguna media sosial ataupun warga Jakarta di dunia nyata belum tahu jika ada regulasi setingkat peraturan menteri yang membolehkan PKL berada di trotoar dengan sederet syarat. Salah satu syaratnya adalah keberadaan PKL tidak boleh menyumbat pergerakan pejalan kaki, apalagi menggusur mereka. Aturan ini diadopsi menjadi salah satu dasar kebijakan revitalisasi trotoar di DKI Jakarta. Namun, program revitalisasi yang merangkul PKL ternyata bertentangan dengan aturan di atasnya, seperti Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan dan UU No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan yang melarang penggunaan jalur pedestrian selain untuk pejalan kaki.
Kepala Dinas Bina Marga DKI Jakarta Hari Nugroho lantas menegaskan, kajian tentang penataan PKL di DKI tetap akan mengacu UU dan aturan-aturan yang ada. Kajian akan dilakukan secara menyeluruh, termasuk konsep PKL yang bisa berkolaborasi dengan baik dengan pejalan kaki. Aturan dan kajian itu memang sudah seharusnya menjadi pegangan pemerintah dalam melaksanakan program-programnya. Aturan dan kajian yang sama menjadi pegangan publik untuk menagih janji kelak.
Yang juga perlu didorong kemudian adalah anggaran revitalisasi trotoar agar jalur pejalan kaki yang aman nyaman menghubungkan berbagai lokasi di Jakarta ini benar-benar terwujud. Tanpa trotoar nyaman, sulit mendorong warga berpindah menjadi pengguna angkutan umum meski jaringan layanan bus Transjakarta, JakLingko, hingga kereta komuter makin diperluas.
Ngomong-ngomong soal anggaran, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat kegiatan ”Pembahasan Rancangan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) dan Rancangan APBD 2020” di Balai Kota DKI, Rabu (23/10/2019), menegaskan, tidak boleh ada pemborosan anggaran di DKI. Satuan kerja perangkat daerah (SKPD) menyisir ulang program kerjanya serta memastikan agar tidak ada duplikasi dan penggunaan anggaran yang tak perlu. Anies juga meminta ada pengkajian ulang terhadap semua kegiatan pembangunan di Jakarta, mulai dari penggunaan bahan material hingga proses pengerjaannya.
Di sisi lain, seperti dilaporkan di koran ini, dalam rapat Badan Anggaran (Banggar) dengan SKPD terkait KUA-PPAS 2020 di DPRD DKI, muncul sejumlah persoalan, salah satunya alokasi belanja hibah yang tinggi. Di rancangan KUA-PPAS 2020, anggaran dana hibah mencapai Rp 2,84 triliun. Alokasi dana itu merangkak naik sejak 2017 (Rp 1,47 triliun), APBD Perubahan 2018 (Rp 1,88 triliun), dan APBD Perubahan 2019 (Rp 2,75 triliun).
Anggota Banggar dari Fraksi Gerindra, Inggard Joshua, meminta agar belanja tidak langsung berupa dana hibah bisa dibuat lebih hemat. ”Hibah pangkas saja kalau memang tidak dibutuhkan,” ucapnya.
Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) Edi Sumantri menjelaskan, belanja hibah paling besar digunakan untuk dana bantuan operasional sekolah (BOS), mulai dari tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga SMA/SMK. Belanja hibah dana BOS itu mencapai Rp 813 miliar. ”Jadi, seluruh belanja hibah ini kembali kepada masyarakat,” ujar Edi.
Menarik mengikuti dinamika ini sembari kembali ingat bahwa menata dan mengelola kota memang tidak mudah. Terlebih di kota superbesar seperti Jakarta yang setidaknya dihuni 10 juta jiwa dengan berbagai latar belakang ekonomi, pendidikan, agama, sosial budaya, pun berbeda pandangan politiknya. Setiap kebijakan hampir bisa dipastikan tidak akan bisa memenuhi impian jutaan orang itu.
Di sini, pemerintah dan media massa konvensional sebenarnya ditagih untuk tetap konsisten menyalurkan informasi yang penting bagi publik. Menyenangkan jika secara dini dan terus-menerus warga diedukasi, diajak berdiskusi, sekaligus membuka wawasan tentang bagaimana membuat kotanya makin baik, kini ataupun nanti.
Transparansi kunci keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Berbagai platform komunikasi dua arah antara pemerintah dan warga dioptimalkan agar informasi utuh tersebar sempurna. Pemerintah dituntut membiasakan diri terbuka atas kritik dan saran, selalu menggunakan dasar hukum dan riset kuat, kerja sama antarinstansi terjalin baik, pelaksanaan kebijakan sesuai prosedur, dan tepat sasaran. Kalau salah, ya, bertanggung jawab, tak asal mengelak, apalagi buang badan.
Transparansi kunci keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Pemerintah dituntut membiasakan diri terbuka atas kritik dan saran, selalu menggunakan dasar hukum dan riset kuat, kerja sama antarinstansi terjalin baik, pelaksanaan kebijakan sesuai prosedur, dan tepat sasaran. Kalau salah, ya, bertanggung jawab, tak asal mengelak, apalagi buang badan.
Singkatnya, sekarang mendesak untuk membiasakan melakukan segala sesuatu dengan benar, bukan membenarkan kebiasaan yang belum tentu baik dan justru menciptakan blunder di mata publik.