Jika Papua mempunyai Raja Ampat, Tanah Banjar punya Raja Lima yang pesonanya sudah dilupakan sebagaimana kilau permata Banjar. Jaraknya hanya sekitar 20 kilometer dari pusat penjualan batu permata di Martapura.
”Selamat datang dan selamat menikmati pesona Raja Lima urang (orang) Banjar. Silakan kalau mau berfoto-foto,” kata Hamdi (46), pemandu wisata kepada para pengunjung yang baru tiba di Obyek Wisata Alam Bukit Matang Kaladan, Sabtu (24/8/2019).
Menjelang sore, kami mendatangi Obyek Wisata Alam Bukit Matang Kaladan setelah melihat-lihat permata di Martapura. Tempat wisata ini terlihat begitu keren di media sosial. Menanti senja di puncak Bukit Matang Kaladan akan jadi pengalaman yang mengesankan.
Obyek Wisata Alam Bukit Matang Kaladan berada di Desa Tiwingan Lama, Kecamatan Aranio, Kabupaten Banjar, sekitar 60 kilometer (km) dari Banjarmasin. Dari puncak Bukit Matang Kaladan tersaji lanskap pegunungan, lembah, hutan, waduk Riam Kanan, dan pulau-pulau kecil di tengah waduk. Pemandangan awan dan langit biru semakin mempercantik bentang alam itu.
”Coba perhatikan baik-baik, ada lima pulau di tengah waduk yang terlihat dari sini (puncak). Karena itulah dinamakan raja lima. Keindahan alam di sini tidak kalah sama Raja Ampat,” kata Hamdi dengan penuh bangga.
Klaim itu ada benarnya juga karena di tengah waduk terlihat gugusan pulau kecil. Dari kejauhan, air waduk terlihat hijau senada dengan warna pepohonan yang tumbuh di sekitar waduk dengan luas 9.730 hektar itu. Perahu bermotor atau kelotok tampak hilir mudik di tengah waduk.
Untuk mencapai puncak Bukit Matang Kaladan, pengunjung harus berjalan kaki. Jarak tempuh dari permukiman warga ke puncak bukit sekitar 2 km. Jalannya masih berupa jalan setapak, namun sudah dibeton. Kalau malas berjalan kaki, bisa juga naik ojek.
Sepanjang jalan menuju puncak, kami melintasi kebun karet dan kebun buah-buahan milik warga desa setempat. Kebun itu tampak terawat dan bersih dari semak belukar. Pohon karet dan pohon buah-buahan itu menjadi peneduh jalan menuju puncak sehingga panas terik matahari tidak sampai menyengat kulit.
Kekinian
Udara di puncak Bukit Matang Kaladan terasa segar. Embusannya yang cukup kencang mampu mengusir gerah saat cuaca masih panas terik. ”Betah rasanya berlama-lama di sini,” kata Ahmad Rafi (20), pengunjung yang datang dari Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.
Di puncak Bukit Matang Kaladan ada banyak spot untuk berfoto. Modelnya pun beragam, mulai dari model jamur, rakit, perahu (jukung), bulan bintang, kincir angin, hingga rumah kembar. Total ada 19 spot foto yang dibuat dengan model kekinian dan instagramable.
Berfoto di spot-spot itu terlihat keren dengan latar pemandangan alam ”raja lima”. Tak heran bila lokasi ini menjadi salah satu lokasi wisata favorit kaum milenial. Jumlah foto yang diunggah dengan tagar #matangkaladan di Instagram sudah lebih dari 5.000 unggahan.
Hari itu, sebagian besar pengunjung adalah kaum milenial. ”Dulu, saya tahu lokasi ini juga dari instagram. Saya suka tempat ini karena pemandangan alamnya mirip Raja Ampat,” ujar Rafi yang sudah tiga kali berwisata ke puncak Bukit Matang Kaladan.
Untuk menikmati pesona ”raja lima”, pengunjung cukup membayar retribusi masuk sebesar Rp 5.000 per orang. Jika sanggup berjalan kaki mendaki ke puncak, maka tidak perlu mengeluarkan uang Rp 20.000 untuk ongkos ojek. Namun, tetap siapkan uang untuk berfoto di spot-spot yang ada di puncak Bukit Matang Kaladan. Penggunaan spot foto itu tidak gratis.
Matahari terbit
Harapan untuk menikmati matahari terbenam dari puncak Bukit Matang Kaladan pupus. Bukan karena cuaca yang tidak mendukung, melainkan karena posisinya yang kurang pas. Dari puncak bukit, pemandangan ”raja lima” di depan mata ternyata berada di sebelah Timur, bukan di Barat.
Posisi Barat berada di balik Bukit Matang Kaladan. Matahari yang mulai turun di ufuk Barat tak terlihat dari puncak bukit karena terlindung pepohonan. ”Kalau di sini mau melihat matahari terbit baru pas,” kata Hamdi.
Untuk menyaksikan matahari terbit, sebagian orang memutuskan bermalam di puncak Bukit Matang Kaladan. Mereka biasanya mendirikan tenda di situ. Tidak ada larangan bagi pengunjung untuk bermalam karena tempat wisata yang dikelola oleh pemerintah desa itu terbuka 24 jam.
Sebenarnya, ada keinginan untuk menyaksikan matahari terbit dengan pesona ”raja lima”. Namun, kami mengurungkan niat itu karena tidak membawa perlengkapan untuk tidur di alam terbuka. Jika pun bermalam, itu sudah di luar rencana. Mungkin lain waktu saja.