Mencegah "Sel Kanker" Radikalisme
Aksi Syahril Alamsyah alias Abu Rara (31) menusuk Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto di Alun-alu Menes, Kabupaten Pandeglang, Banten, 10 Oktober lalu, mengagetkan warga Kampung Sawah, Menes. Di wilayah itu, Abu Rara sejak Februari lalu menyewa sebuah bilik kontrakan.
Kekagetan atas kenekatan Abu Rara itu seakan menjawab rasa penasaran warga Kampung Sawah. Ketua RT 4 Kampung Sawah, Mulyadi, mengungkapkan, Abu Rara berkepribadiaan tertutup dan tidak mau bersosialisasi dengan tetangga di lingkungan itu.
Tidak hanya itu, Abu Rara juga membatasi kehidupan sosial anaknya, yaitu RA (14). Sebagai contoh, Abu Rara tidak mendaftarkan RA ke sekolah umum. RA hanya mengenyam pendidikan baca tulis, menghitung, dan agama secara daring (online).
Sikap Abu Rara itu juga dilakukan oleh pelaku bom bunuh diri di Surabaya, Jawa Timur, Mei 2018, Dita Upriyanto (48), serta pembuat bom yang meledak di Rusunawa Wonocolo Taman, Sidoarjo, Jatim, yaitu Anton Febrianto (47). Keduanya juga memilih tidak menyekolahkan anak mereka. Di hadapan para tetangga, anak-anak diminta menyebut bahwa mereka mengikuti program homeschooling.
Padahal yang dilakukan Dita dan Anton adalah mengindoktrinasi anak-anak mereka. Keduanya “mendidik” anak-anak mereka dengan video di internet untuk membangkitkan paham radikal di pikiran mereka. Tujuannya, agar anak-anak itu siap melakukan aksi teror yang telah direncanakan orang tua mereka.
Abu Rara, Dita, dan Anton hidup di lingkungan sosial yang cenderung rapat atau memiliki tetangga yang berdekatan dengan mereka. Artinya, mereka tidak hidup di lingkungan ekslusif yang hanya diisi kerabat terdekat atau bermukim di lingkungan yang terpencil.
Pada 2016 lalu, Kepolisian Negara RI sempat mengungkapkan empat indikasi keberadaan anggota atau simpatisan kelompok teroris di suatu lingkungan. Pertama, seseorang memiliki sifat tertutup dan enggan bersosialisasi. Kedua, tidak terbuka dengan jumlah pemukim di sebuah rumah. Ketiga, terkesan tidak memiliki aktivitas di luar rumah atau kalaupun ada, tetapi tidak dilakukan secara rutin. Terakhir, memiliki aktivitas di dalam rumah yang tertutup.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo mengungkapkan, sikap tertutup warga di suatu lingkungan harus diperhatikan oleh para tetangga dan anggota lingkungan itu. Peran aktif dan perhatian masyarakat sekitar menjadi langkah paling ampuh untuk meredam radikalisme yang hadir di lingkungan terkait.
Ia mencontohkan, penangkapan anggota kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Lampung, Rinto alias Putra Syuhada, Maret lalu, dilakukan setelah orang tua Rinto melaporkan anaknya yang diduga terpapar radikalisme. Penangkapan Rinto menjadi pintu pengungkapan sejumlah jaringan JAD di sejumlah wilayah di Tanah Air.
Radikalisme daring
Hussein Tahiri dan Michel Grossman, di buku bertajuk “Community and Radicalisation: An Examination of Perceptions, Ideas, Beliefs and Solutions Throughout Australia” (2013), mengungkapkan, empat faktor seseorang terpapar radikalisme, yaitu faktor personal dan individual, faktor budaya sosial, faktor pemimpin agama dan komunitas, serta faktor politik.
Di tengah menjamurnya pengajaran paham keagamaan di media sosial, sejumlah individu yang bergabung dengan JAD umumnya terpapar radikalisme setelah mengikuti pengajian di grup Facebook. “Pemimpin keagamaan yang menyebarkan paham radikalisme memiliki dua tipe, yaitu mereka yang memiliki paham agama yang masih lemah atau mereka yang secara sengaja mengacaukan pemahaman pengikutnya agar memercayai paham ektremis mereka,” tulis keduanya.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Mohammad Iqbal mengungkapkan, penangkapan puluhan simpatisan JAD, sejak awal Oktober lalu, menunjukkan fenomena baru, yakni kelompok teroris daring. Mereka beraktivitas dan berkomunikasi melalui ranah virtual.
Terdapat lima tahapan radikalisme daring. Tahapan itu dimulai dengan komunikasi intens di media sosial atau aplikasi pesan instan, lalu berlanjut dengan rapat umum yang dilakukan secara daring untuk memberikan pemahaman radikal, kemudian pemimpin agama atau kelompok itu menginisiasi pertemuan nyata atau “kopi darat” kepada sejumlah individu yang dianggap telah terpapar radikalisme.
Setelah bertemu, mereka melakukan pelatihan paramiliter sebagai persiapan aksi teror. Dan, langkah pamungkasnya adalah amaliyah atau aksi teror. Sejumlah tahapan itu telah dialami oleh Abu Rara, Dita, dan Anton.
Anggota kelompok teroris yang telah terpapar radikalisme daring itu umumnya mengubah cara bersosialisasi mereka. Mereka menjadi tertutup, seperti Dita dan Anton, atau memilih berpindah tempat tinggal, seperti Abu Rara.
Menurut Direktur International Association for Counterterrorism and Security Professionals (IACSP) Indonesia Rakyan Adibrata, untuk mengantisipasi radikalisme, tidak cukup hanya dengan penangkapan, tetapi juga harus dilakukan melalui langkah pencegahan yang berjenjang dan simultan. Ia menjelaskan, kerja sama masyarakat mulai dari lingkungan terkecil, seperti rukun tetangga, rukun warga, desa/kelurahan, hingga kecamatan, menjadi faktor penting mencegah radikalisme di suatu wilayah. Seluruh pihak, tambahnya, harus memberikan kontribusi untuk mewujudkan lingkungan masyarakat yang sehat.
“Ibarat tubuh manusia, radikalisme adalah sel kanker di sebuah lingkungan. Seluruh bagian masyarakat harus menjalankan sistem sosial yang terbuka dan insklusif agar mampu meredam sedini mungkin potensi kehadiran kanker radikalisme itu,” ujar Rakyan.
Lebih lanjut, Rakyan menilai, radikalisme lebih mudah terjadi di lingkungan masyarakat urban karena kehidupan setiap individu yang cenderung lebih individualis dibandingkan masyarakat di pedesaan.
Bangsa ini sebenarnya memiliki benteng terhadap radikalisme, yaitu karakter komunal yang mengedepankan sikap gotong royong. Namun, masihkah kita menjaga karakter itu?