Tradisi Merti Bumi di lereng Gunung Merapi, Daerah Istimewa Yogyakarta, menjadi ungkapan syukur sekaligus potret ketulusan warga desa memaknai keberagaman.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
Tradisi Merti Bumi di lereng Gunung Merapi, Daerah Istimewa Yogyakarta, menjadi ungkapan syukur sekaligus potret ketulusan warga desa memaknai keberagaman. Tiga gunungan hasil bumi diperebutkan warga lintas agama. Pesan bahwa rezeki Sang Pencipta tak membedakan suku, agama, dan asal-usul.
Tradisi Merti Bumi di Padukuhan Wonorejo, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, digelar di tengah persawahan warga, Minggu (20/10/2019), tepat sebelum pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin. Sekitar 600 warga lintas agama mendatangi lokasi persawahan, sebagian dari mereka mengenakan pakaian adat khas daerah setempat.
Pagi itu, cuaca begitu cerah. Di sebelah utara, tampak Gunung Merapi berdiri gagah. Pada areal memasuki tenda kegiatan, disiapkan makanan berupa nasi bungkus oleh para ibu petani. Dengan senyum ramah, mereka mempersilakan setiap tamu mengambil nasi bungkus berbalut daun pisang.
Tiga gunungan setinggi sekitar 3 meter berada di tengah-tengah petakan sawah. Dua gunungan berisikan padi, jagung, pisang, dan umbi-umbian serta satu gunungan berupa hasil olahan berupa kerupuk dan gorengan.
Warga lintas agama memperebutkan gunungan itu untuk dibawa pulang. Mereka yakin, gunungan itu sudah diberkati leluhur dan memiliki kekuatan luar biasa. Setiap bahan makanan dari gunungan yang dibawa pulang wajib dikonsumsi semua anggota keluarga.
Sebelum gunungan diperebutkan, beberapa gelaran seni digelar. Pemuda-pemudi mempertunjukkan tari-tarian sebagai rasa syukur terhadap kebaikan Sang Pencipta. Tari-tarian itu diiringi dengan lantunan gamelan.
Menjelang acara puncak rebutan gunungan, para tokoh dan sesepuh kampung mengucurkan air di sejumlah sudut persawahan. Simbol syukur atas kesuburan tanah yang selama ini menghidupi warga sekaligus permohonan terjauh dari bencana.
Anisah Maya (48), salah seorang warga, ikut menghambur bersama ratusan warga berebut tiga ”gunungan” penuh hasil bumi mulai dari kacang panjang, jagung, hingga pisang. Setelah berebut penuh sukacita, ia berhasil mengambil jagung muda dan labu kuning yang telah dipotong.
”Apa pun yang diperoleh, saya yakin ada kekuatan yang diberikan dari leluhur. Maka dari itu, saya enggak pernah ketinggalan terlibat berebut gunungan,” tutur Anisah.
Menurut dia, semua anggota keluarga akan menikmati hasil bumi yang diperolehnya meski sedikit. ”Mencicipi makanan ini bukan untuk kenyang, melainkan pertanda telah menerima rezeki dari leluhur,” katanya.
Sebagai upaya mengingat leluhur, di sekitar lokasi kegiatan Merti Bumi disusun pula beberapa patung karya seniman setempat yang menggambarkan sosok Mbok Turah. Ia diyakini sebagai leluhur warga Padukuhan Wonorejo.
Monica Esti, warga lain, mengatakan, 90 persen warga di daerah tersebut adalah petani. Merti Bumi digelar dua tahun sekali sebagai bentuk syukur atas hasil alam yang telah diterima, sekaligus awal persiapan musim tanam tahun berikutnya.
Ketua Panitia Merti Bumi, R Pudyas Eko, mengatakan, kegiatan Merti Bumi tahun ini mengambil tema ”Membangun Masyarakat yang Berbudaya Berdasarkan Pancasila”. Kegiatan ini merupakan puncak dari rangkaian kegiatan yang dilangsungkan di Padukuhan Wonorejo, satu pekan terakhir.
Sebelumnya telah dilangsungkan ”nyekar” leluhur, kenduri warga, pengajian akbar, ekaristi Merti Bumi, wayang kulit, dan kirab budaya Merti Bumi lintas agama. Kegiatan ini digelar juga untuk mendukung kepemimpinan Joko Widodo-Ma’ruf Amin lima tahun ke depan.
Merti Bumi digelar dua tahun sekali sebagai bentuk syukur atas hasil alam yang telah diterima, sekaligus awal persiapan musim tanam tahun berikutnya.
Kerukunan
Padukuhan Wonorejo tidak banyak dikenal masyarakat Indonesia, tetapi di tempat ini bersemai kerukunan antarumat beragama yang indah. Umat beragama Islam, Katolik, Kristen Protestan, Buddha, hingga penghayat keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa hidup berdampingan penuh keguyuban.
Tokoh agama Gereja Katolik, Rm Sindhunata SJ, mengatakan, kerukunan antarumat beragama itu mahal, sulit tergantikan apa pun. Dalam praktik hidup rukun dan damai itu, terbangun nilai-nilai kemanusiaan antarsesama umat beragama.
”Ada filsafat Jawa menyebutkan rukun agawe santoso atau raos. Jangan sampai orang Jawa kehilangan itu. Membangun raos butuh kebersamaan yang tecermin dalam setiap aktivitas bermasyarakat. Saling menghormati, saling mendengarkan, saling membantu, dan saling menghargai perbedaan,” kata Sindhunata.
Pengasuh Pondok Pesantren Sunan Kalijaga Dengkeng Wedi, Klaten, KH Eko Susilo, mengatakan, melalui gunungan, orang tidak membedakan suku, agama, dan asal-usul. Semua warga ramai-ramai memperebutkan hasil bumi simbol pemberian leluhur. Warisan budaya dan tradisi leluhur sejak dulu kala untuk semua orang.
Eko melanjutkan, sebagai dasar negara, Pancasila telah merangkum semua suku, agama, ras, dan golongan. Pancasila tidak hanya dihafalkan, tetapi lebih dari itu, diamalkan di dalam masyarakat. Kehidupan Pancasilais, tata hidup yang rukun, tulus, bersatu, dan bersahabat sudah diamalkan di dusun ini. Kehidupan seperti ini perlu ditularkan ke daerah lain.
Menurut Eko, agama dan keyakinan setiap orang tidak perlu dipersoalkan. ”Yang justru mesti dipertanyakan, mengapa nilai-nilai agama yang searah dengan nilai-nilai Pancasila tidak diperjuangkan dalam hidup,” tuturnya.
Untuk itu, menurut Eko, keindonesiaan jangan hilang hanya karena perbedaan agama. ”Kita lahir dari rahim ibu yang berbeda, dibesarkan dari keluarga yang berbeda. Kita mewariskan agama dan kebiasaan yang berbeda pula dari orangtua masing-masing. Mengapa harus dipersoalkan itu,” katanya.
Rm Sindhunata juga menambahkan, kegiatan Merti Bumi ini sengaja digelar bertepatan dengan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Jokowi-Amin. Dengan semangat ini, Padukuhan Wonorejo ingin menyebarkan virus kerukunan dalam keberagaman ke seluruh pelosok Tanah Air.
Ia mengatakan, pada masa lalu, orang Jawa belum punya agama, tetapi telah memiliki nilai-nilai kebudayaan tinggi, mengajarkan ketenteraman dan kedamaian di antara sesama manusia. Rasa tenteram dan damai itu juga terbangun melalui hasil bumi yang cukup untuk kehidupan sehari-hari. Orang hidup berkecukupan dari alam dan saling menghormati.
”Dalam suasana hidup berkecukupan ini, mari dalami agama masing-masing untuk kebaikan bersama,” kata Sindhunata.