Merekonstruksi Karakter Perempuan, Melawan Bias Jender Industri Film
Karakter perempuan dalam sebuah film seringkali dianggap sebagai orang kedua atau pelengkap. Padahal, karakter konstruktif mereka dibutuhkan untuk menginspirasi remaja-remaja perempuan di Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS - Karakter perempuan dalam sebuah film seringkali dianggap sebagai orang kedua atau pelengkap. Padahal, karakter konstruktif mereka dibutuhkan untuk menginspirasi remaja-remaja perempuan di Indonesia.
Sabtu (26/10/2019) siang, kursi-kursi tunggu di lorong studio film salah satu Mal Jakarta Barat tampak penuh. Orang tua, remaja hingga anak-anak juga sibuk berlalu lalang. Di tengah keramaian tersebut terlihat tiga remaja perempuan berjalan keluar dari toilet. Salah satunya terlihat memegang tiket bertuliskan “Perempuan Tanah Jahanam”.
Siang itu, Fitri (18) “terpaksa” harus merasakan ketegangan film besutan Joko Anwar karena ajakan oleh kedua temannya. Usai keluar dari studio, ada tiga hal yang berkesan baginya tentang karakter utama Maya atau Rahayu yang diperankan Tara Basro. “Berani, seksi, setia kawan,” tegasnya.
Meski tidak sesuai dengan realita bahwa perempuan identik dengan sifat penakut, Fitri mengaku puas dengan karakter Tara. Sebab, keberanian Tara seakan melawan pakem karakter perempuan kebanyakan.
Kata perempuan dalam “Perempuan Tanah Jahanam” tampaknya juga lebih dari sekadar subjek. Kata tersebut seakan mempertegas keberadaan figur perempuan yang lebih menonjol dibandingkan para lelaki, baik antagonis maupun protagonis.
Riset dari Plan International dan Geena Davis Institute yang bertajuk Rewrite Her Story menunjukkan bahwa stereotipe jender memang masih terjadi dalam industri perfilman. Dari 56 film terpopuler sepanjang 2018, keberadaan tokoh laki-laki ternyata dua kali lebih banyak dibandingkan tokoh perempuan.
Selain itu, hanya 27 persen perempuan yang digambarkan sebagai sosok pemimpin, sedangkan 42 persen menempatkan laki-laki. “Di samping itu, jumlah, kemunculan dan porsi bicara mereka dua kali lipat lebih banyak daripada perempuan,” kata Communication and Influencing Director Plan Indonesia Nazla Mariza.
Stereotipe gender memang masih terjadi dalam industri perfilman. Dari 56 film terpopuler sepanjang 2018, keberadaan tokoh laki-laki ternyata dua kali lebih banyak dibandingkan tokoh perempuan.
Meski beberapa sudah ditampilkan sebagai pemimpin, perempuan masih cenderung dijadikan sebagai obyek seksual. Misalnya, mendapatkan kedipan mata, diperlihatkan bagian tubuhnya, mendapatkan pelecehan verbal hingga pelecehan fisik sekalipun. Tak tanggung-tanggung, jumlahnya lima kali lebih banyak dibandingkan laki-laki.
Baca juga : Puncak Baru Kengerian
Selain itu, perempuan juga berpakaian terbuka empat kali lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Hal tersebut, salah satunya tergambar secara eksplisit dalam poster Film Justice League garapan Zack Snyder yang dirilis pada 2017.
Satu-satunya pemeran superhero perempuan dalam film tersebut, Wonder Woman (Gal Gadot) terlihat mengenakan kostum terbuka. Ironisnya, para lelaki yakni Batman (Ben Affleck), Superman (Henry Cavill), Flash (Ezra Miller), Aquaman (Jason Momoa) dan Cyborg (Ray Fisher) justru mengenakan kostum yang tertutup.
Hal yang sama juga terjadi di belakang layar. Berdasarkan 250 film terpilih, tidak ditemukan satupun sutradara wanita. Adapun, perbandingan produser perempuan dan laki-laki sebanyak 1 : 5. Diantara film-film itu juga hanya terdapat dua film yang mempekerjakan lebih dari 10 kru perempuan.
“Sebaliknya, 185 film mempekerjakan lebih dari 10 kru laki-laki,” kata Nazla.
Sejak 80-an
Ketua Komite Film Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Hikmat Darmawan mengungkapkan, gugatan terhadap dominasi laki-laki dalam film sudah dilakukan sejak dekade 80 hingga 90-an. Para sutradara menggugat lewat film-film yang memplot perempuan sebagai pemeran utamanya.
Di tengah film-film yang mempertontonkan sosok protagonis berotot seperti Rambo, muncul film Aliens (1987) dan Thelma and Louise (1991) yang mencoba membalik keadaan. Film Thelma and Louise berupaya menempatkan laki-laki sebagai object of desire dari dua pemeran utama perempuan yakni Geena Davis (Thelma) dan Susan Sarandon (Louise).
“Karakter dominan perempuan dalam film terus bermunculan hingga tahun 2000-an, meski dominasi laki-laki masih lebih tinggi,” kata Hikmat.
Menurutnya, sosok perempuan dalam sebuah film bisa menyumbang kekayaan cerita jika terus digali. Hal ini memungkinkan perempuan memiliki peran yang bervariatif, baik sebagai protagonis, pembantu hingga objek seksual semata. Dalam “Perempuan Tanah Jahanam” misalnya, perempuan digambarkan secara berdaya sekaligus menjadi korban.
“Selain kedewasaan Sutradara menempatkan perempuan, pasar perempuan dalam industri perfilman juga semakin besar,” ungkap Hikmat.
Anak terinspirasi
Selain menganalisa data, riset Rewrite Her Story tersebut juga memaparkan temuan berdasarkan opini dari 10.000 anak perempuan yang tersebar di 20 negara. Hasilnya, anak-anak perempuan menyatakan terinspirasi dari tokoh dan gambar yang mereka tonton.
Dari 56 film terpopuler 2018 yang disebutkan sebelumnya, mereka juga menyimpulkan bahwa perempuan yang memerankan sosok pemimpin tidak diperlakukan sebaik laki-laki yang pemimpin. Di sisi lain, memang tidak banyak perempuan yang memerankan peran penting pada film-film tersebut.
Kalaupun ada, keberadaan perempuan sebagian besar hanya sebagai pendamping dari laki-laki. Khususnya untuk mendapatkan kesan romantisme. Anak-anak di 20 negara tersebut juga beranggapan bahwa perempuan masih menjadi objek seksual.
“Mereka sebenarnya tau apa yang mereka ingin lihat, tapi hal itu jarang muncul pada film,” ujar Nazla.
Di dalam negeri, Plan Indonesia bekerja sama dengan U-Report Indonesia melakukan jajak pendapat secara daring. Jajak pendapat tersebut melibatkan 2.968 responden, dengan komposisi 53 persen perempuan dan 47 persen laki-laki.
Hasilnya, sebanyak 83 persen responden menyatakan bahwa sosok perempuan masih sering ditampilkan lewat cara-cara yang negatif. Sebanyak 77 persen dari mereka juga melihat laki-laki masih mendominasi peran pemimpin di dalam film.
Para responden juga menyebutkan bahwa karakter yang kerap mereka lihat dari figur perempuan di dalam film adalah karakter yang pantang menyerah. Hal itu sesuai dengan karakter yang mereka ekspektasikan sebelum menonton film.
“Ini menjadi catatan, bahwa cerita kepemimpinan perempuan perlu lebih ditonjolkan, sebab remaja perempuan ingin melihatnya,” ujar Nazla.
Terpengaruh bias
Sekretaris Jenderal Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Muhammad Joni mengatakan, pembagian peran antara laki-laki dan perempuan kerap dipengaruhi oleh bias bahwa perempuan seringkali menjadi sasaran dari kekerasan seksual. Hal tersebut, menurutnya sudah menjadi gejala yang mendunia.
“Entah disengaja atau tidak, hal ini juga melekat dalam skenario dan visualisasi pada film,” katanya.
Baca juga : Tubuh Perempuan yang Kalah
Menurutnya, karakter perempuan dalam film sangat mudah menginspirasi para anak perempuan. Mereka kerap menjadikannya sebagai idola. Oleh sebab itu, film-film yang pro terhadap anak perempuan mesti terus dimunculkan. Jangankan film superhero, film animasi pun, menurutnya bisa menginspirasi perkembangan karakter anak perempuan.
Selain “Perempuan Tanah Jahanam”, saat ini penikmat film di Indonesia tengah disuguhi sejumlah film dengan perempuan sebagai pemeran utamanya. Mulai dari “Maleficent : Mistress of Evil”, “Hustlers”, hingga yang teranyar “Susi Susanti : Love All”. Semoga, karakter yang ditampilkan bisa memuaskan harapan anak dan remaja perempuan di Indonesia.