Gelombang Balik Brexit
Drama politik Brexit yang seperti tak berkesudahan memperlihatkan bahwa pilihan untuk keluar dari Uni Eropa bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan meski 52 persen warga Inggris menghendakinya.
Dalam dunia yang kian terhubung, Brexit yang melibatkan Inggris dan blok ekonomi Eropa menjadi semakin rumit diputuskan, terlebih suara Pemerintah Inggris di parlemen adalah minoritas. Di sisi lain, selain kedua entitas itu, dampak Brexit pun bakal dirasakan negara lain di dunia.
Bagaimana dampak Brexit pada negara lain sangat bergantung pada bagaimana Brexit disetujui untuk dijalankan, apakah dengan kesepakatan atau tanpa kesepakatan. Jika Brexit dilakukan dengan kesepakatan, proses transisinya bisa berlangsung lebih mulus sehingga pilihan ini relatif tidak berdampak hebat pada berbagai sektor, terutama ekonomi. Inggris dan mitra dagangnya akan memiliki waktu untuk memperbarui perjanjian perdagangan.
Yang dikhawatirkan adalah apabila Brexit dilakukan tanpa kesepakatan. Brexit tanpa kesepakatan akan mengubah secara signifikan akses pasar. Dalam skenario ini, perjanjian dagang Uni Eropa dengan negara lain tidak akan lagi berlaku di Inggris. Perjanjian perdagangan bebas antara Inggris dan negara-negara Eropa pun tidak akan berlaku lagi.
Pemerintah dan Parlemen Inggris juga Uni Eropa tidak menghendaki Brexit terjadi tanpa kesepakatan karena memberi pukulan hebat pada banyak hal, terutama ekonomi.
Akibatnya, tarif impor barang ke Inggris akan naik sehingga akan membebani eksportir dan bisa memicu kenaikan harga. Ini paling dirasakan negara-negara eksportir asal Eropa yang selama ini menikmati tarif ekspor khusus. Pemerintah dan Parlemen Inggris juga Uni Eropa tidak menghendaki Brexit terjadi tanpa kesepakatan karena memberi pukulan hebat pada banyak hal, terutama ekonomi.
Korban
Konferensi Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTAD) memperkirakan, negara yang paling merasakan dampak Brexit tanpa kesepakatan adalah negara yang memiliki hubungan dagang erat dengan Inggris. Uni Eropa, misalnya, kemungkinan akan kehilangan 35 miliar dollar AS dari ekspor produk-produk ke Inggris.
Hal serupa juga bakal dialami Turki, Korea Selatan, Pakistan, Norwegia, Islandia, Kamboja, dan Swiss. Negara-negara ini kemungkinan akan mengalami penurunan ekspor ke Inggris. Sebaliknya, negara yang menerapkan tarif tinggi, seperti China, Amerika Serikat, dan Jepang, justru akan meraup keuntungan.
World Economic Forum menyatakan, negara-negara di kawasan Karibia (Caricom) bisa menjadi contoh yang baik dalam mengantisipasi Brexit tanpa kesepakatan. Baru-baru ini negara Caricom telah menandatangani perjanjian dagang baru dengan Inggris yang memungkinkan mereka bisa dengan bebas mengakses pasar Inggris dan mencegah penurunan volume ekspor.
Sebaliknya, banyak negara lain belum menandatangani perjanjian perdagangan yang baru sehingga akan menanggung beban tarif yang tinggi dari Brexit. Nikaragua, Ghana, dan Honduras, misalnya, akan mengalami penurunan ekspor hampir 40 persen.
Dampak yang terasa oleh warga Inggris terkait akses pasar ini adalah kemungkinan menurunnya pasokan barang-barang, terutama buah dan sayuran, serta naiknya harga-harga kebutuhan pokok. Tarif listrik dan gas juga berpotensi naik karena melemahnya pound sterling terhadap euro dan ”terlepasnya” Inggris dari pasar Eropa.
Obat-obatan
BBC menyebutkan, hasil Operasi Yellowhammer, sebuah rencana kontingensi Pemerintah Inggris atas kemungkinan dampak yang terjadi akibat Brexit tanpa kesepakatan, menyatakan, salah satu produk yang kemungkinan rentan terganggu adalah pasokan obat-obatan dan alat kesehatan. Dari 12.000 lebih obat yang digunakan oleh Layanan Kesehatan Nasional (NHS) Inggris, sekitar 7.000 di antaranya berasal atau dipasok melalui Uni Eropa.
Tidak hanya aliran barang yang bakal terdampak Brexit, warga Inggris yang tinggal di 27 negara Uni Eropa pun secara perlahan akan kehilangan ”kewarganegaraan” Uni Eropa sehingga kemungkinan akan lebih sulit mengakses pelayanan kesehatan di negara mereka tinggal.
Proses Brexit yang kian berlarut-larut tanpa kejelasan pun membuat frustrasi dan jenuh, termasuk menggerogoti perekonomian.
Di sisi lain, Pemerintah Inggris telah memproyeksikan, dalam jangka panjang hingga 15 tahun, tanpa berbuat apa pun, Brexit tanpa kesepakatan akan mengecilkan ekonomi Inggris 6,3-9 persen dibandingkan dengan jika masih tergabung dengan Uni Eropa.
Referendum tanggal 23 Juni 2016 di Inggris akan selalu menjadi pengingat yang kuat bahwa keberhasilan integrasi ekonomi masih bisa berbalik. Proses Brexit yang kian berlarut-larut tanpa kejelasan pun membuat frustrasi dan jenuh, termasuk menggerogoti perekonomian. (REUTERS)