Komnas HAM Tak Temukan Bukti Keterlibatan Polisi dalam Penembakan
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM menemukan bahwa penembak sembilan korban tewas dalam kerusuhan 21-22 Mei 2019 di depan Gedung Badan Pengawas Pemilu, Jakarta, tidak berasal dari kepolisian.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM menemukan bahwa penembak sembilan korban tewas dalam kerusuhan 21-22 Mei 2019 di depan Gedung Badan Pengawas Pemilu, Jakarta, tidak berasal dari kepolisian. Meski terbukti profesional dan terlatih, penembak diduga berasal dari pihak lain. Sebagai rekomendasi, Polri diminta untuk mengungkap pelaku utama yang merancang dan bertanggung jawab atas penembakan tersebut.
Komisioner Komnas HAM sekaligus Wakil Ketua Tim Pencari Fakta Peristiwa 21-23 Mei 2019 Beka Ulung Hapsara di Jakarta, Senin (28/10/2019), menjelaskan, investigasi Komnas HAM menemukan terdapat 10 korban tewas akibat kerusuhan yang terjadi di DKI Jakarta dan Pontianak, Kalimantan Barat pascapemilu 2019. Sebanyak sembilan orang tewas karena tertembak peluru tajam, sedangkan satu orang lainnya meninggal dunia karena kekerasan benda tumpul.
Salah satu fokus investigasi yakni mencari petunjuk pelaku penembakan. Anggota kepolisian muncul sebagai pihak yang berpotensi untuk melakukannya. Akan tetapi, hal itu tidak terbukti. “Dari sejumlah temuan, kami menyimpulkan bahwa penembakan bukan dilakukan oleh aparat kepolisian,” kata Beka.
Beka menambahkan, pihaknya telah memeriksa seluruh pihak Kepolisian Negara RI (Polri) yang terkait dengan peristiwa 21-22 Mei 2019. Mulai dari Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum), Divisi Hukum, Kepolisian Resor (Polres) Jakarta Pusat, Jakarta Timur, dan Jakarta Barat, serta komandan satuan yang bertugas di lokasi unjuk rasa. Dari pemeriksaan itu, tidak ditemukan bahwa ada aparat kepolisian yang membawa senjata api.
Hasil pemeriksaan itu dikuatkan dengan hasil uji laboratorium forensik dan uji balistik yang dilakukan Polri. “Kepolisian juga sudah membeberkan hasil uji balistik, memang tidak ditemukan tanda penembakan, misalnya sisa selongsong dan senjata berpeluru tajam,” ujar Beka.
Selain itu, luka tembak pada beberapa orang berada di bagian samping tubuh. Sasaran tembaknya mengarah pada organ tubuh yang paling mematikan. Potensi polisi untuk melakukannya dinilai amat kecil, karena posisi mereka berhadapan dengan para korban.
Menurut Beka, penembakan yang menyasar pada organ tubuh vital menunjukkan bahwa pelakunya sudah terlatih dan profesional. Terjadinya hal serupa pada beberapa orang pun membentuk pola khusus yang menandakan bahwa tindakan tersebut dilakukan secara sistematis. Diduga, ada pihak yang berperan sebagai dalang dari seluruh kerja terorganisasi tersebut.
Ia menambahakan, aksi yang terorganisasi semakin kuat karena pola peristiwa juga serupa, bahkan waktunya terjadi hampir bersamaan. Baik pada lokasi unjuk rasa di Jakarta maupun Pontianak.
Indikasi bahwa kerusuhan berlangsung secara sistematis juga tampak dari upaya mobilisasi massa yang dilakukan melalui media sosial. “Mobilisasi massa dan eskalasi kekerasan dipengaruhi oleh informasi di media sosial yang diduga kuat dirancang secara sistematis mulai dari sebelum, pada saat, dan sesudah 21-23 Mei 2019,” kata Beka.
Berdasarkan analisis Anita Wahid dari Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) yang diperbantukan untuk memperkaya investigasi Tim Pencari Fakta Komnas HAM, terdapat sejumlah konten media sosial yang memang ditujukan untuk mengonsolidasikan massa baik sebelum maupun saat kerusuhan berlangsung. Konten itu juga merujuk pada beberapa akun yang sengaja memprovokasi dan menggalang massa secara aktif.
Sejumlah konten media sosial memang ditujukan untuk mengonsolidasikan massa baik sebelum maupun saat kerusuhan berlangsung
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan, aksi tersebut setidaknya memiliki dua motif. Pertama, pelaku ingin merusak citra unjuk rasa masyarakat secara damai, menjadi aksi kerusuhan. “Kedua, mastermind ingin menciptakan instabilitas keamanan,” kata dia.
Meski demikian, Komnas HAM tidak bersedia menyebutkan pihak yang berpotensi sebagai pelaku. Begitu juga sejumlah akun media sosial yang diduga memprovokasi masyarakat.
Beka mengatakan, laporan tim pencari fakta akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo dan Polri hari ini. Komnas HAM merekomendasikan, agar Presiden memastikan Polri untuk menindaklanjuti proses hukum terhadap semua pelaku yang berperan dalam kekerasan dalam peristiwa 21-23 Mei 2019. Adapun Polri, diminta untuk mengungkap pelaku utama yang merancang dan bertanggung jawab atas tewasnya 10 orang dalam unjuk rasa.
Evaluasi
Hal lain yang menjadi temuan Komnas HAM adalah terdapat 465 orang yang ditangkap oleh Polri. Tercatat ada pula 32 orang hilang karena terlibat dalam unjuk rasa.
Meski tidak menemukan tanda-tanda penembakan, Komnas HAM menemukan bahwa aparat kepolisian menggunakan kekerasan berlebih dalam menangkap, menahan, dan memeriksa orang-orang yang terlibat demonstrasi. Langkah penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum juga menjadi catatan.
Dari 465 tersangka, sebanyak 74 di antaranya adalah anak-anak. Selain itu, dari sembilan korban tewas akibat luka tembak, empat di antaranya juga anak-anak. “Tindakan penyidik Polri dalam menangani anak-anak yang berhadapan dengan hukum tidak sesuai dengn Konvensi Hak Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mengatur proses penangkapan, pemeriksaan, dan pembinaan terhadap anak,” kata Beka.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti mengatakan, penyelidikan Polri harus terus dilanjutkan. Terutama untuk mengungkap pelaku yang bertanggung jawab terhadap penembakan. Di dalamnya termasuk unsur pemberi perintah, pendana, dan pelaku di lapangan.
Ia pun mengapresiasi kepolisian yang telah memeriksa dan menjatuhkan sanksi untuk anggotanya yang melakukan kekerasan berlebih dalam menangkap dan memeriksa pihak terkait demonstrasi.
Sementara itu, pihak kepolisian belum memberikan tanggapan. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo dan Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal M Iqbal tak menjawab saat dihubungi Kompas.