Menggantungkan Harapan pada Pemuda
Komitmen satu tanah Air, satu bangsa, dan satu bahasa yang diikrarkan dalam Kongres Pemuda II di Jakarta, 91 tahun lalu, tetap bergema hingga saat ini. Publik optimistis dengan kiprah pemuda dalam menjaga dan memajukan bangsa.
Jika melihat sejarah, para pendiri bangsa Indonesia merupakan tokoh-tokoh pemuda di zamannya. Soekarno dan Hatta, misalnya, sejak belia telah terjun di dunia pergerakan politik. Soekarno mulai dikenal di dunia politik sewaktu aktif di organisasi pemuda Tri Koro Dharmo tahun 1915 atau saat dia berusia sekitar 14 tahun. Tri Koro Dharmo belakangan berubah menjadi Jong Java.
Hal senada juga terlihat dari para pemuda yang mengikrarkan Sumpah Pemuda dalam Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928, seperti M Yamin yang mewakili organisasi pemuda Jong Sumatranen Bond, Amir Sjarifuddin dari Jong Bataks Bond, Johanes Leimena mewakili Jong Ambon, dan WR Soepratman pencipta lagu kebangsaan ”Indonesia Raya”. Sebagian besar dari mereka kemudian tercatat punya peran penting dalam perjalanan awal bangsa Indonesia.
Saat ini, kiprah anak muda juga banyak terlihat di berbagai bidang. Di ranah legislatif,16 persen dari 575 anggota DPR 2019-2024 berusia di bawah 40 tahun. Meski komitmen dan kemampuan mereka dalam menyuarakan aspirasi rakyat masih perlu dilihat lebih jauh, animo para anak muda ini untuk terjun dalam politik dan terlibat dalam persoalan bangsa patut dihargai.
Di ranah eksekutif, Presiden Joko Widodo memilih beberapa menteri yang berusia 40-50 tahun. Tahun ini, menteri termuda di Kabinet Indonesia Maju berusia 35 tahun, yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim. Presiden juga mengangkat Angela Herliani Tanoesoedibjo yang berusia 32 tahun untuk menjabat Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Meski usia muda bukan jaminan kesuksesan, pilihan terhadap kaum muda bukan tanpa alasan. Karakter anak muda yang identik dengan pembaruan, kreatif, dan berani berpikir di luar yang berlaku umum menciptakan harapan banyak pihak terkait kontribusi mereka bagi masa depan bangsa. Lantas, bagaimana harapan publik saat ini terhadap kiprah anak muda sebagai generasi penerus bangsa?
Tumpuan bangsa
Hasil jajak pendapat Kompas menunjukkan, citra positif
pemuda di mata publik terus naik. Jika pada tahun 2015 ada 46,4 persen publik yang menilai positif citra pemuda, di tahun 2018 penilaian positif itu naik menjadi 55,7 persen dan kemudian 66 persen pada tahun ini.
Selain menilai positif citra pemuda, publik juga punya optimisme tinggi terhadap kemampuan pemuda dalam menyelesaikan persoalan bangsa ke depan. Mayoritas responden (83 persen) meyakini, pemuda Indonesia mampu menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia di masa depan.
Publik juga sangat optimistis terhadap kiprah dan kemampuan pemuda dalam menghadapi persoalan bangsa lainnya, yaitu mempertahankan Pancasila sebagai ideologi bangsa, menjaga keragaman, hingga mewujudkan negara Indonesia yang maju, berdaulat, dan disegani bangsa-bangsa lain.
Di tengah adanya ancaman radikalisme yang bisa mengoyak sendi-sendi kehidupan bangsa, mayoritas publik masih optimistis bahwa pemuda Indonesia mampu mempertahankan Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa.
Demikian juga dengan persoalan menjaga keragaman budaya, tak kurang dari 84 persen responden meyakini, pemuda mampu melakukannya.
Terdapat korelasi positif antara tingkat pendidikan responden dan keyakinan mereka terhadap kemampuan pemuda dalam menjaga keragaman budaya dan mempertahankan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Semakin tinggi tingkat pendidikan responden, semakin tinggi pula keyakinan mereka.
Mereka yakin bahwa pemuda Indonesia saat ini mampu bersaing dengan pemuda dari negara lain untuk menaklukkan dunia yang berubah sangat cepat karena kemajuan teknologi dan inovasi.
Pemuda melihat dirinya
Pemuda, menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, adalah warga negara Indonesia yang berusia 16-30 tahun. Dari hasil jajak Kompas terungkap, hampir semua responden yang berusia muda (16-30 tahun) bangga menjadi warga negara Indonesia.
Berbagai persoalan bangsa, seperti di bidang sosial, politik, dan budaya, yang membuat wajah Indonesia seakan penuh dengan hal-hal seperti konflik, kerusuhan, teror, kemiskinan, bencana alam, dan birokrasi yang korup, ternyata tidak menyurutkan rasa bangga pemuda sebagai warga negara.
Selain bangga sebagai warga negara Indonesia, responden jajak pendapat yang berusia muda ini juga punya optimisme dalam menilai diri dan generasinya. Responden berusia muda yang punya sikap optimistis lebih tinggi (89 persen) dibandingkan responden nonpemuda (usia di atas 30 tahun), yaitu 81 persen.
Demikian pula terkait kemampuan pemuda dalam mewujudkan Indonesia yang maju, berdaulat, dan disegani bangsa lain. Hampir semua responden yang berusia muda lebih optimistis dibandingkan responden nonpemuda.
Meski hasil jajak mengungkap hal positif, yaitu semangat Sumpah Pemuda tetap tecermin dalam sikap berbangsa dan bernegara, publik berpendapat sebaliknya terhadap ketaatan pada hukum dan perundang-undangan.
Sebanyak 44 persen pemuda dan 38,2 persen responden nonpemuda di jajak pendapat ini menilai, ketaatan terhadap hukum dan perundang-undangan di Indonesia semakin buruk. Responden yang berpendapat semakin baik hanya sekitar 29 persen di kalangan nonpemuda dan 27,5 persen di kalangan pemuda.
Sementara yang menilai kondisinya tetap atau sama saja ada 26,4 persen di kalangan pemuda dan 29,4 persen di kalangan nonpemuda. Sikap tidak taat hukum yang disorot publik, di antaranya, adalah tindak korupsi, penyalahgunaan narkoba, dan tindakan melanggar aturan lalu lintas seenaknya.
Secara umum responden kelompok usia muda lebih kritis ketimbang responden nonpemuda dalam menyikapi berbagai persoalan yang ada di
masyarakat. Hal ini terlihat dari tanggapan responden pemuda terhadap persoalan bangsa. Kelompok pemuda yang menilai kondisinya semakin buruk cenderung lebih tinggi dibandingkan responden nonpemuda.