Pengembalian Uang Negara yang Dikorupsi
Mural yang berisi desakan untuk memberikan hukuman yang berat bagi koruptor berupa hukuman mati tergambar di pintu bangunan di Kecamatan Setu, Tangerang Selatan, Jumat (25/10/2019).Selama satu dekade terakhir, tidak ada satu tahun pun yang luput dari pengungkapan kasus korupsi. Jumlah kasus korupsi terus meningkat setiap tahun dengan modus makin beragam. Kerugian negara akibat korupsi tak sebanding dengan uang pengganti.
Korupsi tampaknya telah menjadi penyakit yang begitu sulit disembuhkan di negara ini. Perang terhadap korupsi telah dimulai tahun 2004 dengan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sejak 2004 hingga 2019, sebanyak 1.218 kasus korupsi diselidiki KPK dan 676 kasus telah masuk tahap eksekusi. Jumlah kasus yang ditangani cenderung meningkat setiap tahun, kecuali pada periode 2009 dan 2010. Angka itu tentu belum termasuk kasus korupsi yang diusut kepolisian dan kejaksaan.
Indeks persepsi korupsi Indonesia pun berfluktuasi selama lima tahun terakhir. Pada tahun 2017 Indonesia menduduki peringkat ke-96 dari 180 negara. Peringkat tersebut tidak dapat disebut prestasi karena banyak upaya yang harus dilakukan jika ingin negeri ini bebas dari korupsi mulai dari regulasi perundangan, integritas aparat, hingga pendidikan antikorupsi.
Sejumlah narapidana koruptor diketahui masih dapat mengendalikan kehidupan di lembaga pemasyarakatan dengan harta yang mereka miliki. Artinya, pemidanaan gagal memberi efek jera.
Kerugian negara
Saat ini orientasi penegak hukum masih seputar memidanakan koruptor, memberi hukuman berat, dan menjebloskan ke penjara. Satu hal yang sering luput untuk diperhatikan adalah pengembalian kerugian negara yang ditimbulkan akibat korupsi. Padahal, kenyataannya, sejumlah narapidana koruptor diketahui masih dapat mengendalikan kehidupan di lembaga pemasyarakatan dengan harta yang mereka miliki. Artinya, pemidanaan gagal memberi efek jera.
Berdasarkan data dari Indonesia Legal Analytic System, perusahaan analisis data hukum yang melansir hasil indeksasi 694 putusan terpidana korupsi selama tahun 2011 hingga 2015, menunjukkan ketimpangan kerugian negara dengan uang pengganti. Dinyatakan bahwa 642 terpidana atau sekitar 92 persen tidak melakukan pengembalian kerugian negara.
Pengembalian kerugian negara terbesar yang diberikan adalah Rp 1,5 miliar, padahal terdapat 129 terpidana yang melakukan korupsi di atas Rp 2 miliar. Bahkan, 16 orang di antaranya telah merugikan negara di atas Rp 10 miliar. Meski ada terpidana yang telah diminta untuk mengembalikan keuangan negara sebelum pembacaan putusan akhir, jumlahnya sangat sedikit.
Hasil kajian Indonesia Corruption Watch tahun 2018 juga menunjukkan kerugian negara akibat korupsi Rp 9,29 triliun. Sementara besaran pidana tambahan uang pengganti Rp 805,04 miliar dan 3,01 juta dollar AS. Angka yang timpang ini memperlihatkan bahwa pemberantasan korupsi belum mampu mengembalikan uang negara yang dikorupsi.
Tekanan kepada KPK untuk menggunakan instrumen hukum tindak pidana pencucian uang (TPPU) terus bermunculan agar dapat merampas harta koruptor. TPPU menjadi hal baru yang masih jarang dibidik KPK. Sampai saat ini baru 34 perkara TPPU yang ditangani KPK. Perkara ini memang lebih rumit karena KPK harus berkoordinasi dengan PPATK atau Direktorat Jenderal Pajak.
Pasal berlapis dari UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang TPPU ini bisa dikenakan kepada setiap orang yang menempatkan, membelanjakan, mengubah bentuk, menyamarkan, menyembunyikan, dan menguasai penempatan hasil korupsi. Uang hasil korupsi yang ditaruh di bank atau sudah menjadi bangunan rumah bisa disita.
Penggunaan instrumen hukum dari UU TPPU akan memperbesar peluang untuk merampas harta yang dikorupsi. Tidak hanya itu, TPPU juga lebih menyasar koruptor kelas kakap dan melibatkan banyak orang. Dengan demikian, KPK dapat melakukan pemblokiran dan penyitaan aset dari tindak pidana asal, yakni korupsi. Pada akhirnya tidak hanya koruptor yang berhasil dipidanakan, tetapi juga aset hasil korupsi bisa disita.
Ironisnya terdapat aparat penegak hukum, yakni hakim, jaksa, dan polisi, sebagai koruptor.
Modus dan jenis pelaku
Berdasarkan laporan KPK sepanjang 2004-2019, diketahui bahwa pihak swasta adalah pelaku korupsi terbanyak. Meski demikian, upaya pencegahan dan penindakan masih difokuskan pada sektor publik dan aparat negara. Anggota DPR/DPRD adalah pelaku korupsi terbanyak kedua. Puncak keterlibatan anggota DPRD adalah tahun 2018, yakni 103 kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR/DPRD.
Ironisnya terdapat aparat penegak hukum, yakni hakim, jaksa, dan polisi, sebagai koruptor. Bahkan, di antaranya ada hakim pengadilan tipikor. Ini adalah bukti integritas rendah dan pengawasan yang lemah sehingga dunia peradilan kita berwajah buruk.
Koruptor dengan latar belakang kepala daerah, terutama bupati atau wali kota dan wakilnya, juga tidak sedikit. Sejak 2004 hingga 2019, terdapat 15 bupati/wali kota atau wakilnya yang terjerat kasus korupsi. Akar korupsi kepala daerah ditengarai karena biaya politik tinggi disertai kewenangan besar di era otonomi daerah.
Beragam modus digunakan anggota DPR/DPRD dan kepala daerah untuk korupsi, mulai dari pengadaan barang/jasa, perizinan, penyuapan, pungutan, dan penyalahgunaan anggaran. Modus baru yang muncul tahun 2012 adalah tindak pidana pencucian uang dan merintangi proses KPK. Selebihnya adalah modus-modus lama yang hampir selalu muncul.
Modus terbanyak yang ditemukan selama periode 2004- 2019 adalah penyuapan, yakni sebanyak 661 perkara. Tahun 2014, kasus penyuapan turun dari 50 perkara menjadi 20 perkara. Akan tetapi, tahun berikutnya terus meningkat hingga mencapai puncaknya pada tahun 2018 menjadi 168 perkara.
Jenis pelaku dan modus korupsi akan terus bervariasi. Kasus-kasus korupsi mungkin akan terus muncul. Namun, optimisme terhadap upaya pemberantasan korupsi harus terus dilakukan. Ini harus terus dikawal dan didukung hingga hakim mengetok palunya menghukum koruptor. (Litbang Kompas)