Demokrasi abad ke-21 ditandai dengan kehadiran sejumlah sosok yang secara informal mengampanyekan kepentingan politik di linimasa media sosial.
Oleh
Ingki Rinaldi
·4 menit baca
Demokrasi abad ke-21 ditandai dengan kehadiran sejumlah sosok yang secara informal mengampanyekan kepentingan politik di linimasa media sosial. Bedanya dengan warga biasa, yang sebagian juga menyuarakan kepentingan politik, sosok-sosok tadi dapat dianggap menerima bayaran atas tindakannya.
Sosok-sosok ini lazim dinamai buzzer. Sebagian dari pekerjaan mereka adalah menuliskan narasi dari kepentingan politik yang dibela. Sebagian lagi menciptakan tagar tertentu sebagai protokol komunikasi untuk mengapungkan konten. Sebagian lagi berdebat dan/atau memancing komentar lawan bicara dengan memanfaatkan sejumlah sisi emosional.
Sebagian pihak menyebut buzzer sebagai parasit bagi praktik demokrasi. Sebabnya adalah buzzer cenderung menolak keberagaman pendapat dan identitas tertentu. Cukup jamak terlihat sejumlah buzzer menarasikan bahwa hanya kelompok yang diwakilinya saja berhak atas identifikasi terkait hal-hal tertentu. Misalnya saja identifikasi atas ”orang baik”, ”pembela NKRI”, dan ”cinta agama”. Terdapat klaim representasi yang dilakukan. Padahal, salah satu aspek mendasar dari praktik demokrasi adalah menghargai keberagaman. Ada pengakuan atas pluralitas.
Selain itu, ciri lain yang juga kentara adalah melakukan penyederhanaan atas berbagai persoalan kompleks di tengah masyarakat. Upaya simplifikasi atas banyak permasalahan rumit ini cenderung membawa ke persoalan baru, alih-alih menemukan solusinya. Dosen Sekolah Kajian Stratejik & Global Universitas Indonesia Puspitasari dalam diskusi di Jakarta pada Selasa (15/10/2019) lalu mengatakan, buzzer juga menciptakan semacam kultus individu terkait dengan pendapat yang disuarakan.
Sejak tahun 2000-an berkembang teori reverse agenda-setting, di mana isu dalam media sosial cenderung lebih jadi penentu alih- alih media massa.
Ada semacam pandangan bahwa hanya pendapat buzzer tertentu sajalah yang paling baik. Hal ini membuat suara pro dan kontra menjadi tenggelam. Pada akhirnya, hal ini akan menanggalkan kemampuan seseorang untuk menganalisis persoalan. Kemampuan dan sensitivitas terkait tanggung jawab sosial menjadi tumpul. Dalam diskusi yang diselenggarakan Lingkaran Jakarta dan Forges itu, hadir pula anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo; peneliti Lingkaran Jakarta, Arif Susanto; dan Direktur Eksekutif SAFENet Damar Juniarto. Tema yang diangkat adalah ”Demokrasi Dibajak Buzzer?”
Lebih jauh, Puspitasari mengatakan, fenomena tersebut menjadikan orang-orang kehilangan pendidikan politik. Pasalnya, terjadi kategorisasi yang semata-mata hanya bicara bagus atau jelek dan baik atau buruk terkait dengan segala sesuatunya. Kategorisasi itu, imbuh Puspitasari, ditentukan oleh hyper leaders yang dapat pula dimaknai sebagai buzzer atau influencer. Ia mengatakan, hyper leaders yang menentukan agenda di media sosial ini memiliki kecenderungan untuk menjadi otoriter.
”Apa yang menaik, kehadiran hyper leaders, dalam satu titik (menjadi) tidak bisa dikendalikan,” kata Puspitasari. Kecenderungan untuk menjadi otoriter ini terutama ketika konten atau informasi yang diberikan jadi membanjiri ruang publik. Pada saat itulah ada kecenderungan terjadi mutasi menjadi bentuk yang otoriter.
Hal lain yang juga penting adalah adanya kecenderungan pengabaian terhadap persoalan-persoalan besar dan penting bagi kehidupan sehari-hari yang terjadi di depan mata. Ini terjadi menyusul adanya upaya penggiringan isu tertentu, termasuk isu krisis kepercayaan terhadap pemerintah.
”Kita akhirnya lupa pada isu- isu publik,” ujar Puspitasari. Peran media massa yang semestinya bisa mengelola opini publik dengan kemampuan menyusun agenda-setting juga cenderung berkurang. Puspitasari mengatakan, sejak tahun 2000-an berkembang teori reverse agenda-setting, di mana isu dalam media sosial cenderung lebih jadi penentu alih- alih media massa.
Simpul gerakan
Sementara, menurut Agus, kerusakan atau kehancuran demokrasi menyusul kehadiran buzzer tidak akan terjadi. Hal ini jika simpul-simpul gerakan dan agen-agen dalam masyarakat sipil tidak tinggal diam. Salah satunya dengan memastikan media massa menjadi saluran informasi yang lebih baik alih-alih menjadi pengikut buzzer di ranah media sosial.
Selain itu, imbuh Agus, sebagian kelompok buzzer yang tidak anonim dan disebutnya sebagai influencer mesti terus diingatkan. Ini terutama agar makin memiliki kepekaan dan tidak mengalami efek ruang gema, di mana komitmen pada keberagaman dalam kebangsaan menjadi cenderung berkurang. Dalam diskusi itu, Agus juga menyinggung mengenai pengaturan buzzer.
Mengenai hal ini, Agus meninggalkan pertanyaan tentang apakah negara perlu mengatur buzzer atau sebaliknya. Pasalnya. mengundang negara untuk mengatur pelembagaan media sosial sebagai ruang publik cenderung memiliki tantangan tersendiri. Hal ini, misalnya, terdapat dalam sebagian aturan mengenai realitas virtual dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Lebih jauh Agus menyebutkan, yang juga penting untuk dilihat pertanggungjawabannya adalah perusahaan teknologi penyedia pelantar media sosial. Menurut Agus, di Indonesia masih jarang dilakukan kajian atau pembahasan isu terkait dari sudut pandang pertanggungjawaban perusahaan teknologi penyedia layanan media sosial.
Padahal, imbuh Agus, perusahaan-perusahaan teknologi penyedia pelantar media sosial itulah yang paling diuntungkan dari praktik-praktik terkait. Hal ini mengingat relatif banyaknya pengguna yang tertarik dengan konten-konten yang disampaikan oleh sebagian buzzer.
Varian ”buzzer”
Peneliti Lingkaran Jakarta, Arif Susanto, menyatakan, ada banyak varian buzzer. Apa yang disebutnya bersifat parasit adalah buzzer politik yang memanipulasi isu politik untuk tujuan tertentu.
Problem terbesar yang ditimbulkan buzzer adalah adanya kecenderungan menempatkan semua persoalan pada posisi dua kategori berbeda secara diametral. Semata-mata tentang hitam atau putih. Hal itu membuat adanya distorsi informasi karena segala sesuatu hanya dianggap sepenuhnya baik dan atau sepenuhnya buruk. Pada gilirannya, praktik tersebut akan menyebabkan demokrasi mengalami kemunduran.
Sementara Direktur Eksekutif SAFENet Damar Juniarto mendorong agar definisi buzzer segera dirumuskan, termasuk yang disebut sebagai ”buzzer hitam,” ”buzzer putih,” ”berbayar,” ”tidak berbayar,” dan seterusnya. Ketiadaan definisi mengenai buzzer membuat pembahasan mengenai topik tersebut cenderung tidak dapat menemui kejelasan ihwal obyeknya.