Perekonomian Melambat, Indonesia Perlu Sumber Pertumbuhan Baru
Perang dagang yang masih berlangsung antara China dan Amerika Serikat membuat proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia kian melambat. Oleh sebab itu, pemerintah mencari sumber-sumber pertumbuhan ekonomi yang baru.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perang dagang yang masih berlangsung antara China dan Amerika Serikat membuat proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia kian melambat. Oleh sebab itu, pemerintah mencari sumber-sumber pertumbuhan ekonomi yang baru, salah satunya melalui perjanjian perdagangan internasional.
Menurut Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, perekonomian global kini dihantui perang dagang antara China dan AS yang berdampak negatif pada perdagangan internasional dan menyebabkan fluktuasi harga komoditas dunia.
”Pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang triwulan-III 2019 dan proyeksi sepanjang 2019 berada di angka 5,05 persen atau mendekati 5,1 persen. Tahun depan bisa sekitar 5,2 persen atau mendekati 5,3 persen,” kata Perry seusai memberikan pidato kunci pada simposium internasional yang berjudul Asia’s Trade and Economic Priorities 2020 yang diselenggarakan oleh Indonesian Bureau of Economic Research (IBER) dan Asian Bureau of Economic Research (ABER) di Jakarta, Selasa (29/10/2019).
Perry menyatakan, Bank Indonesia memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi dunia sepanjang 2019 sebesar 3 persen dan pada 2020 sebesar 3,1 persen. Akan tetapi, jika perang dagang masih berlanjut, pertumbuhan ekonomi dunia pada 2020 akan menjadi 2,9-3 persen.
Sebelumnya, Bank Dunia merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2019 dari 5,2 persen menjadi 5 persen. Dalam APBN 2019, asumsi makro pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen. Namun, pemerintah dan Bank Indonesia memproyeksikan perekonomian tumbuh sekitar 5,2 persen (Kompas, 11/10/2019).
Secara kumulatif, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan ekonomi nasional sepanjang semester I-2019 tumbuh 5,06 persen dibandingkan semester I-2018. Di sisi lain, BPS juga mencatat, pertumbuhan ekonomi negara-negara utama mitra dagang Indonesia juga tumbuh melambat.
Pertumbuhan ekonomi China pada triwulan II-2019 sebesar 6,2 persen, sedangkan pada tahun sebelumnya 6,7 persen. Sementara pertumbuhan ekonomi AS pada triwulan II-2019 berkisar 2,3 persen, lebih lambat dari tahun sebelumnya yang sebesar 3,2 persen. ”Kita harapkan tensi perang dagang antara China dan AS dapat mereda karena berdampak pada perekonomian global dan Indonesia,” kata Perry.
Oleh sebab itu, Perry mengharapkan adanya sumber pertumbuhan ekonomi baru. Salah satunya dapat memanfaatkan kanal perdagangan dan investasi melalui perjanjian internasional, baik bilateral maupun regional, seperti Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP).
RCEP tengah dirundingkan oleh 10 negara anggota ASEAN, India, China, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Australia. Kementerian Perdagangan memproyeksikan, ekspor Indonesia dapat meningkat 8-11 persen dalam lima tahun pertama setelah penerapan RCEP.
Kementerian Perdagangan juga memperkirakan RCEP akan menjadi perjanjian perdagangan bebas dengan regional terbesar di tingkat global. Total penduduk seluruh negara anggota perundingan RCEP mencapai 3,5 miliar jiwa.
RCEP tengah dirundingkan oleh 10 negara anggota ASEAN, India, China, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Australia.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Perdagangan 2004-2011 Mari Elka Pangestu berpendapat, RCEP dapat menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru bagi Indonesia. ”RCEP membuka akses pasar baru, investasi baru, dan hubungan dagang baru,” katanya.
Kehadiran RCEP, menurut Mari, akan menjadi sinyal positif di tengah tensi perang dagang yang berdampak pada pelemahan ekonomi global. RCEP akan menunjukkan, integrasi antarnegara akan menopang pertumbuhan sehingga dunia dapat merasakan manfaatnya.
David Vines, professor di bidang ekonomi dari University of Oxford, berpendapat, melalui RCEP, Asia berpotensi memimpin perekonomian dunia dibandingkan Amerika ataupun Eropa, terutama dari sisi kondisi geopolitiknya. Saat ini dunia tengah menunggu Asia mengambil peran kepemimpinan itu melalui RCEP.
Sementara itu, Direktur Australia-Japan Research Centre Shiro Armstrong mengatakan, RCEP menjadi bukti kerja sama dan kolaborasi merupakan solusi di tengah ketidakpastian perdagangan dunia. ”Respons kolektif terhadap kondisi ini dapat meminimalkan dampak negatif yang dialami oleh dunia. Ketidakpastian perdagangan cenderung membuat sejumlah negara bersikap proteksionis, salah satunya dengan meningkatkan tarif masuk. Namun, RCEP dapat mengurangi hambatan-hambatan tarif tersebut,” tuturnya.