Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Tegal belum memprioritaskan mitigasi bencana kebakaran hutan dan lahan di lereng gunung tahun ini. Prioritas mitigasi bencana ditekankan pada erupsi gunung.
Oleh
KRISTI UTAMI
·3 menit baca
SLAWI, KOMPAS — Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Tegal belum memprioritaskan mitigasi bencana kebakaran hutan dan lahan di lereng gunung tahun ini. Prioritas mitigasi bencana di lereng gunung lebih ditekankan pada bencana erupsi.
Hal itu sama seperti tahun-tahun sebelumnya. BPBD Kabupaten Tegal tidak memperkirakan bahwa tahun ini bencana yang dominan terjadi di lereng Gunung Slamet adalah bencana kebakaran hutan dan lahan.
”Meski demikian, dua bulan terakhir, materi pelatihan terkait mitigasi bencana kebakaran hutan dan lahan mulai kami sisipkan dalam pelatihan mitigasi bencana erupsi. Hal itu kami lakukan menyusul terjadinya sejumlah kebakaran hutan dan lahan di lereng gunung dan daerah perbukitan di Kabupaten Tegal,” kata Kepala BPBD Kabupaten Tegal Tedjo Kisworo, Selasa (29/10/2019), di Kabupaten Tegal.
Tahun ini, BPBD Kabupaten Tegal menganggarkan biaya Rp 90 juta untuk mitigasi bencana. Mayoritas dana tersebut digunakan untuk mitigasi bencana, seperti erupsi gunung api dan kekeringan di sejumlah tempat. Tidak masuknya bencana kebakaran hutan dan lahan sebagai prioritas mitigasi pada tahun ini, menurut Tedjo, akan dijadikan bahan pertimbangan untuk menentukan prioritas upaya mitigasi pada tahun-tahun yang akan datang.
Secara terpisah, Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Sebelas Maret (UNS) Suryanto menilai, belum diprioritaskannya mitigasi kebakaran hutan dan lahan di lereng gunung terjadi merata di seluruh Jawa Tengah. Padahal, kebakaran hutan dan lahan menjadi salah satu masalah yang perlu mendapat perhatian serius.
Belum diprioritaskannya mitigasi kebakaran hutan dan lahan di lereng gunung terjadi merata di seluruh Jawa Tengah. (Suryanto)
Menurut Suryanto, salah satu bentuk mitigasi yang perlu ditingkatkan adalah pengawasan. Masih lemahnya pengawasan terhadap hutan dinilai menjadi penyebab atas berulangnya kasus kebakaran hutan yang terjadi di beberapa lereng gunung di Jawa Tengah.
Suryanto menyarankan, pemerintah melibatkan masyarakat dalam upaya pengawasan hutan dan lahan. Dengan adanya pelibatan, rasa memiliki masyarakat terhadap hutan dan lahan akan tumbuh.
”Selain pelibatan masyarakat, pemerintah juga harus mempertimbangkan adanya perubahan iklim. Jika sudah tahu bahwa ada indikasi musim kemarau tahun ini lebih kering dan lebih panjang, seharusnya upaya pengawasannya juga lebih ketat dibandingkan biasanya,” ucap Suryanto.
Untuk penanganan
Wakil Administrator Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Pekalongan Barat Hartanto mengakui, anggaran yang dikeluarkan untuk bencana kebakaran hutan dan lahan setiap tahunnya diprioritaskan untuk upaya penanganan. Dari 100 persen anggaran untuk bencana kebakaran hutan dan lahan, sebesar 70 persen dialokasikan untuk penanganan dan 30 persen untuk mitigasi.
Upaya pengawasan sudah dilakukan dengan cara penjadwalan patroli rutin bagi petugas KPH Pekalongan Barat. Pemasangan papan peringatan untuk tidak membuat perapian di kawasan hutan dan lahan juga sudah dilakukan di beberapa lokasi.
”Pelibatan dan sosialisasi kepada masyarakat di sekitar lereng gunung sudah kami lakukan. Mereka juga sudah paham bahwa membuat perapian di lahan dan hutan itu dilarang. Selama ini pelaku dalam kasus kebakaran hutan itu tidak berasal dari warga di sekitar lereng gunung, tetapi warga luar,” tutur Hartanto.
Akhir September lalu, hutan seluas 55 hektar di beberapa daerah di lereng Gunung Slamet terbakar. Sekitar 400 orang diterjunkan untuk memadamkan api. Api baru bisa dipadamkan pada hari kesepuluh karena medan yang sulit dan angin yang kencang. Total kerugian yang harus ditanggung akibat kebakaran tersebut Rp 37,8 juta.
Baca juga : Petugas Pemadam di Lereng Gunung Slamet Ditambah