Ada euforia ketika semangat wirausaha membuncah. Berbagai usaha rintisan (start up) bermunculan. Beberapa kementerian dan BUMN mengadakan lomba dan pelatihan. Masalah muncul ketika usaha rintisan yang telah lahir itu hendak dikembangkan. Pemerintah dan beberapa BUMN bingung untuk membiayai dan membesarkan mereka. Di sinilah kita mempertanyakan peran pemerintah dan BUMN dalam gelora wirausaha rintisan, terutama yang berbasis teknologi digital.
Pergantian kabinet telah dilakukan. Kalangan pengusaha rintisan tentu menunggu kerja mereka. Tidak sedikit usaha rintisan yang masih dalam fase pengembangan. Mereka masih membutuhkan iklim dan dukungan dari semua pihak. Peran pemerintah sangat besar dalam pengembangan usaha rintisan. Tidak mengherankan jika dalam sebuah acara pameran konsumer elektronik di Amerika Serikat, beberapa waktu lalu, disinggung negara-negara yang sedikit memberikan dukungan kepada para pengusaha rintisan.
Dalam kacamata beberapa pengamat, dukungan yang dibutuhkan antara lain pendanaan, database tentang ahli dan layanan, kemudahan mendapatkan visa bagi karyawan yang berasal dari negara lain, serta konektivitas digital. Ada beberapa dukungan lain, seperti riset, akses digital untuk publik, dan membangun ekosistem digital. Singapura menjadi contoh negara yang memberikan dukungan besar bagi usaha rintisan berbasis teknologi digital.
Berkaca dari Singapura, maka peran pemerintah juga bisa diwujudkan dalam pengembangan infrastruktur penunjang, seperti konektivitas digital yang mumpuni dan pengembangan talenta-talenta yang memadai. Pemerintah perlu berinvestasi besar dalam kedua hal tersebut, ditambah investasi untuk riset dan pengembangan teknologi berbasis digital. Di Singapura, langkah ini dikeroyok berbagai lembaga pemerintah.
Pemerintah Singapura juga mengkreasi ekosistem yang menghidupi beberapa bidang. Mereka membangun ekosistem teknologi finansial dan kecerdasan buatan. Lembaga Monetary Authority of Singapore berinvestasi sekitar 165 juta dollar AS untuk ekosistem tekfin selama lima tahun. Dalam ekosistem kecerdasan buatan, mereka berinvestasi 110 juta dollar AS untuk riset. Mereka juga membangun konsorsium sains data dan mengembangkan ekosistem lain karena berbagai aktivitas berbasis digital sangat luas. Proyek seperti ini mungkin bisa ditiru Indonesia. Ekosistem memang perlu dibangun agar usaha rintisan bekerja efisien, saling mendukung, dan lain-lain.
Meski demikian, tantangan peran Pemerintah Indonesia dalam pengembangan teknologi digital jika nantinya ingin membangun ekosistem teknologi digital, tak lain dan tak bukan, adalah menekan korupsi. Kucuran dana dan berbagai proyek masih membuka peluang bagi orang-orang tertentu untuk melakukan tindak pidana korupsi. Contoh ini sudah terjadi di beberapa negara. Beberapa ahli mengkritik, pengucuran dana yang dilakukan tidak hati-hati akan membuat masalah pada kemudian hari. Penilaian kelayakan bisnis bisa bias demi kepentingan tertentu.
Pekerjaan rumah lain adalah perilaku lama yang membuat pengusaha (termasuk pengusaha rintisan) terlibat dalam masalah politik. Mereka mencari gantungan pengaruh di birokrasi atau mungkin diiming-imingi fasilitas oleh pejabat di birokrasi sehingga mereka bisa mendapatkan keuntungan tertentu. Pepatah lama ”tidak ada makan siang yang gratis” tentu masih berlaku. Beberapa orang di dalam pemerintahan mungkin tergoda untuk memberikan fasilitas bagi usaha rintisan dan semuanya tidak gratisan. (ANDREAS MARYOTO)