Ibarat raksasa tertidur, potensi ekonomi perikanan budidaya Indonesia sangat besar. Namun, potensi itu belum dioptimalkan untuk mendongkrak kesejahteraan rakyat.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
Salah satu fokus kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan periode 2019-2024 adalah membangkitkan perikanan budidaya. Ibarat raksasa tertidur, potensi ekonomi perikanan budidaya sangat besar, tetapi belum diberdayakan untuk kesejahteraan.
Setiap tahun, target produksi terus dinaikkan secara signifikan. Namun, pencapaiannya dibayangi problem produktivitas, penyakit, serta kesiapan prasarana dan sarana dasar, seperti induk, benih, pakan, dan infrastruktur. Penggunaan sarana prasarana produksi belum efisien sehingga produk kurang berdaya saing.
Harga udang ekspor asal Indonesia, misalnya, lebih mahal sekitar 1 dollar AS per kilogram ketimbang udang asal India. Pada Januari-Juni 2019, volume ekspor udang berkisar 94.400 ton, turun dibandingkan dengan periode yang sama 2018, yakni 95.200 ton.
Intensifikasi dan ekstensifikasi lahan menjadi solusi yang digaungkan pemerintah. Namun, intensifikasi belum ditopang efisiensi hulu-hilir serta persoalan sarana produksi. Sementara sejumlah negara produsen lain makin efisien dengan dukungan teknologi.
Menurut Rektor IPB University Arif Satria, sudah saatnya Indonesia memaksimalkan pemanfaatan teknologi digital untuk mengejar daya saing. Era teknologi 4.0 yang berbasis data raksasa dan kecerdasan buatan perlu diimplementasikan hingga ke pembudidaya skala kecil agar produksi lebih efisien dan produktivitas meningkat.
”Digitalisasi perikanan sudah jadi keniscayaan. Untuk itu, yang penting adalah transformasi dan percepatan (penerapan) hingga usaha skala kecil,” katanya.
Teknologi yang pemanfaatannya berkembang masif saat ini antara lain alat tebar pakan ikan dan udang yang dapat mengatur dosis pakan berdasarkan luas kolam atau tambak. Tak hanya untuk mendukung efisiensi produksi, teknologi juga dimanfaatkan untuk memonitor kesehatan dan pertumbuhan ikan.
Berkembangnya usaha rintisan kelautan dan perikanan di Indonesia merupakan peluang untuk mendorong pemanfaatan teknologi. Data Digifish Network, ada sedikitnya 18 usaha rintisan perikanan berbasis digital di Indonesia, antara lain di bidang perdagangan elektronik, jaringan informasi, pendidikan, manajemen perikanan, finansial, hingga rantai pasok dan logistik.
Menurut Inisiator Digifish Network, Rully Setya Purnama, industri perikanan nasional yang terus tumbuh dan kebutuhan pasar yang sangat besar membutuhkan kerja sama antarpelaku usaha rintisan. Kompetisi antarpelaku usaha rintisan bergeser jadi kolaborasi. Digifish Network jadi ekosistem bagi para pelaku usaha untuk berdiskusi, bertukar info, hingga menjajaki kerja sama bisnis.
Kemajuan teknologi juga bermaanfaat di sektor perikanan tangkap, antara lain untuk memenuhi kebutuhan info cuaca, lokasi tangkap, hingga harga ikan.
Teknologi juga bisa digunakan untuk membantu pengisian buku kapal secara digital (e-logbook).
Inilah momentum bagi pemerintah, peneliti, akademisi, dan pihak swasta untuk berkolaborasi mengoptimalkan teknologi terbaru bagi pengembangan industri perikanan. Peran riset dari litbang dan akademisi menjadi penopang bagi berkembangnya teknologi 4.0.
Arif mengingatkan, kerangka regulasi pemanfaatan teknologi di sektor kelautan dan perikanan harus disiapkan untuk diterapkan bagi nelayan dan pembudidaya hingga skala kecil. Kerangka regulasi dan implementasi teknologi 4.0 diperlukan di perikanan untuk membantu pelaku usaha perikanan mendorong pertumbuhan.
”Untuk perikanan, perlu dipikirkan teknologi apa yang dipakai dan apa yang harus diatur. Jangan sampai seperti kendaraan online, sudah diimplementasikan, tetapi regulasi terlambat,” katanya.