Mentalitas ”Monster” Liverpool
Misi balas dendam Tottenham Hotspur gagal terwujud berkat mentalitas ”monster” yang kini tertanam di diri Liverpool. Mentalitas itu bisa menjadi kunci ”The Reds” meraih gelar juara Liga Inggris musim ini.
LIVERPOOL, SENIN — Kehebatan sebuah tim bukan diwakili seberapa banyak kemenangan yang diraih. Sebaliknya, hal itu ditunjukkan melalui caranya merespons rintangan atau kegagalan. Filosofi ini menjadi pedoman Liverpool FC sejak 2015 ketika diasuh Manajer Juergen Klopp.
Adalah hal lumrah bagi tim-tim besar mengadakan pertemuan di setiap awal musim baru untuk membahas target-target yang ingin dicapai, salah satunya trofi juara.
Namun, hal itu tidak berlaku di Liverpool. Awal musim ini, Klopp hanya menyampaikan hal-hal yang telah berulang kali disampaikan kepada timnya, yaitu disebut ”catatan manajer”. Tidak satu kata pun menyebut juara atau trofi.
”Jadilah yang terbaik secara individual maupun kolektif secara bersamaan. Menjadi pemberani, cerdas, dan mainkan gaya sepak bolamu sendiri. Bersiaplah merespons rintangan dan kegagalan. Intinya adalah tetap berkonsentrasi sepanjang waktu,” demikian bunyi catatan Klopp yang meresap ke sanubari pasukan ”The Reds” hingga detik ini.
Karena itu, jangan heran Liverpool bisa membalikkan ketertinggalan dari Tottenham Hotspur pada laga lanjutan Liga Inggris, Senin (28/10/2019) dini hari WIB, di Stadion Anfield. Sempat tertinggal 0-1 dari Spurs—tim yang datang dengan membawa misi balas dendam atas kekalahan di final Liga Champions 2019—Liverpool berbalik menang 2-1.
Situasi sempat berjalan sesuai yang diinginkan Spurs pada laga itu. Laga baru berjalan 48 detik, Spurs langsung unggul berkat gol striker Harry Kane yang memanfaatkan bola pantulan ke tiang gawang. Sejak keunggulan cepat itu, Spurs melanjutkan skenarionya, yaitu bermain aman dengan membentengi pertahanan sekuat mungkin demi mempertahankan keunggulannya itu.
Mereka ingin meniru Liverpool seperti kala final Liga Champions di Madrid, 1 Juni lalu. Saat itu, The Reds tampil berbeda, yaitu sangat hati-hati dan cenderung defensif seusai unggul cepat, yaitu di menit ke-2 melalui penalti Mohamed Salah. Taktik itu membuat Spurs frustrasi dan akhirnya kembali kebobolan pada menit ke-87 lewat gol Divock Origi. Liverpool menang 2-0, gelar juara Eropa pun diraih.
Dalam situasi normal, permainan defensif lawan bisa membuat tim-tim yang tengah tertinggal menjadi frustrasi. Namun, tidak demikian dengan Liverpool ketika bereuni dengan Spurs di Anfield. Mereka terus menggempur pertahanan lawan dan mengejar gol meskipun kiper nomor dua Spurs, Paulo Gazzaniga, tampil brilian. Kiper yang menggantikan Hugo Lloris yang tengah cedera itu melakukan 12 penyelamatan dan dinobatkan sebagai pemain terbaik di laga itu.
Sekali lagi, penampilan heroik Gazzaniga itu bisa membuat frustrasi lawan, seperti dialami Manchester City saat dibekap Wolverhampton Wanderes 0-2, di Liga Inggris, awal Oktober lalu.
Namun, seperti biasanya, Klopp tetap kalem. Baginya, situasi itu bukan lagi asing. Pekan lalu, Liverpool juga tertinggal 0-1 dari Manchester United pada jeda turun minum, tetapi akhirnya mampu menyamakan kedudukan 1-1 di babak kedua.
”Saat jeda turun minum, saya berkata kepada anak-anak bahwa satu-satunya masalah di laga ini adalah skor (tertinggal 0-1). Di luar itu, semuanya bagus. Kami menciptakan banyak peluang. Kami bukan mengejar gol, melainkan hanya berusaha bermain sebaik mungkin. Sangat sering hasil akhir laga itu ditentukan performa. Hari ini, itu kembali terbukti,” tutur Klopp seusai laga itu.
Seperti disampaikannya dalam catatan manajer, hasil akhir bukanlah tujuan utama Klopp. Liverpool harus tetap tampil seperti karakternya, yaitu menyerang dengan berbagai cara dan mengatasi rintangan sesulit apa pun.
Mentalitas itu pun berbuah manis di babak kedua. Kerja keras tidak akan menipu. Gol-gol yang dinanti-nantikan akhirnya tiba melalui kaki kapten tim, Jordan Henderson, dan penalti Mohamed Salah.
”Adalah mentalitas. Hal itu terus bertumbuh dalam beberapa tahun terakhir. Manajer telah menginjeksikan mentalitas fantastis ke dalam skuad. Kapan pun menghadapi kesulitan, kami tetap bangkit. Kami harus terus membawa mentalitas ini hingga akhir musim karena keadaan tidak terus berjalan sesuai keinginan,” ujar Henderson yang mengakhiri puasa gol sejak Desember 2015 atau 1.414 hari.
Statistik berkata, Liverpool memang punya daya lenting atau bangkit yang luar biasa, khususnya saat tampil di Anfield. Mereka tidak pernah kalah di sepuluh laga Liga Inggris terakhirnya meskipun sempat tertinggal lebih dulu di Anfield. Tujuh laga di antaranya bahkan berakhir dengan kemenangan. Rekor menakjubkan Liverpool di Anfield pun berlanjut, yaitu tidak terkalahkan di 45 laga terakhir di Liga Inggris.
Ditempa penderitaan
Dalam bukunya berjudul Mentality Monsters: How Juergen Klopp Took Liverpool FC From Also-Rans to Champions of Europe (Juli 2019), pengamat sepak bola Paul Tomkins menulis, mentalitas raksasa alias monster yang tertanam di diri Liverpool saat ini bukan hasil pekerjaan semalam atau bak membalikkan telapak tangan. Ibarat batu karang, hal itu merupakan proses lama dan ditempa serangkaian penderitaan.
Liverpool menjadi tangguh seperti sekarang karena telah belajar menerima sejumlah kegagalan di masa Klopp sejak 2015. Empat tahun terakhir, sejumlah gelar luput dari genggaman mereka, yaitu mulai Liga Europa dan Piala Liga Inggris 2016, Liga Champions 2018, hingga gelar juara Liga Inggris musim lalu.
Saat dikalahkan Real Madrid, 1-3, pada final Liga Champions 2018 di Kiev, misalnya, Klopp mengakui timnya merasa patah hati dan hancur. Mereka merasa kalah beruntung dari Real. Namun, alih-alih terpuruk dan sulit move on seperti Spurs, Klopp mengubah kemarahan dari kegagalan itu menjadi energi ekstra.
”Di bus saat itu, saya menjanjikan kepada anak-anak bahwa kita akan kembali ke final musim berikutnya,” tutur Klopp tahun lalu.
Hal itu terbukti. Liverpool lebih dewasa di musim 2018-2019. Mentalitas monster membuat mereka mampu melewati hadangan tersulit saat itu, yaitu ketika dilumat Barcelona, 0-3, di Camp Nou pada duel pertama semifinal. Kekalahan itu tidak lantas membuat mereka berkecil hati. Pada pertemuan balasan di Anfield, The Reds ganti meremukkan Barca, 4-0, dan lolos ke final serta menjadi juara.
Gelar itu menjadi penghibur mereka dari hal menyakitkan lainnya, yaitu luputnya mahkota juara Liga Inggris yang telah mereka nantikan hampir tiga dekade. Mereka hanya kalah satu poin dari tim juara saat itu, Manchester City.
Pada akhir musim, seolah mengulangi tindakannya di Kiev, Klopp menjanjikan kembali satu hal. ”Kami akan kembali lagi (mengejar juara). Kali ini 100 persen (upaya),” tutur Klopp Mei lalu.
Tekad itulah yang menjadikan The Reds sungguh seperti monster yang sangat ditakuti lawan-lawan di Liga Inggris saat ini. (REUTERS/JON)