Kebakaran hutan dan lahan yang beberapa kali melanda Ciremai, gunung tertinggi di Jawa Barat, menunjukkan upaya mitigasi belum optimal.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
KUNINGAN, KOMPAS - Kebakaran hutan dan lahan yang beberapa kali melanda Ciremai, gunung tertinggi di Jawa Barat, menunjukkan upaya mitigasi belum optimal. Pembuatan sekat bakar, patroli, hingga pembentukan kelompok wisata belum mampu mencegah sekitar 700 hektar lahan dan hutan hangus terbakar.
Kasus kebakaran teranyar terjadi di Blok Sigiribig, Desa Setianegara Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan, sejak Senin (28/10/2019) pukul 10.45. Hingga Selasa (29/10/2019) sore, asap masih membubung di tiga titik, sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Kuningan mencatat, luas areal yang terdampak kebakaran sekitar 60,5 hektar (bukan 100 hektar seperti yang diberitakan sebelumnya). Kawasan yang terbakar antara lain merupakan pohon pinus, rotan, kaliandra, kopi, dan alang-alang.
Sebanyak 98 personel diterjunkan untuk memadamkan si jago merah. Petugas terdiri dari BPBD Kuningan, Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), personel Polri-TNI, dan relawan. Sebelum naik ke gunung, petugas berkumpul di pos Geger Halang, sekitar satu-dua jam ke lokasi kebakaran. Jaraknya, lebih dari 3 kilometer dari permukiman terdekat dan pabrik air mineral dalam kemasan.
Sejumlah petugas terluka karena terkena bara api. Tetapi, kondisinya masih baik-baik saja. Kami membawa perlengkapan obat-obatan, kata Yayat
Untuk mencegah api meluas, petugas membuat sekat bakar dan menyemprotkan air ke daerah terdampak. Sekat bakar dibuat dengan membabat ilalang sehingga lahan hanya menyisakan tanah dan batu. Mereka membuat semacam alur selebar 1,5 meter hingga 6 meter.
Selanjutnya, ilalang ditumpuk di sepanjang jalur bekas pangkasan tersebut. Sekat bakar akan menjadi jalur pemisah area yang terbakar sehingga daerah lainnya tidak terjilat kobaran api. Sekat bakar juga menjadi jalur bagi warga memadamkan api.
“Sejumlah petugas terluka karena terkena bara api. Tetapi, kondisinya masih baik-baik saja. Kami membawa perlengkapan obat-obatan,” lanjut Yayat, staf Seksi Kedaruratan dan Logistik BPBD Kuningan. Dia menjelaskan, angin dengan kecepatan 11,3 kilometer per jam menjadi kendala pemadaman. Selain itu, medan ke lokasi juga terjal dan dipenuhi bebatuan.
Daerah ini memang rawan kebakaran. Kami sudah membuat sekat bakar dan patroli, tetapi masih terjadi kebakaran, ungkap Agus Yudantara
Menurut warga, kebakaran di daerah tersebut merupakan yang ketiga kali dalam sepekan terakhir. Tahun lalu, api juga melahap areal tersebut. "Daerah ini memang rawan kebakaran. Kami sudah membuat sekat bakar dan patroli, tetapi masih terjadi kebakaran," ungkap Agus Yudantara dari Humas Balai TNGC.
Pihaknya juga rutin setiap bulan menyosialisasikan bahaya membakar lahan kepada masyarakat di sekitar lereng Gunung Ciremai. Gunung setinggi 3.078 mdpl itu berada di Kuningan dan Majalengka dengan luasan hampir 15.000 hektar.
"Penyebab kebakaran bisa dari puntung rokok, warga yang membakar lahan di sekitar Ciremai, hingga api obor warga yang mencari madu dari lebah hutan," ungkapnya.
Melibatkan masyarakat
Kepala Balai TNGC Kuswandono mengatakan, upaya mitigasi karhutla Ciremai juga dilakukan dengan melibatkan masyarakat mengelola 64 obyek destinasi wisata di sekitar Ciremai. Daerah itu antara lain Lambosir, Bukit Seribu Bintang, dan Padabeunghar. "Dengan begitu, mereka akan menjaga kawasannya agar tidak kebakaran," ucapnya.
Namun, berbagai langkah mitigasi itu belum mampu menghentikan laju karhutla di Ciremai. Sebelumnya, pada Senin, 21 Oktober, api membakar wilayah Majalengka hingga perbatasan Kuningan. Sekitar 190 hektar areal hangus terbakar. Api baru dapat dipadamkan pada Sabtu, 26 Oktober.
Berdasarkan catatan Balai TNGC pada Agustus hingga 4 Oktober, lebih dari 577 hektar hutan dan lahan di Ciremai juga terbakar. Ini termasuk sekitar 300 hektar edelweis yang juga hangus terbakar.
Dengan demikian, tercatat lebih dari 700 hektar areal Gunung Ciremai yang terbakar sejak Agustus hingga kini. Balai TNGC bahkan menutup jalur pendakian sejak Agustus sampai waktu yang belum ditentukan.
Tahun 2018, lebih dari 1.400 hektar lahan. Jumlah itu meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, yakni 107 hektar. Pada 2016, ketika musim kemarau basah, tidak ditemukan kebakaran di Ciremai. Namun, tahun sebelumnya, luas kebakaran mencapai 666,9 hektar.
Kepala Desa Setianegara Bakri mengatakan, semenjak Ciremai menjadi taman nasional tahun 2004, sebagian warga tidak memandang kebakaran hutan dan lahan sebagai masalah besar. "Dulu, sebelum jadi taman nasional, warga langsung naik ke gunung memadamkan api, tanpa diperintah. Alasannya, warga merasa memiliki Ciremai karena mereka juga menggarap lahan di sana," katanya.
Sebelum menjadi taman nasional, Gunung Ciremai dikelola oleh Perum Perhutani. Warga dapat menggarap lahan di lereng Ciremai melalui skema Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). "Setelah menjadi taman nasional, jangankan menanam, masuk ke sana saja tidak boleh," katanya.
Bakri mengatakan, upaya Balai TNGC membangun kelompok wisata untuk mencegah kebakaran hutan belum maksimal. Alasannya, warga yang terlibat dalam kelompok itu sangat minim.
Kelompok Pujangga Manik Batu Luhur Dodo Darsa mengakui, jumlah anggota kelompok wisata di Ciremai perlu diperbanyak. "Kami kesulitan menghalau api. Apalagi, datangnya bukan daerah kami," kata Dodo yang turut mengelola kawasan wisata Bukit Seribu Bintang di Desa Padabeunghar, Kuningan.