Membiasakan ruang berdialog di keluarga merupakan proses menciptakan pendidikan perdamaian sejak dini. Ini akan membentuk karakter anak yang memahami keragaman.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
Membiasakan ruang berdialog di keluarga merupakan proses menciptakan pendidikan perdamaian sejak dini. Ini akan membentuk karakter anak yang memahami keragaman.
JAKARTA, KOMPAS — Tujuan pendidikan adalah menciptakan masyarakat madani, yaitu masyarakat yang berdaya, cerdas, adil, dan makmur. Masyarakat ini menciptakan kehidupan yang damai dan saling menghargai. Oleh sebab itu, sejak awal, pendidikan mengenai kedamaian dan perdamaian adalah keniscayaan di rumah, lingkungan, dan sekolah.
”Pendidikan damai berarti proses pemelajaran untuk menghilangkan konflik dan kekerasan dari semua elemen kehidupan,” kata pegiat Pusat Studi Agama dan Perdamaian (ICRP) Ahmad Nurcholis dalam seminar ”Wujudkan Pendidikan Damai bagi Anak Usia Dini”, di Jakarta, Senin (28/10/2019). Kegiatan yang diselenggarakan oleh program studi Pendidikan Agama Islam Universitas Negeri Jakarta (PAI UNJ) ini dihadiri oleh perwakilan guru-guru PAUD se-DKI Jakarta.
Idealnya, pendidikan ini dimulai dari keluarga sebagai pendidik yang pertama dan utama. Persepsi pendidikan damai adalah berpikiran terbuka dan tidak langsung mengenakan prasangka kepada seseorang ataupun kelompok yang berbeda. Proses terciptanya perilaku ini ialah dengan membiasakan ruang berdialog di keluarga, yaitu orangtua mendengar pendapat anak dan mengutamakan diskusi.
Persepsi pendidikan damai adalah berpikiran terbuka dan tidak langsung mengenakan prasangka kepada seseorang ataupun kelompok yang berbeda.
”Bahkan, orang dewasa pun masih kesulitan mendengar perbedaan pendapat satu sama lain, apalagi mendengar perbedaan pendapat yang dimiliki anak. Hal ini butuh pembiasaan,” tutur Nurcholis.
Ia membantah teori yang mengatakan bahwa mayoritas kota di Indonesia bermasyarakat homogen sehingga masyarakatnya jarang terpapar pada perbedaan dan akibatnya memiliki sikap intoleran. Menurut Nurcholis, masyarakat yang urban dengan segala jenis kelompok berbeda juga belum tentu memiliki perilaku saling menghargai apabila tidak ada keguyuban dan gotong royong yang dipraktikkan. Sebaliknya, masyarakat yang relatif homogen selama menjunjung tinggi budaya guyub dan saling menghargai justru bisa menghargai perbedaan.
Anggota DPR dari Fraksi Nasdem Muhammad Farhan mengatakan, prinsip memaknai keragaman sebagai identitas bangsa memberi cara pandang yang terbuka dan tidak berprasangka. Penanaman cara pandang ini sejak usia dini membentuk karakter warga negara Indonesia yang memahami bahwa keragaman adalah keniscayaan berbangsa.
Harmonis
Dosen PAI UNJ, Andy Hadiyanto, menjelaskan alasan prodinya mengadakan seminar tersebut ialah guna menyebarluaskan pemahaman bahwa cara beragama yang sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia ialah beragama dengan moderat dan makin mengindonesia. Dakwah agama pada dasarnya bertujuan mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Guru hendaknya mengerti betul hal ini.
Cara beragama yang sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia ialah beragama dengan moderat dan makin mengindonesia.
Pada tahun 2018, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah mengeluarkan hasil survei atas 2.234 guru berbagai mata pelajaran di madrasah dan sekolah di 34 provinsi. Terungkap bahwa 53,06 persen guru memiliki pandangan intoleransi terhadap perbedaan. Misalnya, tidak mau menjalin hubungan pertemanan dengan individu berbeda agama dan kepercayaan, apalagi jika bertetangga.
Andy yang juga Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Sosial UNJ ini mengakui bahkan guru-guru agama juga turut terpapar pemikiran yang segregatif ini. Ia berpendapat hal ini karena, secara sistem pengelolaan, guru agama jarang mendapatkan pelatihan rutin. Akibatnya, penyegaran pengetahuan teologisnya tidak berjalan baik.
”Apalagi jika guru agama berada di lingkungan komunitas yang pandangan keagamaannya mengeras. Bagaikan gunung es di air hangat, lama-kelamaan juga mencair dan membaur dengan pandangan intoleran,” ujarnya.
Pelatihan rutin berkala penting untuk mengingatkan guru-guru agama pemahaman doktrin agama, pemahaman visi dan misi agama yang menginginkan kebaikan universal dan kesejahteraan manusia, serta pemahaman atas realitas. Menurut Andy, sering kali guru agama mengira bahwa kebudayaan dan agama bertentangan, padahal sejarah Nusantara dan terciptanya bangsa Indonesia membuktikan bahwa keduanya saling melengkapi.
Sementara itu, Rektor UNJ Komarudin ketika memberi pidato sambutan mengingatkan para guru bahwa prinsip hidup damai ialah mengakui dan menghargai perdamaian, termasuk di dalam satu golongan. Kemudian memahami bahwa keragaman ada untuk saling melengkapi dan menguatkan.