Swasta Bisa Bantu Capai Target Bauran Energi Terbarukan
Pengembangan bauran energi energi terbarukan belum banyak menarik sektor swasta. Padahal, keterlibatan mereka bisa membantu pemerintah mencapai target penggunaan energi ramah lingkungan itu.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pihak swasta bisa membantu pemerintah mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2025. Namun, sejumlah perusahaan dihadapkan pada kendala belum dapat memenuhi kebutuhan energi terbarukan. Clean Energy Investment Accelerator Indonesia merumuskan tiga opsi bagi perusahaan untuk mendapatkan energi terbarukan.
Dewan Pakar Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia Riki Firmandha Ibrahim mengatakan, mekanisme energi baru terbarukan (EBT) tergolong masih baru sehingga belum banyak diterima atau digunakan perusahaan swasta.
Padahal, menurut Riki, perusahaan swasta bisa berkontribusi terhadap pembangunan EBT di Indonesia. Saat ini, porsi EBT di Indonesia baru sekitar 13 persen dalam bauran energi nasional dan ditargetkan mencapai 23 persen pada 2025.
”Kalau pihak swasta banyak menggunakan EBT saja, itu dapat mendorong pembangunan percepatan EBT. Dengan catatan, kalau perusahaan swasta punya komitmen,” ujar Riki, dihubungi dari Jakarta, Selasa (29/10/2019).
Menurut Riki, apabila perusahaan swasta menunjukkan komitmen tinggi dalam menggunakan EBT dalam kegiatan produksi dan rantai pasoknya, hal itu akan memberikan jaminan investasi untuk EBT bisa terlaksana dengan cepat.
EBT, kata Riki, tergolong baru sehingga banyak yang ragu dengan masa depan EBT di Indonesia. Investasi untuk pengembangannya pun tergolong mahal. Oleh sebab itu, adanya komitmen dari perusahaan swasta untuk membeli listrik yang bersumber dari pembangkit EBT akan sangat membantu karena memberikan kepastian bagi PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) untuk menghasilkan listrik EBT.
Hal senada diutarakan Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma. Menurut dia, komitmen pihak swasta menggunakan EBT bisa berkontribusi meningkatkan porsi bauran EBT nasional. Namun, untuk mencapai target 23 persen pada 2025, hal itu tergantung dari besaran EBT yang digunakan.
Surya menjelaskan, jumlah yang dibutuhkan untuk mencapai target bauran 23 persen itu adalah 45 gigawatt listrik EBT. Saat ini, baru ada antara 8 gigawatt hingga 9 gigawatt. Dengan demikian, masih butuh 36 gigawatt untuk mencapai target. ”Kalau segitu tinggal tergantung seberapa besar kontribusi swasta. Tapi, paling tidak, bisa meningkatkan dari jumlah yang sekarang,” ujarnya.
Lebih lanjut Surya menjelaskan, regulasi yang ada saat ini tidak mendukung pengembangan EBT. Dia menyarankan, akan lebih baik jika pemerintah segera membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Terbarukan. Tujuannya supaya ada kepastian hukum. ”Karena belum ada undang-undang, peraturan yang keluar itu selalu berubah-ubah,” ucapnya.
Clean Energy Investment Accelerator (CEIA) Indonesia, Selasa, merilis dokumen Ikhtisar Kebijakan dan Peta Jalan Perusahaan. CEIA merupakan inisiatif kemitraan publik-swasta yang bertujuan mengatasi hambatan dan meningkatkan penyebaran energi terbarukan untuk konsumen komersial dan industri di pasar negara berkembang. CEIA dipimpin bersama oleh World Resource Institute (WRI), Allotrope Partners, dan National Renewable Energy Laboratory.
Dokumen yang dirilis CEIA dapat menjadi acuan bagi perusahaan atau pihak swasta untuk pengadaan energi baru dan terbarukan dalam kegiatan operasional dan rantai pasoknya.
Country Director Allotrope Partners Gina Lisdiani mengatakan, banyak perusahaan swasta memiliki target menggunakan 100 persen energi terbarukan. Namun, di Indonesia hal itu masih menghadapi kendala. Beberapa perusahaan, ujar Gina, belum dapat mencapai target, bahkan mencapai 10 persen saja sudah sangat sulit.
Salah satu hambatan adalah Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Menurut Gina, tarif yang dikenakan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) untuk listrik yang dihasilkan dari energi bersih masih relatif mahal.
Senior Climate and Energy Manager WRI Indonesia Almo Pradana menjabarkan, tarif listrik EBT atau ramah lingkungan yang dijual PLN harganya bisa di atas Rp 1.500 per kilowatt jam (kWh). Tarif tersebut jauh di atas tarif listrik dari pembangkit non-EBT yang berkisar Rp 900 hingga Rp 1.200 per kWh. Selain itu, lanjut Almo, masih banyak yang harus diperbaiki dari produk listrik hijau PLN lantaran dinilai belum sesuai dengan standar-standar internasional.
”Harapannya, swasta bisa menjual EBT. Hanya saja, memang ada kendala yang harus dibicarakan dengan kementerian dan PLN,” kata Gina.
Pembangkit listrik panel surya bisa menjadi sumber listrik bagi swasta. Namun, pembangunannya memerlukan lahan yang sangat luas. Kondisi itu membuat kebutuhan energi yang dihasilkan energi surya saat ini hanya dapat memenuhi maksimal 10 persen dari total kebutuhan listrik perusahaan swasta.
CEIA menawarkan tiga opsi bagi perusahaan swasta yang ingin menggunakan EBT. Ketiga opsi itu adalah, pertama, off grid, perusahaan membangun pembangkit listrik energi terbarukan sendiri tanpa mendapatkan suplai dari PLN.
Kedua, on grid, perusahaan swasta membangun suatu pembangkit tenaga listrik energi terbarukan, tetapi tetap terkoneksi dengan PLN, misalnya pembangkit listrik tenaga surya di atap. Ketiga, perusahaan swasta bisa membeli layanan khusus energi terbarukan dari PLN yang baru diluncurkan.