Target Membangun 2.500 Kilometer Jalan Tol, Tantangan Lebih Berat
Pemerintah diminta membuat kebijakan yang bisa memikat investor untuk ikut membangun jalan tol. Pembiayaan pun tak bisa bertumpu semata pada perbankan tetapi perlu dicari alternatif pembiayaan lain.
Oleh
Erika Kurnia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah menargetkan pembangunan jalan tol sekitar 2.500 kilometer pada 2020-2024 dengan perkiraan investasi Rp 250 triliun sampai Rp 375 triliun. Namun untuk merealisasikan hal itu tidak mudah.
Target pembangunan itu melebihi pencapaian selama lima tahun terakhir, yaitu sepanjang 1.387 kilometer (km), yang menghabiskan lebih kurang Rp 500 triliun.
Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementerian PUPR Danang Parikesit, Selasa (29/10/2019), mengatakan, pembangunan jalan tol ke depan butuh lebih banyak peran swasta, selain perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Namun, sejumlah tantangan harus dicarikan solusinya.
"Kita harus bisa merancang sistem permodalan yang lebih baik. Apakah bank-bank BUMN masih punya kapasitas untuk pembiayaan jangka panjang atau kita perlu dorong pembiayaan nonbank atau swasta? Tantangan pembangunan ke depan akan lebih besar dari lima tahun sebelumnya," tuturnya dalam forum diskusi infrastruktur di Menara Kadin Indonesia, Jakarta.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Konstruksi dan Infrastruktur Erwin Aksa menilai, pemerintah belum mengeluarkan kebijakan yang ramah bagi investor swasta.
Menurutnya, bisnis jalan tol perlu dibuat lebih menarik agar investor tertarik karena investasi ini memerlukan dana besar dan jangka panjang.
“Integrasi dan konektivitas menjadi kunci untuk menarik swasta berinvestasi. Yang diperlukan itu alternatif model bisnis dan pilihan skema pembiayaan pembangunan jalan tol yang secara risiko lebih kecil sehingga pihak swasta berani berinvestasi,” tambah Erwin.
Pemegang pengusahaan dan pengelola jalan tol dari swasta yang ada saat ini umumnya adalah perusahaan besar, dan jumlahnya tidak banyak. Mereka seperti PT Citra Marga Nusaphala Persada, PT Nusantara Infrastructure, PT Astratel Nusantara, perusahaan properti seperti Sinarmas Land dan PT Bumi Serpong Damai Tbk, hingga perusahaan media Kompas Gramedia.
Kepala Divisi Pembiayaan dan Investasi 2 PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) Eri Wibowo menilai, pembangunan jalan tol yang padat modal tidak cukup jika hanya bertumpu pada pembiayaan dari perbankan. Kreativitas pemerintah atau investor untuk menghadirkan alternatif pembiayaan dibutuhkan.
"Kita harus cari alternatif pembiayaan lain, seperti pasar modal dan investasi asing," ujarnya pada kesempatan yang sama.
Menurut Eri, saat ini, pemerintah sudah membuat banyak regulasi untuk bisa mengakomodasi swasta dalam pembangunan jalan tol.
Regulasi itu antara lain, pembebasan lahan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, penawaran skema seperti Viability Gap Funding (VGF), dan jaminan pemerintah untuk pembiayaan konstruksi pada proyek yang memiliki tingkat pengembalian internal (Internal Rate of Return/IRR) rendah.
Meski demikian, hal itu belum cukup. Masih ada sejumlah persoalan yang menghambat swasta, seperti kontrak jangka panjang hingga puluhan tahun dan tidak ada garansi mengenai volume lalu lintas kendaraan.
Direktur Pengembangan Usaha dan Operasi PT Waskita Toll Road Mokh Sadali menambahkan, kerja sama dengan pihak lain untuk mengintegrasikan pembangunan infrastruktur diperlukan agar pembangunan jalan tol menjanjikan pengembalian investasi yang besar.
"IRR tol yang terbangun atau tidak barangkali bisa dibilang marginal sehingga kita perlu bekerja sama dengan beberapa pihak salah satunya pengembang yang ada, seperti pengembang properti dan industri," ucapnya.
Pemerintah sejauh ini mengarahkan agar pembangunan jalan tol lebih difokuskan pada dua tema rencana bisnis, yakni pariwisata dan ekspor. Dengan demikian, proyek infrastruktur diharapkan lebih banyak berdampak pada pembangunan ekonomi.