Aturan yang ada belum mengatur batas atas maksimal tingkat bunga. Hal ini kerap menjadi sumber masalah bagi masyarakat yang akhirnya kesulitan melunasi cicilan.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan bisnis teknologi finansial untuk pemberian pinjaman tidak terlepas dari tingginya kebutuhan masyarakat terhadap pinjaman dana. Sayangnya, regulasi yang lemah dalam mengatur teknologi finansial membuka celah bagi pertumbuhan pelaku usaha tekfin ilegal.
Sejak 2018 hingga Oktober 2019, Satuan Tugas Waspada Investasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menghentikan operasional 1.773 entitas tekfin pinjaman antarpihak (peer to peer lending) ilegal. Meski demikian, praktik ilegal ini masih terus bermunculan. Padahal, sampai Agustus 2019 Satuan Tugas Waspada Investasi sudah memblokir 1.230 entitas tekfin ilegal.
Ketua Satuan Tugas Waspada Investasi Tongam L Tobing di Jakarta, Selasa (29/10/2019), mengatakan, umumnya pelaku tekfin pinjaman antarpihak ilegal menyebar promo dan tautan untuk mengunduh aplikasi, baik melalui pesan Whatsapp maupun layanan pesan singkat (SMS). Bahkan, beberapa tekfin ilegal mampu memajang aplikasi mereka pada layanan unduhan aplikasi resmi, seperti Google Playstore.
”Selain menindak, upaya pencegahan kami lakukan juga melalui kerja sama dengan Google selaku penyedia layanan tempat mengunduh aplikasi. Kementerian Komunikasi dan Informatika kami gandeng untuk memblokir situs tekfin ilegal,” ujarnya.
Tongam menilai, masih menjamurnya bisnis tekfin peer to peer lending ilegal tidak terlepas dari tingginya permintaan masyarakat terhadap layanan tersebut. Layanan ini memiliki kelenturan lebih besar dan jangkauan konsumen lebih luas dibandingkan layanan keuangan konvensional, seperti bank, yang memiliki persyaratan jauh lebih ketat.
”Untuk itu, selain memantau keberadaan situs dan aplikasi pinjaman daring ilegal, kami juga aktif melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk meningkatkan literasi keuangan,” ujarnya.
Saat ini regulasi yang mengatur mengenai tekfin hanya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Adapun OJK baru memberikan izin operasional kepada 127 entitas tekfin pemberi pinjaman.
Meski regulasi yang ada telah membatasi celah penyelenggara tekfin untuk penyalahgunaan data pribadi, Tongam mengakui, aturan yang ada belum mengatur batas atas maksimal tingkat bunga. Hal ini kerap menjadi sumber masalah bagi masyarakat yang akhirnya kesulitan melunasi cicilan.
”Hingga 31 Agustus 2019, total nilai penyaluran dana pinjaman dari tekfin ilegal telah mencapai Rp 54,7 triliun dengan jumlah peminjam 530.385 peminjam,” ujarnya.
Server di luar negeri
Tongam menuturkan, salah satu alasan sulitnya memberangus menjamurnya kemunculan layanan tekfin ilegal adalah tidak sedikit banyak pelaku yang menggunakan server di luar negeri dalam operasional layanan tekfin ilegal. Hal ini membuat Satuan Tugas Waspada Investasi sulit mendeteksi keberadaan layanan ilegal tersebut sampai ada laporan dari masyarakat.
Hampir sepertiga server tekfin ilegal tersebar di sejumlah negara. Berdasarkan data OJK, sebanyak 15 persen atau sekitar 166 server berada di Amerika Serikat, kemudian diikuti Singapura (69 server) dan China (66 server). Selebihnya, server tekfin ilegal tersebar di Malaysia, Hong Kong, Rusia, Filipina, Korea, Thailand, dan Australia. Server juga tersebar di negara-negara Eropa seperti Perancis, Jerman, Inggris, hingga Belanda.
”Hal yang dapat dilakukan OJK hanya sebatas pemblokiran terhadap situs dan aplikasi yang ada di Indonesia. Untuk melakukan penindakan langsung terhadap pemilik-pemilik server tersebut dibutuhkan kerja sama dengan kedutaan besar negara bersangkutan,” ujarnya.
Pembayaran digital
Sementara itu, di tempat berbeda, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Rosmaya Hadi mengatakan, BI akan terus memperkuat peran sebagai regulator bidang sistem pembayaran digital. Bank Sentral akan mengatur teknologi yang akan digunakan, menyiapkan tempat untuk melakukan uji terhadap inovasi, memberikan izin, dan melakukan pengawasan.
”Di era ekonomi digital ini bank sentral terus menguatkan fungsi sebagai regulator sistem pembayaran dengan menyeimbangkan antara perkembangan teknologi dan risiko yang ada,” ujarnya dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.
BI mendorong perkembangan ekonomi digital di Indonesia sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru melalui 3 strategi utama. Ketiga strategi tersebut adalah menetapkan visi sistem pembayaran Indonesia 2025, mendorong peningkatan elektronifikasi transaksi pembayaran, serta mematangkan program persiapan pemasaran produk usaha mikro, kecil, dan menengah secara daring.