Hapus Stigma Pancasila sebagai Doktrin
Pancasila berbeda dengan ideologi politik negara-negara lain karena cakupannya melebihi aturan kepemerintahan. Pancasila masuk ke dalam nilai sosial, ekonomi, dan keagamaan.
Pancasila berbeda dengan ideologi politik negara-negara lain karena cakupannya melebihi aturan kepemerintahan. Pancasila masuk ke dalam nilai sosial, ekonomi, dan keagamaan.
JAKARTA, KOMPAS — Membumikan Pancasila kepada masyarakat tidak bisa berupa doktrin, tetapi mengejawantahkan nilai-nilainya untuk memecahkan masalah yang terjadi di sekeliling kita. Salah satunya ialah mengembangkan cara berpikir ilmiah yang berlandaskan Pancasila untuk pembangunan.
"Pancasila berbeda dengan ideologi politik negara-negara lain karena cakupannya melebihi aturan kepemerintahan. Pancasila masuk ke dalam nilai sosial, ekonomi, dan keagamaan," kata Pelaksana Tugas Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Hariyono dalam acara pembekalan wawasan keindonesiaan kepada 1.500 perwakilan mahasiswa di Jakarta, Selasa (29/10/2019).
Ia mencontohkan, Amerika Serikat yang berlandaskan ideologi liberalisme dan paham ekonomi kapitalisme memercayai pemikiran-pemikiran ilmiah oleh ekonom Skotlandia Adam Smith (1723-1790) yang meyakini bahwa pencarian keuntungan adalah segalanya. Sebaliknya, psikolog Rusia Ivan Pavlov (1849-1936) yang memenangi Nobel Kedokteran tahun 1904 melandaskan teori kondisional klasiknya pada ideologi historionis Marxisme.
"Ilmu berangkat dari masalah yang terjadi di lapangan, adapun masalah tidak berangkat dari ruang kosong. Terjadinya masalah adalah karena ada ketidaksesuaian praktik di lapangan dengan ideologi," kata Hariyono.
Ia memaparkan, pemahaman ideologi negara dalam segala aspek secara mendalam menjadikan para pengambil kebijakan memerhatikan betul jenis tindakan yang harus diambil. Teori-teori yang sukses diterapkan di negara lain belum tentu sesuai dengan kondisi di Tanah Air. Akan tetapi, kalangan pemerintah, akademisi, dan profesional hendaknya tidak sekadar mengadaptasi teorema maupun metode dari luar agar cocok di Indonesia, melainkan semestinya bisa mengembangkan yang betul-betul berlandaskan kebutuhan lapangan.
Hariyono mencontohkan pendekatan pendidikan yang dikembangkan Ki Hadjar Dewantara mengenai pengembangan karakter dan visi pembangunan bangsa merdeka, namun tidak eksploitatif. Dari aspek ekonomi, pakar ekonomi kerakyatan dan Universitas Gadjah Mada Mubyarto (1938-2005) mengembangkan sistem Ekonomi Pancasila pada tahun 1980-an sebagai kelanjutan gagasan yang dikemukakan oleh Sukarno dan Mohammad Hatta.
"Memang dari segi keilmiahan bisa diperdebatkan dan diperbaiki, tetapi kita dengan cepat meninggalkannya dan lebih memilih pendekatan-pendekatan yang dikembangkan berdasarkan kasus di negara lain dibandingkan benar-benar mengolah makna Pancasila secara kritis. Tanpa pengolahan kritis melalui spektrum berbagai ilmu praktis, Pancasila di mata masyarakat tidak akan bisa lepas dari stigma doktrin," ujar Hariyono.
Baca juga: Membumikan Pancasila untuk Membangun Daerah
Menurut dia, memakai Pancasila sebagai dasar pemikiran ilmiah tidak berarti membuat program yang terkesan seperti ceramah, apalagi penataran. Selama ini BPIP membina beberapa wilayah di Jawa Barat dan Banten yang oleh beberapa lembaga pemerintah seperti Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dikategorikan sebagai daerah terpapar ideologi ekstrem yang menentang kemajemukan bangsa dan landasan bernegara Indonesia.
Memakai Pancasila sebagai dasar pemikiran ilmiah tidak berarti membuat program yang terkesan seperti ceramah, apalagi penataran.
Ketika berdialog dengan masyarakat, pendekatan yang dipakai disesuaikan dengan masalah lingkungan yang dialami masyarakat seperti bencana alam akibat pengelolaan ekosistem yang buruk, kemiskinan, dan kesejahteraan sosial.
"Bersama warga BPIP mencari pemecahan dari masalah-masalah itu. Ketika mereka merembukkan solusinya ada proses berefleksi bahwa untuk mengatasi kesulitan yang dialami semua unsur masyarakat harus terlibat. Masyarakat yang tersegregasi tidak akan bisa makmur seutuhnya. Istilah \'Pancasila\' bahkan sama sekali tidak pernah dipakai, yang penting nilai-nilainya disadari," kata Hariyono.
Baca juga: Implementasikan Pancasila, BPIP-Kemendagri Sasar Peraturan Daerah
Kesetaraan
Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro ketika menjadi narasumber menekankan kepada mahasiswa bahwa nilai Pancasila menjamin kesetaraan bagi semua warga negara Indonesia, terlepas suku bangsa, agama dan kepercayaan, serta identitasnya. Semua berhak memperoleh layanan dari pemerintah dan sesama warga.
"Toleransi aktif adalah kunci kesetaraan, bukan status quo dari toleransi pasif yang sekadar hidup berdampingan tetapi tidak mau berinteraksi. Toleransi aktif memungkinkan pertukaran gagasan yang memperkuat inovasi," tuturnya.
Ia memaparkan hak semua warga negara Indonesia untuk menggapai cita-cita. Tidak seorang pun boleh menghalanginya dengan alasan kesukubangsaan maupun agamanya. Perbedaan justru merupakan modal sosial bangsa Indonesia. Bahkan, negara-negara yang lebih dulu merdeka daripada Indonesia belum tentu memiliki masyarakat yang memang mengakui dan menghargai keragaman seperti di Nusantara.
Hak semua warga negara Indonesia untuk menggapai cita-cita. Tidak seorang pun boleh menghalanginya dengan alasan kesukubangsaan maupun agamanya.
"Sikap yang toleran dan percaya kepada kesetaraan ini yang memungkinkan keberanian mencoba hal-hal baru dan mengembangkan pembangunan di luar sektor konvensional. Di masa perkembangan teknologi yang dinamis seperti sekarang, kita tidak bisa hanya tergantung kepada hal-hal formal. Mental untuk terus belajar sepanjang hayat sangat penting dan hanya bisa dicapai oleh orang-orang berpikiran terbuka," ucap Bambang.
Baca juga: Toleransi Saja Tidak Cukup
Sementara itu, Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah memaparkan tentang proses pembuatan Pancasila berdasarkan perubahan pada Piagam Jakarta agar bisa mengakomodasi semua rakyat Indonesia, tidak hanya suku bangsa dan agama mayoritas. Hal ini menunjukkan kedewasaan berargumentasi dan bersepakat oleh para pendiri bangsa.
Adi Iskandar, mahasiswa semester III program studi gizi Universitas Sahid berpendapat, permasalahan di masyarakat adalah kesenjangan komunikasi antara generasi muda dengan yang tua. Keterbukaan informasi dan kesetaraan menghasilkan pola berpikir dinamis dan cara berekspresi yang lugas.
"Sering kali anak muda dicap tidak nasionalis atau pun tidak percaya Pancasila karena ceplas-ceplos. Padahal, itu hanya cara menyampaikan pemikiran yang sesuai dengan kondisi sekarang. Harus disimak juga konten yang hendak disampaikan karena berdasarkan masalah-masalah yang dirasakan generasi muda," katanya.