Hilirisasi Industri Pertanian Berpotensi Topang Perdagangan
Pelemahan perdagangan komoditas di tingkat global menjadi momentum bagi Indonesia untuk fokus pada hilirisasi perindustrian, khususnya produk pertanian.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelemahan perdagangan komoditas di tingkat global menjadi momentum bagi Indonesia untuk fokus pada hilirisasi perindustrian, khususnya produk pertanian. Hilirisasi industri ini juga dapat membuat perdagangan Indonesia berdaya tahan di kancah internasional.
Pada pekan terakhir Oktober, Bank Dunia merilis laporan berjudul ”Commodity Markets Outlook”. Dalam laporan itu, harga sejumlah komoditas di pasar internasional cenderung turun dan kondisi ini dapat berlangsung hingga 2020.
Harga minyak kelapa sawit, misalnya, bergerak dari 544 dollar Amerika Serikat (AS) per ton pada Juli 2019 menjadi 586 dollar AS per ton (Agustus 2019) dan 580 dollar AS per ton (September 2019). Sepanjang 2019, diproyeksikan harganya rata-rata 554 dollar AS per ton dan pada 2020 sebesar 544 dollar AS per ton.
Secara umum, proyeksi indeks harga komoditas pertanian atau agrokultur pada 2019 dan 2020 stagnan di angka 83 poin. Angka ini merupakan hasil revisi dari laporan yang diterbitkan pada April 2019 dengan pengurangan masing-masing sebesar 2,1 poin (proyeksi 2019) dan 1,1 poin (proyeksi 2020).
Indonesia masih bergantung pada perdagangan komoditas, salah satunya minyak kelapa sawit yang masuk dalam golongan barang utama ekspor.
”Dalam menghadapi tren penurunan harga komoditas di tingkat global, khususnya komoditas pertanian, kami akan mencari negara-negara yang masih memiliki potensi serapan ekspor,” kata Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan Kasan Muhri, Rabu (30/10/2019), di Jakarta.
Di sisi lain, laporan harga komoditas Bank Dunia menyebutkan, indeks harga komoditas pertanian meningkat pada 2021-2030. Secara terperinci, indeks harga komoditas pertanian naik dari 84,7 (2021), 86,3 (2022), 91,3 (2025), dan 102 (2030).
Dalam proyeksi itu, kakao, teh, dan minyak kelapa sawit mengalami kenaikan harga. Harga minyak kelapa sawit akan meningkat dari 558 dollar AS per ton (2021) menjadi 715 dollar AS per ton (2030).
Harga kakao naik dari 2.250 dollar AS per ton (2021) menjadi 2.380 dollar AS per ton (2030). Sementara harga teh merangkak dari 2.470 dollar AS per ton (2021) menjadi 2.540 dollar AS per ton (2030).
Menurut Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Kasdi Subagyo, Indonesia membutuhkan hilirisasi produk pertanian untuk mengoptimalkan pencapaian pada proyeksi peningkatan itu.
Intervensi inovasi, mulai dari varietas unggul yang memiliki produktivitas tinggi hingga teknologi budidaya dan pengolahannya, menjadi langkah strategis untuk melahirkan produk-produk ekspor yang berdaya saing.
Peneliti dari Center of Investment, Trade, and Industry Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho berpendapat, pelemahan pasar komoditas global yang dapat terjadi hingga 2020 dapat menjadi momentum hilirisasi industri, khususnya produk pertanian.
”Saat harga rendah, optimalkan pasar dalam negeri sambil menguatkan hilirisasi industri. Hal ini dapat membuat perdagangan Indonesia berdaya tahan,” katanya.
Untuk memanfaatkan momentum tersebut, Andry berpendapat, hiirisasi industri membutuhkan investasi. Investasi yang berorientasi pada produk akhir, bukan produk antara, harus menjadi prioritas.
Dalam hal ini, Andry mengatakan, pemerintah perlu menelisik hambatan-hambatan dalam melakukan proses pengolahan yang menghasilkan produk jadi bagi pelaku industri atau investor. Kemudahan berbisnis di Indonesia turut harus menjadi perhatian.
Penjajakan ekspor untuk produk pertanian dan turunannya mesti dari sekarang. Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan Dody Edward menyatakan, pihaknya tengah menggencarkan promosi produk ke pasar global, termasuk melalui pameran internasional. Indonesia akan hadir dalam pameran internasional yang digelar di China pada November mendatang.
Indonesia-AS
Perang dagang antara China dan AS turut menjadi faktor pelemahan perdagangan global. Keduanya merupakan mitra dagang utama Indonesia. Di tengah kondisi tersebut, Indonesia tetap menjaga hubungan dagang dengan kedua negara, termasuk AS.
Hal ini dibuktikan dengan lima produk ekspor Indonesia yang berhasil mendapatkan kembali fasilitas sistem tarif preferensial umum (generalized system of preference/GSP) dari AS.
Kelima produk itu ialah plywood bambu laminasi (HS 44121005); plywood kayu tipis kurang dari 66 milimeter (HS 44123141155); bawang bombai kering (HS 09082220); sirup gula, madu buatan, dan karamel (HS 17029052); dan barang rotan khusus untuk kerajinan tangan (HS 46021223).
Menurut Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, hasil positif tersebut tidak terlepas dari submisi tertulis yang secara resmi disampaikan Kementerian Perdagangan. Komisi Perdagangan Internasional AS (United States International Trade Commission/USITC) telah melakukan penilaian terhadap produk ekspor yang mendapatkan fasilitas GSP sejak April 2019.
Penilaian dilakukan terhadap negara-negara mitra AS, seperti Pakistan, Thailand, Brasil, Ekuador, Brasil, dan Indonesia.
”Fasilitas GSP merupakan salah satu isu prioritas dalam hubungan dagang dengan AS. Pemanfaatan skema ini membuka peluang yang sangat besar bagi peningkatan ekspor Indonesia ke AS,” kataya melalui siaran pers.