Kearifan Lokal Indonesia dalam Mitigasi Bencana
Nenek moyang Indonesia telah mewariskan sejumlah cara untuk mengurangi dampak bencana alam. Kearifan lokal ini masih bertahan di sejumlah daerah yang diwariskan melalui berbagai cara, seperti arsitektur tradisional dan tradisi lisan. Sebagai warisan budaya, kearifan lokal ini perlu dirawat sehingga menjadi pembelajaran dari masa lalu untuk mengurangi dampak bencana alam di masa kini.
Salah satu wujud kearifan lokal dalam mitigasi bencana dapat dilihat pada masyarakat suku Baduy di Banten. Kelompok masyarakat adat ini masih memiliki sejumlah tradisi yang bermanfaat mengantisipasi dan mengurangi dampak bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, dan gempa bumi.
Untuk bencana banjir dan tanah longsor, masyarakat Baduy Tangtu atau Baduy Dalam melakukan pencegahan dengan membangun rumah tanpa mengubah struktur tanah. Jika lahannya miring, ketinggian tiang penyangga rumah diatur sedemikian rupa sehingga tetap diperoleh lantai rumah yang rata.
Hal ini diakukan untuk mempertahankan agar air hujan tetap bisa mengalir seperti biasa. Tanpa perubahan kontur tanah, banjir dapat dihindari. Selain itu, longsor juga dapat dicegah karena tidak ada pergeseran dan pengerukan tanah selama proses pembangunan rumah di tanah yang miring.
Kearifan lokal masyarakat Baduy ini dapat menjadi pedoman dalam pembangunan rumah untuk mengantisipasi banjir dan tanah longsor. Antisipasi semacam ini sangat penting mengingat bencana banjir dan tanah longsor terjadi ratusan kali setiap tahun di Indonesia. Pada tahun 2018, misalnya, ada 382 bencana banjir dan 282 tanah longsor di berbagai daerah di Indonesia.
Masih dari arsitektur bangunan, masyarakat Baduy Tangtu juga memiliki cara tradisional untuk mengantisipasi dampak gempa bumi, yaitu membangun rumah tanpa paku.
Sebagai gantinya, rotan dan bambu digunakan untuk bahan pengikat kayu yang merupakan bahan dasar pembuatan rumah. Cara ini berguna dalam mengurangi dampak kerusakan akibat gempa karena bangunan dapat bergerak dinamis. (Permana, 2010)
Cara pembangunan rumah tanpa paku juga menjadi warisan budaya di daerah lain. Hal ini terlihat dari sejumlah rumah adat di Indonesia yang memiliki metode pembangunan serupa, seperti rumah gadang di Sumatera Barat. Fungsi paku digantikan pasak kayu sebagai ikatan yang tidak menimbulkan keretakan sehingga mengurangi risiko kerusakan bangunan.
Indonesia juga memiliki kearifan lokal dalam mitigasi bencana letusan gunung. Hal ini salah satunya terlihat dari masyarakat yang tinggal di kaki Gunung Merapi, Jawa Tengah. Menilik dari pola permukiman tradisional, pembangunan rumah dilakukan secara berkelompok. Rumah-rumah juga dibangun menghadap jalan-jalan utama desa agar memudahkan masyarakat melarikan diri.
Tradisi lisan
Ada pula warisan tradisi lisan yang dapat dimanfaatkan sebagai pengetahuan untuk mengurangi dampak bencana alam. Masyarakat yang menetap di kaki gunung, misalnya, memiliki pengetahuan dari tradisi lisan mengenai perilaku hewan sebagai bentuk peringatan dini letusan gunung. Jika hewan liar turun dari lereng gunung, hal ini menandai kemungkinan terjadinya letusan gunung.
Kearifan lokal itu memiliki penjelasan ilmiah. Beberapa hewan, seperti lebah dan kelelawar, peka terhadap gelombang suara hingga di atas 100 kHz. Gelombang yang dapat diterima sejumlah hewan ini lebih tinggi dibandingkan manusia yang hanya dapat mendengar gelombang suara dengan frekuensi hingga 20 kHz.
Kepekaan ini berguna bagi hewan untuk mendengar gelombang suara jelang letusan gunung. Gelombang suara dengan frekuensi tinggi dapat muncul akibat tekanan fluida, seperti gas, uap air, atau magma, yang mendorong sumbat gunung. Hal ini pernah dibuktikan dalam riset mantan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono jelang letusan Gunung Kelud di Kediri, Jawa Timur, tahun 1990. (Kompas, 18 Januari 2012)
Selain itu, terdapat tradisi lisan yang terdokumentasi dalam sejumlah manuskrip. Salah satunya ialah cerita tentang tsunami di Aceh yang terdapat di Museum Aceh. Teks dengan kolofon tahun 1906 Masehi ini berbunyi, ”Rajab; Jika Dhuha gempa, bergerak air laut itu dengan keras, dan hujan itu pun dengan sangat padanya”. (Santa, 2016)
Manuskrip itu menggambarkan pergerakan air laut setelah gempa bumi saat pagi menjelang siang. Melihat tahun yang tertera pada teks, kejadian ini ditulis hampir satu abad sebelum tsunami 2004 di Aceh. Manuskrip tersebut dapat menjadi pembelajaran untuk meningkatkan kesadaran terhadap bencana tsunami.
Tak hanya Aceh, letusan Gunung Krakatau di Selat Sunda juga disampaikan dalam bentuk tradisi lisan yang didokumentasikan pada manuskrip. Salah satunya adalah catatan dari pujangga Keraton Surakarta, Raden Ngabehi Ranggawarsita, pada tahun 1869. Sebuah bukti dokumentasi terdapat pada kalimat, ”…akhirnya gunung Kapi dengan raungan dahsyat meledak berkeping-keping dan tenggelam ke bagian terdalam di bumi” (Winchester, 2006).
Meski terdapat perdebatan dari para ahli karena dikhawatirkan ada tambahan cerita, naskah ini setidaknya menjadi bukti letusan Gunung Krakatau terdokumentasi. Naskah itu seharusnya menjadi pembelajaran bagi masyarakat di sekitar Selat Sunda yang telah beberapa kali terkena dampak dari bencana alam.
Merawat warisan
Sejumlah tradisi lisan dan peninggalan dalam bentuk bangunan tradisional dapat dimanfaatkan sebagai pembelajaran bagi masyarakat di daerah rawan bencana. Hanya saja, perlu perhatian khusus terhadap pelestarian kearifan lokal dan manfaatnya bagi masyarakat.
Pengetahuan mengenai alam dan tradisi lisan merupakan obyek yang harus dilestarikan. Hal ini tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 106 Tahun 2013 tentang Warisan Budaya Tak Benda Indonesia.
Selain itu, pemerintah juga mengatur bahwa arsitektur tradisional termasuk obyek yang dilestarikan. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 10 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelestarian Tradisi.
Artinya, berdasarkan peraturan pemerintah, kearifan lokal di Indonesia, khususnya dalam hal mitigasi bencana, dapat dilestarikan.
Namun, di balik pelestarian ini, harus terdapat manfaat yang dirasakan masyarakat. Informasi tentang mitigasi bencana yang diperoleh dari warisan masa lalu Indonesia harus diketahui masyarakat luas, khususnya yang berdomisili di daerah rawan bencana.
Salah satu pembelajaran, misalnya, dapat dipetik dari catatan Ranggawarsita tahun 1869 tentang letusan Gunung Krakatau. Dalam catatannya, ia menulis, ”air laut naik dan membanjiri daratan, negeri di timur gunung Batuwara sampai gunung Raja Basa, dibanjiri air laut; penduduk bagian utara negeri Sunda sampai gunung Raja Basa tenggelam dan hanyut beserta semua harta milik mereka”.
Terdapat petunjuk geografis dalam manuskrip tersebut, salah satunya adalah Raja Basa. Saat ini, Raja Basa masih digunakan sebagai nama salah satu daerah di Lampung Selatan. Daerah itu merupakan salah satu lokasi terdampak tsunami pada 22 Desember 2018.
Jika Raja Basa yang dimaksud Ranggawarsita satu setengah abad lalu adalah daerah yang sama dengan Raja Basa saat ini, tsunami pada akhir 2018 bukan yang pertama kali terjadi di daerah tersebut. Jika naskah ini digunakan sebagai acuan penataan wilayah, lokasi tersebut seharusnya tak menjadi daerah pemukiman karena rawan bencana.
Selain tsunami, sejumlah bencana alam, seperti gempa, banjir, dan longsor, juga harus diwaspadai. Terdapat ribuan bencana yang terjadi di Indonesia setiap tahun. Butuh kesadaran dan memori kolektif dari berbagai pihak agar dampak bencana dapat diminimalisasi.
(Litbang Kompas)