Perlu ada pembinaan dan pengawasan bagi kepala daerah agar jangan sampai terjadi penyimpangan dalam mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Dalam Negeri menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi untuk memperkuat pengawasan dan pencegahan tindak pidana korupsi dalam penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah oleh pemerintah daerah. Tak cukup di situ, penguatan terhadap tindak lanjut atas temuan indikasi tindak pidana korupsi juga diperlukan.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyampaikan, perlu ada pembinaan dan pengawasan bagi kepala daerah agar jangan sampai terjadi penyimpangan dalam mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dengan begitu, diharapkan penggunaan APBD sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
”Ini kita lakukan dalam rangka pengelolaan, pengawasan, dan pembinaan anggaran negara yang ditransfer ke daerah. Kita tahu bahwa tahun depan lebih kurang Rp 800 triliun anggaran akan ditransfer ke daerah, baik provinsi maupun kabupaten dan kota,” kata Tito melalui keterangan pers yang diterima Kompas, Rabu (30/10/2019).
Untuk itu, pada Desember 2019, Mendagri akan mengundang semua kepala daerah untuk bermusyawarah terkait perencanaan prioritas-prioritas yang perlu dilaksanakan. Langkah ini juga untuk menyinkronkan kegiatan pemerintah daerah (pemda) agar searah dengan program prioritas Presiden Joko Widodo.
”Saya kira, dengan kerja sama ini, tolong beberapa daerah yang masih menyelesaikan sisa anggaran di tahun 2019 betul-betul penyerapannya tepat sasaran. Kemudian, kalau ada program-program rencana untuk tahun 2020, betul-betul disesuaikan selain dengan kebutuhan lokal, juga dengan visi-misi Bapak Presiden,” tuturnya.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengungkapkan hal yang sama. Khususnya terkait fokus program prioritas Presiden untuk berkoordinasi lebih lanjut dengan Kemendagri sebagai poros pemerintahan dalam negeri yang memegang kendali pembinaan terhadap pemda.
Menurut Alexander, KPK juga akan memfokuskan pada bidang-bidang seperti infrastruktur, sumber daya manusia, dan investasi. ”Nanti kami akan koordinasi dengan Mendagri, terutama supaya daerah-daerah itu bisa menjabarkan visi dan misi dari Bapak Presiden, supaya ada sinkronisasi antara pemerintah pusat dan pemerintah di daerah,” katanya.
Solusi administratif
Upaya memperkuat pengawasan dan pencegahan tindak pidana korupsi tidak lepas dari peran inspektorat daerah. Memang melalui Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perangkat Daerah, peran inspektorat dinilai lebih menguat, tetapi tidak bisa dipastikan apakah rekomendasi yang diberikan akan benar-benar dijalankan kepala daerah.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng menilai, PP No 72/2019 tidak memberi kepastian yang mengikat terhadap rekomendasi inspektorat. ”Kalau kedudukan hukum dan rekomendasi inspektorat itu tidak mengikat, ya, akan sulit juga tindak lanjutnya,” ucap Endi.
Menurut dia, dengan kewenangan inspektorat yang tidak dapat memaksa, semestinya diberikan fungsi koordinasi dengan aparat penegak hukum. Dengan begitu, ketika inspektorat menemukan indikasi korupsi, maka dapat ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.
”Kalau begini, inspektorat akan gamang, apakah hasil temuannya dapat dikoordinasikan dengan aparat penegak hukum atau tetap hanya dilanjutkan kepada kepala daerah. PP ini hanya untuk penyelesaian dengan solusi administratif, tetapi dampak pengurangan korupsinya itu harus dilihat lebih jauh lagi,” ujar Endi.