Rentetan penangkapan terduga teroris di Lampung beberapa pekan terakhir seakan ingin mengoyak toleransi dan keterbukaan yang telah dirajut selama puluhan tahun di Lampung.
Oleh
VINA OKTAVIA
·4 menit baca
Selama ini, kehidupan warga Lampung menjadi potret keberagaman di Indonesia. Daerah transmigrasi di ujung Sumatera itu menjadi rumah aman bagi beragam suku di dalamnya. Namun, rentetan penangkapan terduga teroris di Lampung beberapa pekan terakhir seakan mengoyak keterbukaan dan toleransi yang telah dirajut selama puluhan tahun.
Wafdi Kurnia, Lurah Pelita, Kecamatan Enggal, Bandar Lampung tak nyenyak tidur. Pikirannya masih terusik penggeledahan sebuah rumah kost terduga teroris yang ada di lingkungannya, Senin (21/10/2019) lalu.
Sebagai aparat setempat, hari itu dia ikut mendampingi tim Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri menggeledah rumah kost yang dihuni SRF, terduga teroris yang masih buron. Jarak penggeledahan hanya sekitar 500 meter dari Markas Besar Polres Kota Bandar Lampung.
Wafdi semakin resah setelah tim densus menemukan sejumlah barang bukti berupa bubuk bahan kimia yang diduga bahan peledak di rumah kost itu. Apalagi, dia membaca berita, komplotan terduga teroris itu berencana melakukan bom bunuh diri di Lampung.
Bagi Wafdi, semestinya tak ada tempat bagi terduga teroris di wilayah yang dipimpinnya. Selama ini, masyarakat dari beragam suku hidup berdampingan di Kelurahan Pelita. Selain masyarakat dari suku Lampung, ada juga warga Jawa, Sunda, dan Bali tinggal di sana.
Sebagai pendatang, SRF diterima dengan baik oleh warga sekitar. Meski agak tertutup, komunikasi pria itu dengan warga di lingkungannya cukup baik. Bahkan, dia menjadi ketua rukun kematian yang membantu mengurus warga yang meninggal. “Selama ini, tidak ada catatan kejahatan yang dilakukan oleh yang bersangkutan,” ujarnya disela-sela penggeledahan.
Selain rumah kost SRF, tim Densus 88 juga menggeledah rumah orangtua terduga teroris Y, tak jauh dari lokasi. Meski begitu, tim tidak menemukan benda mencurigakan dari rumah tersebut.
Helmi (60), tetangga Y menuturkan, Y dan SRF memang seringkali terlihat bersama. Sehari-hari, mereka bekerja sebagai tukang pembersih kaca di gedung-gedung bertingkat. Meski begitu, Helmi tak mengira tetangganya itu terpapar paham radikal. Pasalnya, dia tidak melihat perubahan sikap kedua tetangganya itu.
Penggeledahan di Bandar Lampung bukan kali ini saja dilakukan. Sebelumnya, Tim Densus 88 juga menangkap empat terduga teroris, yakni R, AH, Y, dan T. Namun, T dipulangkan karena tidak terindikasi jaringan terorisme tersebut.
Dari situ, tim melakukan penggeledahan di rumah nenek terduga teroris R pada Selasa (15/10/2019). Di sana, barang bukti berupa bahan peledak dan detonator disita.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Kompas dari sejumlah anggota tim densus di lokasi penggeledahan, SRF merupakan pimpinan kelompok kecil sel teroris di Lampung. Dia memimpin beberapa orang dalam jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD)
Kelompok ini diduga akan melakukan bom bunuh diri di Lampung. Sejumlah lokasi yang menjadi target antara lain tempat hiburan malam dan pusat keramaian.
Keterbukaan terhadap beragam suku, agama, dan ras di Lampung sudah berlangsung selama puluhan tahun. Bahkan, masyarakat Lampung mengenal nemui nyimah sebagai salah satu falsafah hidup. Istilah itu berasal dari kata temui atau bertemu yang kemudian dimaknai sebagai sikap tangan terbuka, suka memberi, dan saling bersilaturahmi. Istilah itu menjadi ungkapan rasa kekeluargaan masyarakat Lampung untuk menerima dan hidup rukun dengan siapa saja.
Lampung menjadi lokasi persembunyian teroris karena lokasinya dekat dengan ibukota.
Sayangnya, sikap terbuka masyarakat Lampung justru dimanfaatkan oleh para terduga teroris untuk menjadikan daerah itu menjadi lokasi persembunyian. Tak hanya itu, mereka juga menyimpan bahan peledak yang diduga akan dirakit dan diledakkan di Lampung.
Abdul Syukur dari Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme Provinsi Lampung menuturkan, Lampung menjadi lokasi persembunyian teroris karena lokasinya dekat dengan ibukota. Selain itu, wilayah Lampung yang luas dan mempunyai garis pantai yang panjang cukup strategis untuk menjadi lokasi persembunyian.
Dari sisi budaya, masyarakat Lampung juga terbuka dengan warga pendatang. Kondisi itu dimanfaatkan oleh sel teroris untuk masuk dan tinggal di Lampung.
Berdasarkan survei Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 2017, Lampung menjadi salah satu daerah rawan terorisme di Indonesia. Sedikitnya, ada 101 warga di Lampung terindikasi masuk dalam jaringan terorisme.
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigadir Jenderal (Pol) Hamli mengatakan, pemahaman tentang radikalisme dan terorisme banyak disampaikan dalam pertemuan keagamaaan yang berlangsung di masjid ataupun rumah kos.
Ajakan untuk masuk ke kelompok radikal berlanjut lewat komunikasi di media sosial. ”Mereka menanamkan kebencian pada kelompok yang berbeda. Di sinilah pintu masuk pemahaman tentang radikalisme,” kata Hamli saat dialog pencegahan terorisme di Bandar Lampung, beberapa waktu lalu.
Melestarikan kearifan lokal yang ada di Lampung menjadi salah satu cara untuk menjaga ruang toleransi dan kerukunan antar warga. Kehadiran warga dalam berbagai kegiatan adat dapat membukakan mata masyarakat tentang indahnya keberagaman di Indonesia.